Pesona Danau Tiga Warna
“Kelimutu:
Kebanggaan Indonesia, Kebanggaan Dunia”
Demikianlah
tulisan yang menyambut kami ketika memasuki pintu gerbang Taman Nasional Gunung
Kelimutu. Setiap pengunjung dikenakan biaya Rp 2500 per orang, Rp 6000 untuk
kendaraan. Biaya yang terbilang sangat murah untuk sebuah objek wisata yang
sudah mendunia. Mobil masih harus berjalan menembus kabut sejauh 5 km lagi
untuk sampai di pelataran parkir Gunung Kelimutu.
Sesampainya
kami di pelataran parkir, kami disambut ramah oleh Bapak Markus, penjaga
keamanan sekaligus pemandu bagi pendaki Gunung Kelimutu. Dengan fasih, pria
berusia 60-an itu memperkenalkan diri kepada kami.
Kehadiran
pemandu sangat penting di Kelimutu, mengingat banyaknya kera liar di wilayah
ini. Sebelumnya, pendaki Kelimutu tidak diwajibkan didampingi pemandu. Namun
karena banyaknya kasus serangan kera (ada yang digigit, dicolong tasnya, atau
dicakar), sekarang semua pendaki harus didampingi pemandu, yang akan membawakan
pisang dan tas, serta memimpin jalan di depan. Ia yang sudah kenal dengan
tingkah laku para kera itu akan memberikan pisang sambil terus menjaga pendaki
dari serangan mereka. Bukan hanya kera, di Kelimutu ini juga masih banyak anjing
dan babi hutan. Jadi memang harus waspada.
Danau
Kelimutu adalah tempat sakral bagi masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa
arwah seseorang yang telah meninggal akan datang dan tinggal di Kelimutu untuk
selama-lamanya. Sebelum masuk ke salah satu danau, arwah tersebut akan
menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Konde Ratu akan
menentukan arwah tersebut masuk ke danau yang mana, tergantung usia dan
perbuatannya. Perubahan warna danau kerap dikait-kaitkan dengan peristiwa
tertentu yang akan terjadi di sekitar Kelimutu khususnya, dan Indonesia pada
umumnya. Makanya wisatawan yang datang ke sini harus menghormati kepercayaan
masyarakat setempat dengan menjaga kebersihan dan melewati jalur setapak yang
disediakan. Jangan menggunakan jalur lain, nanti bisa celaka, kata Pak Markus.
Bang Yosi
cerita, pernah ada wisatawan bule yang tidak mengindahkan peraturan. Ia meloncat
pagar dan ingin lewat lebih dekat dengan danau. Walhasil, ia terpeleset dan
jatuh ke dalam danau. Tidak ada yang bisa menyelamatkan. Kawan-kawannya datang
dan membawa berbagai alat canggih untuk bisa menemukan jasadnya dari dasar
danau. “Mau dicari berapa lama pun tetap tidak ada. Tulangnya pun tidak ada. Ya
sudah, ia jadi ‘warga’ sini sekarang,” kata Bang Yosi.
Kabut tebal
sekali saat itu. Pak Markus bilang, lebih baik kita jalan saja, mudah-mudahan
sesampainya di puncak, kabut sudah hilang. What? Kita masih harus jalan lagi?
“Iya, untuk sampai puncak kita harus jalan kaki 2 km,” katanya. Ibu yang masih
mabok langsung pucat. Tapi karena penasaran dengan keindahan Kelimutu, ibu tetap
ikut naik. Bang Yosi juga ikut naik menemani kami.
Bener aja,
segerombolan kera sudah menunggu kami dekat kawah pertama. Mereka sangat
agresif. Pak Markus melemparkan pisang, dan langsung jadi rebutan.
Kami sampai
di pinggir kawah pertama, Tiwu Ata Polo, yang dipercaya sebagai kampung bagi arwah
orang-orang jahat. Waaaaaww... It’s soooooo beautiful! Amazing! Berdiri di tepiannya
membuat kita merasa keciiiiiilll... sekali. Maha Besar Sang Pencipta.
Danau Tiwu Ata Polo
|
Danau Tiwu
Ata Polo kerap berwarna merah atau coklat, tapi waktu aku datang ke sana warna
danaunya biru tosca pekat. Aku nggak kebayang bagaimana warna tosca sepekat ini
kok bisa berubah jadi merah atau coklat. Sedangkan danau di sebelahnya, Tiwu Nuamuri
Koofai dipercaya sebagai kampung arwah orang-orang muda atau bujang. Danau ini
sering terlihat berwarna hijau atau biru tosca, dan kemarin danaunya sedang
berwarna biru tosca pucat. Bang Yosi bilang, kedua danau ini memang paling sering
berubah warna. Berbeda dengan danau satu lagi, yang cenderung tenang dan jarang
berubah warna.
Danau Tiwu Ata Mbupu |
Danau yang
ketiga itu namanya Tiwu Ata Mbupu, dipercaya masyarakat sebagai kampung bagi
arwah orang-orang tua yang bijaksana. Warnanya hitam kehijauan. “Makanya yang
ini lebih tenang, jarang berubah. Kalau danau dua itu, bajingan semua memang,
berubah-ubah terus warnanya, haha...” kata Bang Yosi. Danau ini letaknya
terpisah dari dua danau berwarna tosca tadi. Kalau mau ambil foto ketiga danau
bersamaan, mesti mendaki lebih jauh lagi untuk sampai di puncak sebelah sana. Ooaaaahhh... SEMANGAT ah! Satu-dua-tiga!
Kata Pak Markus, ada 265 anak tangga yang harus kita daki.
hosh... hosh... |
Kata Pak
Markus, “Makanlah ini Nona, mudah-mudahan awet muda. Ini makanan para arwah.”
Astagfirulloh, bukan berarti kalo makan ini saya jadi arwah kan Pak? “Tidak
Nona, arwah makan ini jadi mereka abadi. Nona makan ini akan awet muda,”
oooohh... kirain. (Eh, selama di sini orang panggil aku Nona, aku suka banget
sebutan itu, manis sekali, hehe...)
Buahnya
kecil-kecil, rasanya manis-sepat. Terus kata ibu, “Ini kan yang suka dimakan si
Tio!” Hahaha... itu loh, Tio host Jejak Petualang Survival. Kita emang seneng
nonton aksinya menjelajah hutan gunung, dan menemukan makanan-makanan untuk bertahan
hidup. Ini salah satu buah-buahan gunung yang sering dicemil si Tio. Tapi aku
lupa apa namanya. Rasanya segar, banyak airnya.
Akhirnya setelah
melewati anak tangga ke-265 (kayaknya lebih deh) kami pun sampai di puncak
Gunung Kelimutu, ketinggian 1.640 mdpl (aku dan Niko doang sih, Bapak dan Ibu
masih narik nafas di tangga ke-100, hehe).
Dari ketinggian puncak ini kita bisa melihat ketiga danau bersamaan. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuamuri Koofai di sebelah timur, dan Tiwu Ata Mbupu di sebelah selatan. Baru saja kami sampai puncak, tiba-tiba kabut tebal datang menutupi pemandangan. Pak Markus bersiul-siul, dan setelah dua menit, kabut perlahan-lahan hilang. “Tuhan dengar doa kita,” katanya.
Puncak Kelimutu |
Dari ketinggian puncak ini kita bisa melihat ketiga danau bersamaan. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuamuri Koofai di sebelah timur, dan Tiwu Ata Mbupu di sebelah selatan. Baru saja kami sampai puncak, tiba-tiba kabut tebal datang menutupi pemandangan. Pak Markus bersiul-siul, dan setelah dua menit, kabut perlahan-lahan hilang. “Tuhan dengar doa kita,” katanya.
Danau tiga
warna ini memang menjadi keajaiban tersendiri yang patut disyukuri. Allahu
Akbar... Allahu Akbar... aku tak henti-hentinya memuji kebesaran Tuhan, yang
telah menciptakan lukisan seindah ini. Subhanallah...
Di puncak
ini ada penjual makanan. Ada kopi, teh, pop mie. Harganya Rp 10000-an. Wajar
lah, belanjanya kan jauh! Naik ojek dulu, mendaki dulu, pengorbanan banget deh.
Aku jadi teringat dulu waktu di padang Surya Kencana aku beli nasi uduk seharga
Rp 14000 untuk sarapan. Isinya? Sambel dikiiiiittt doang plus seperempat telor.
Tapi ya itu, kita tetap harus berterimakasih untuk penjual yang sudah mau
bersusah-susah mendaki ke sini supaya kita tidak turun dengan perut kosong.
Cukup lama kami menghabiskan waktu di puncak. Seolah
enggan sekali meninggalkan semua pesona ini. Ohya, Pak Markus rupanya senang
sekali memotret. Ia mengarahkan gaya kami begini, begitu, layaknya fotografer
profesional. Kami senang-senang saja ada yang motret, hehe... Terus lucunya
lagi, saking seringnya ia melayani wisatawan bule, Pak Markus pun jadi ikutan 'nginggris'.
Beberapa kali ia ngomong “One more time, please,” usai memotret kami. Atau “A
bit here,” saat mengarahkan kami untuk sedikit bergeser. Sesekali juga ia
bilang, “No step there please, dangerous.” Oalaaaahh...^^
Hampir dua
jam kami puas menikmati pesona kawah Kelimutu di puncak. Untungnya cuaca cukup
cerah jadi kami bisa lihat pemandangan yang luar biasa. Enggan sekali meninggalkan tempat indah ini. Tapi bagaimanapun kami tetap harus
turun. Terlalu lama menghirup belerang juga tak baik.
Di parkiran, tak lupa kami beli oleh-oleh kain tenun ikat seharga Rp 140000. Harganya macam-macam, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan motifnya. Terus jangan lupa, bawanya juga kan jauh dari bawah, hehe...jadi wajar kalo agak mahal. Sayangnya nggak ada oleh-oleh lain seperti kaos, gantungan kunci, atau apapun seperti yang bisa kamu temukan di parkiran Gunung Tangkuban Parahu, Bandung. Aku juga heran, mengapa di objek wisata kelas dunia ini justru sulit menemukan cinderamata.
Bapak
memberikan tip kepada Pak Markus Rp 50000. Sebetulnya ia tidak mematok bayaran,
tapi keramahan dan jasanya menuntun kami hingga selamat sampai sini memang
patut dihargai. Pak Markus menahan kami sebelum naik mobil. “Tunggu sebentar,”
tak lama ia kembali dengan membawa seplastik penuh buah lemon. “Baru
saja saya petik dari kebun. Silakan, ini buah tangan dari Kelimutu,” katanya.
Waaaaahhh Pak Markus baik sekaliiiii...! “Tuhan memberkati, Pak!” saya menjabat
tangannya.
“Semoga Nona
diberikan rezeki, diberikan umur panjang dan jodoh... Sehingga lain waktu Nona
kesini bersama jodoh Nona...” Ya Allah, amin... “Amin...terima kasih Bapak.
Semoga Pak Markus sehat terus dan diberikan umur panjang sehingga nanti kalau
saya kesini kita bisa jumpa lagi,” saya tulus mendoakan. Kami pun berpisah. Pak
Markus tak henti-henti melambaikan tangan.
Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk ikut Bang Yosi lagi ke Ende. Malam
ini dan seterusnya kami akan menginap di Ende saja. Toh hari ini tujuan utama
kami untuk melihat Kelimutu sudah tercapai. Ya, benar juga. Mungkin dari Kota
Ende kita akan bisa menemukan tempat-tempat wisata lain. Oke, sampai ketemu di
Ende lagi!
Note:
Tarif awal
yang disepakati bersama Bang Yosi adalah Rp 400000 sekali jalan (Ende-Moni)
tapi ternyata kami minta untuk diantar hingga Kelimutu, Bapak menambahkan Rp
100000 untuk perjalanan Moni-Kelimutu (kami tidak keluarkan uang lagi untuk isi
bensin). Karena kami kembali pulang ke Ende, jadi dikali dua. Bang Yosi baik
sekali, ia mengantarkan kami keliling Kota Ende untuk mencari-cari penginapan. Kalau
kamu mau berwisata ke Ende, aku rekomendasikan untuk menghubungi Bang Yosi yang
sangat ramah dan bisa dipercaya ini. Nanti dia akan jemput kamu di airport dan
mengantar kemana yang kamu mau.
Yosi Ende: 081339513882
Informasi lengkap mengenai biaya dan tempat menginap di Ende akan kutulis di bagian akhir catatan. Jadi ikuti terus ya!
Informasi lengkap mengenai biaya dan tempat menginap di Ende akan kutulis di bagian akhir catatan. Jadi ikuti terus ya!
Hi Ken,
BalasHapusiya aku ikuti terus dan tak sabar rasanya ingin pergi ke danau Kelimutu juga.
Salam kenal Ken, terimakasih ya buat tulisan Ken tentang Ende dan Kelimutu, saya lagi mencari cerita ini... Thank You banget udah berbagi
BalasHapusregards
wulan