Pantai Penggajawa, Sebuah Ironi
Sabtu, 28
April 2012
Ende memang
penuh warna. Setelah kemarin menyaksikan keajaiban danau tiga warna di Gunung
Kelimutu, hari ini kami menyaksikan pesona lainnya di Pantai Penggajawa. Pantai
berpasir hitam, itu biasa. Pantai pasir putih pun banyak. Kalau pantai dengan hamparan
batu biru? Naaahh... itu cuma ada di sini, di Pantai Penggajawa.
Looks
familiar? Ya, mungkin kamu sering melihat batu-batu seperti ini di toko bahan
bangunan. Atau mungkin ia ada di akuarium atau halaman rumahmu? Di halaman rumahku
juga ada bebatuan biru itu, sebagai dekorasi taman. Dulu kupikir, ya ampun
orang rajin amat mengecat batu ini satu per satu! Eh ternyata, batu biru itu
alami, dan semua berasal dari pantai ini.
Melihat batu warna-warni begini, aku jadi ingat dulu waktu kecil aku percaya peri-peri kecil seperti Tinkerbell-lah yang bekerja mewarnai bunga-bunga, melukis sayap kupu-kupu dan badan ikan nemo, dan mengukir karang-karang yang cantik. Hehe... imajinasi masa kecil. Sekarang, melihat semua keindahan ini aku hanya mampu bertasbih... Innallaha jamiil wa yuhibbu al-jamaal. Ialah sebenar-benarnya seniman.
Pantai Penggajawa terletak 20 km ke arah barat Kota Ende. Untuk menuju ke sana, kamu naik angkutan kota dulu ke terminal Ndao. Dari situ, kamu nyambung lagi naik angkutan yang menuju Nangapanda. Angkutan ini rutenya melewati jalanan yang mengikuti garis pantai. Berkelok-kelok melintasi punggung bukit, dengan pemandangan laut lepas di sebelah kiri jalan. Kayaknya kalau naik sepeda asik nih, kayak rute etape-etape gitu deh. Pokoknya nanti kalau sudah kelihatan pantai dengan bebatuan biru menghampar, itu berarti kamu sudah sampai di Pantai Batu Biru atau Pantai Penggajawa. Turun saja, ongkosnya Rp 5000.
Pantai Penggajawa terletak 20 km ke arah barat Kota Ende. Untuk menuju ke sana, kamu naik angkutan kota dulu ke terminal Ndao. Dari situ, kamu nyambung lagi naik angkutan yang menuju Nangapanda. Angkutan ini rutenya melewati jalanan yang mengikuti garis pantai. Berkelok-kelok melintasi punggung bukit, dengan pemandangan laut lepas di sebelah kiri jalan. Kayaknya kalau naik sepeda asik nih, kayak rute etape-etape gitu deh. Pokoknya nanti kalau sudah kelihatan pantai dengan bebatuan biru menghampar, itu berarti kamu sudah sampai di Pantai Batu Biru atau Pantai Penggajawa. Turun saja, ongkosnya Rp 5000.
Aku percaya
nggak percaya melihat pemandangan di hadapanku. Edaaaaaann...! Baru pertama kali ini aku
melihat pantai berwarna-warni. Subhanalloh, indah sekali. Tempat seindah ini
pun ternyata belum terjamah. Pantainya sepiiiiii... sekali. Kalau di Jawa tempat
secantik ini mungkin sudah ramai diserbu orang.
Bapak, Ibu,
Niko, dan aku langsung sibuk masing-masing, nyari batu-batu unik. Kebanyakan
memang berwarna biru kehijauan (tosca) tapi ternyata batu dengan warna-warni
lain juga banyak! Ada warna ungu, merah, putih, kuning, macem-macem. Ada yang lapis-lapis, mengingatkan kita pada warna permukaan planet Venus dan Jupiter.
Bentuknya juga
lucu-lucu. Ada yang berbentuk kotak kayak sabun batangan, bentuk segitiga,
bundar mulus kayak ulekan, sampai yang mirip pelok mangga (apa emang pelok
mangga beneran ya? atau jangan-jangan itu adalah fosil mangga yang berasal dari jutaan tahun yang lalu? --halaaahhh...)
Apakah itu batu? Atau pelok mangga? |
Bapak dan
ibu mengumpulkan batu-batu imut dan lucu, Niko mengumpulkan batu-batu besar
yang memiliki pola dan bentuk yang unik, sedangkan aku sibuk memenuhi kantong
celanaku dengan bebatuan warna-warni segede coklat chacha. Jadi inget
lebaran... hehe. Kalo lebaran kan aku selalu memenuhi kantongku dengan kue dan
kacang dari rumah orang, sekarang kantongku penuh batu :p
Aku berjalan
menelusuri pantai. Kalau biasanya kita bertelanjang kaki saat menelusuri pasir
pantai, di sini bertelanjang kaki cuma buat orang yang niat mau refleksi.
Sakit bok, ya iyalah batu semua gitu. Pantai di sini ternyata ombaknya lebih
keras daripada pantai di Kupang atau di Kota Ende. Bukan ombak biasa, ini ombak
yang membawa serta bebatuan warna-warni itu. Jadi suaranya bukan cuma “byuuurr...”
tapi juga “kletak kletak kletak...” Dan ketika ombak datang, ia tidak hanya
membasahi kakimu, tapi sekaligus MENIMPUK. Kebayang kan, ombak keras datang
bersama ribuan batu dan kerikil? Rasanya: aduh! Nyeri euy! Cantik sih cantik
warna-warni, tapi namanya juga batu, kalo ketimpuk tetep aja sakit.
Ombak datang membawa batu |
Ohya, di
sekeliling pantai ini banyak tebing, yang lagi-lagi, warnanya tidak biasa. Tebing
ini, dan segala batu pecahannya berwarna hijau! Foto ini bukan hasil editan
permainan warna ya, itu warnanya benar-benar seperti itu! Bukan
pantulan, bukan pula cat (atuhlah...siapa juga yang rajin amat ngecat tebing
sepanjang pantai jadi ijo...)
Kami terus
berjalan menelusuri pantai, berharap menemukan penjual souvenir atau paling
tidak, penjual ikan bakar. Ternyata, tidak ada sama sekali. Hufft... Pantai itu
ya benar-benar pantai saja, tidak dimaksimalkan sebagai objek wisata unik dan
tidak dimaksudkan untuk menarik pengunjung. Sayang sekali. Aku nggak ngerti
deh, apakah pemerintah setempat memang betul-betul pengen menjaga kelestarian
pantai tersebut atau karena nggak bisa dan nggak niat mengembangkan potensi
wisata sih? Ckckck...
Penduduk di
pesisir kebanyakan bekerja sebagai nelayan dan pendulang batu. Mereka mengumpulkan
batu-batu biru itu dari pantai, atau dari dasar laut, lalu disortir berdasarkan
bentuk, warna, dan ukuran. Setiap minggu akan ada pengepul dari kota yang
membeli batu-batu yang mereka kumpulkan. Sekantung batu dihargai Rp 25000. Murah
banget ya? Kalo sudah sampai di toko bangunan, apalagi di Jakarta, harganya
bisa berlipat-lipat.
Sepanjang pesisir,
kamu akan melihat tumpukan batu di mana-mana, di depan setiap rumah. Artinya itulah
mata pencaharian utama warga kampung ini. Mendulang batu, menyortirnya, lalu
menjual ke pengepul. Tidak ada satu pun tanda-tanda penduduk sini yang menjual
batu-batu indah tersebut dalam bentuk kerajinan tangan atau souvenir. Padahal kalau
batu-batu ini dijual dalam bentuk kerajinan tangan dan souvenir, harganya pasti
akan lebih mahal daripada kalau menjual tumpukan batu ke pengepul. Ada nilai
tambahnya. Dan turis jelas lebih berminat membeli cinderamata seperti itu
daripada harus membeli sekarung batu. Ya kan?
Jelas sudah,
berarti memang tidak ada perhatian dari pemerintah setempat terhadap eksotisme
pariwisata Ende. Di Kelimutu tidak, di kota pun tidak, di pantai secantik ini juga
tidak. Kecantikan alam dan kekayaan budaya tidak disinergikan dengan sektor pariwisata
dan industri kreatif yang semestinya menjadi penggerak roda perekonomian warga.
Padahal
mereka tinggal di pesisir pantai yang amat mempesona, mungkin cuma satu-satunya
pantai di dunia yang punya hamparan batu biru alami, tetapi kebanyakan warga
masih tinggal di gubuk reyot. Nenek-nenek berusia lanjut masih bekerja memecah
batu di halaman rumahnya. Gimana nggak sedih coba? Padahal di halaman rumah
mereka itu pula terhampar potensi pariwisata dan keunikan yang belum dimanfaatkan
secara maksimal untuk menarik perhatian wisatawan.
Aku
berpikir, mereka tidak seharusnya menjadi buruh pendulang dan pemecah batu yang
hanya bisa menjual ke pengepul dengan harga murah, seharusnya mereka sudah menjadi
pemilik restoran ikan bakar atau penginapan tepi pantai. Ya kan? Turis mana
coba yang nggak mau tinggal lama-lama di tempat seindah ini?
Ibu-ibunya
juga begitu, mereka mengangkut batu dari pantai untuk dibawa ke halaman rumah
mereka, lalu disortir dan menunggu pengepul datang. Padahal aku membayangkan,
mereka seharusnya bisa dibina, diberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga
bisa membuat nilai tambah dari batu-batu biru nan cantik itu. Seharusnya mereka
jadi juragan souvenir batu biru, seharusnya mereka bisa membangun industri
kreatif yang membuat perekonomian desa mereka jadi lebih baik daripada harus
capek-capek mengangkut batu.
Aku sedih
sekali, melihat bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang tidak sadar bahwa
mereka tinggal di tanah surga. Surga itu ada di halaman rumah mereka, namun
mereka tidak diberi tahu, tidak dibina bagaimana mengambil manfaat dari sana. Sungguh
suatu ironi. Aku tahu, seharusnya aku bercerita kepada kalian tentang betapa
cantiknya Pantai Penggajawa. Tapi aku munafik jika hanya bisa menceritakan
keindahannya saja. Padahal ada ironi di sana. Di mana penduduk setempat masih hidup
dalam gubuk reyot, melakukan pekerjaan kasar seperti mencari, memecah, dan
mengangkut batu-batu indah itu untuk diekspor atau dibawa ke Jawa. Dibeli dari
mereka dengan harga murah, lalu dijual dengan harga tinggi.
Apa lagi itu namanya jika bukan suatu
pembodohan. Pemiskinan. Itu kan sebetulnya tanggung jawab pemerintah untuk bisa
membina dan memberikan keterampilan wirausaha, memberikan modal. Menyadarkan bahwa
apa yang ada di halaman rumah mereka itu adalah aset tak ternilai. Namun pemerintah
terlalu sibuk mengurus orang-orang di Jawa, pejabat terlalu sibuk mengisi
perut, politisi terlalu sibuk plesir. Surga-surga yang ada di sini
ditelantarkan. Rakyatnya dibiarkan tidak sadar dan terus hidup dalam lingkaran
setan: kemiskinan-kebodohan-kemiskinan-kebodohan, dan begitu seterusnya.
Ah,
Indonesia...
sebelum baca tulisan ini, aku terpukau banget ama poto2nya ken.. baguuuuuuuuuuusss subhanallah! pengen kesana.. skrg baru mau baca tulisannya.. hihi penting banget ya komen ini
BalasHapushallllo ... salam kenal. saya salut dengan tulisan dan fotonya. salam kenalkan : saya putra asli batu hijau penggajawa ende. masih banyak wisata lain di kab. ende terutama penggajawa, flores pada umumnya. untuk infonya.. 08-1234-222-598 / ask111275@yahoo.com (saya di semarang)
BalasHapusterima kasih, akan menjadi informasi yang sangat berharga umtuk para pembaca. Flores sungguh indah, sayang pengelolaan pariwisatanya belum maksimal.
Hapuswaaahhhh amazing...... :)
BalasHapusLuar biasa.. I love ende sare..
BalasHapusamazing...
BalasHapusAmazing, baca tulisan anda sungguh saya tertarik untuk datang menikmati keindahan ende, sebuah surga tersembunyi, hidden paradise
BalasHapus