Soekarno, Terlalu Istimewa untuk Dilupakan

Ken Andari masih melaporkan dari kompleks makam Bung Karno, Blitar.

Tentu aku tidak lupa tujuan awalku datang ke tempat ini. Ziarah ke makam sang putra fajar. Aku menuju bangunan utama, yang tak lain adalah sebuah astono atau cungkup berbentuk joglo, rumah khas jawa, yang menaungi tiga buah makam. Pertama, makam sang ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai. Lalu ada pula makam sang ayah, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Keduanya mengapit makam utama yang bertuliskan: Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.



Suasana makam hari itu ramai sekali. Mungkin karena memang akhir pekan. Mulai dari anak-anak usia sekolah dasar sampai kakek-nenek yang sudah berjalan membungkuk, semua duduk bersila melantunkan doa dan ayat-ayat suci. Aku turut duduk di antara mereka. Aku perhatikan wajah-wajah para peziarah itu. Ada yang terlihat cuek, tapi tak sedikit pula yang tampak sangat khusyuk melantunkan ayat-ayat suci, sampai air matanya hampir berurai. Entah karena apa. Mungkin semata terhanyut suasana, atau memang ada kerinduan yang begitu besar terhadap sosok pemimpin kharismatik ini.

Sementara aku larut dalam pikiranku sendiri. Diam-diam aku curhat dan berdialog dalam hati, seolah Bung Karno berada di depanku kini.

Aku cerita banyak hal tentang kegelisahanku soal bangsa ini. Pak, kalau Anda masih ada sekarang, mungkin Anda akan sedih melihat realita bangsa yang sudah Anda perjuangkan hidup-mati ini, sekarang belum menunjukkan kemajuan berarti. Malah semakin terpuruk moralnya dengan berbagai kasus korupsi dan tingkah polah ‘menggemaskan’ para petinggi negeri.

Ya, aku tau. Tidak ada sosok pemimpin ideal yang tak punya kesalahan. Termasuk juga Anda. Namun terlepas dari catatan kelabu di akhir masa pemerintahanmu, aku hanya ingin berandai-andai. Seandainya saja Anda masih hidup, kami ingin minta nasehatmu. Atau, paling tidak, semangatmu yang menggelora itu. Karena saat ini, sepertinya kaum muda pun sudah mulai apatis dengan segala bentuk kekacauan. Ya, kaum muda yang dulu selalu kau bangga-banggakan itu.

Tapi ya sudahlah, Pak. Biar Anda beristirahat dengan tenang saja. Salam kangen dari pengagum berat Anda, mbah putri saya, Siti Hamidah.

Ya, mbah putri saya itu memang sering sekali cerita tentang Bung Karno. Meski tak pernah bertatap muka langsung, Mbah sudah mengagumi Bung Karno sejak pertama kali mendengarkan pidatonya di Surabaya.

“Pak Karno iku ancene wong sakti. Nek denger Pak Karno pidato di radio, kuaaaabeh… mandek. Mau yang lagi goes becak kek, jual dawet kek, sopo ae mesti mandek ngerungo’no nang radio. Mending ono wong’e! Gak, iki suarane thok, tapi yo kabeh mandek! Nek gak sakti opo yo iso koyok ngono!”

Begitu Mbak selalu bercerita tentang Bung Karno. Suaranya yang menggelegar namun tetap santun dan membumi. Tutur katanya yang tepat membakar semangat siapapun yang mendengar. Bahkan, bisa membuat setiap orang menghentikan aktivitasnya seketika mendengar suara Bung Karno di radio. Ya, di radio! Lalu semua orang akan terpaku mendengar ia berbicara, bersorak menyambut teriakannya, dan bahkan secara bersamaan menjawab salamnya.

Cerita itulah yang selalu diulang-ulang oleh Mbahku. Cerita tentang Soekarno yang sakti. Di masa kini mungkin kita lebih mengenal ‘kesaktian’ Bung Karno itu sebagai sebuah seni berbicara, retorika. Aku pun pernah mendengar Bung Karno berpidato, meski lewat rekaman saja yang diputar di Museum Konferensi Asia-Afrika, Bandung. Ya, memang bukan pidato biasa. Seperti kata Mbahku, “Sampai sekarang belum ada orang kayak Pak Karno, yang bisa bikin semua orang berhenti waktu dengar dia bicara.”

Aku sangat bersyukur bisa datang berziarah ke makam Bung Karno saat ini. Karena dulu, pada tahun 70-an di masa awal pemerintahan Orde Baru hingga awal 80-an, berziarah ke tempat ini bukanlah perkara mudah. Seperti yang dikisahkan Andreas Harsono dalam sebuah tulisan berjudul “Makam Soekarno di Blitar 1972”, Pada masa itu kecurigaan terhadap kaum kiri maupun Soekarnois tinggi sekali. Ada ratusan ribu, bila bukan jutaan orang komunis dibunuh, dan 100,000 ditahan tanpa pengadilan. Dan pada masa itu pula, makam Soekarno tidak boleh dikunjungi orang dari Jakarta, kecuali warga Blitar saja.

Soeharto sendiri yang juga menolak mentah-mentah keinginan terakhir Bung Karno untuk dimakamkan secara sederhana di Batutulis, Jawa Barat. Ia berupaya menjauhkan Soekarno dari pusat pemerintahan di Jakarta, sekalipun hanya nama. Ya, orang besar mati meninggalkan nama, dan rupanya Soeharto tak mau nama besar Soekarno lekat diingat.

Dan di sinilah sekarang, Soekarno diistirahatkan. Di kota kecil nan damai, Blitar. Ribuan orang dari berbagai penjuru tak pernah sepi mengunjungi dan mendoakannya tiap tahun. Bahkan setelah puluhan tahun sepeninggalnya, nama Soekarno tetap lekat di hati rakyat. Bagaimanapun, ia terlalu besar untuk dikecilkan. Terlalu istimewa untuk dilupakan.



Soekarno yang kharismatik
***

Komentar

Baca juga...

Si Cantik Asli Sumedang

Pentingnya EYD dalam Bahasa Jurnalistik

Benda-benda Kesayanganku...

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Cerita dari Malang