Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Pohon Belimbing dan Pohon Kemuning

Di depan rumah kami ada sebuah pohon belimbing yang tinggi besar... di bawahnya ada pohon bunga kemuning kecil. Aku mengarang cerita ini waktu lagi duduk-duduk di bawah pohon sama Ali 😆 Alkisah ada sebuah pohon kemuning kecil. Pohon kemuning ini punya daun kecil-kecil, bunganya putih kecil-kecil, berbuah juga kecil-kecil. Pohon kemuning yang kecil dinaungi oleh pohon belimbing yang sangaaaatt besar. Batangnya besar, cabangnya banyak, daunnya rimbun seperti payung. Buahnya juga besar-besar dan manis. Pohon kemuning sering merasa iri sama pohon belimbing. Dia melihat ke atas, duh enaknya jadi pohon belimbing, tinggi, besar, berbatang kuat. Bisa lihat matahari terbit dan terbenam dari balik atap rumah. Dihinggapi burung-burung tiap pagi dan petang. Kalau malam, bisa lihat bulan dan bintang. Aku? Cuma bisa dipayungi bayangan pohon belimbing saja setiap saat. Keluh pohon kemuning. Pohon belimbing nan tua dan bijak tersenyum mendengar gerutuan si pohon kecil. "Kamu mau bertukar deng

Berkah

Di antara pertanyaan iseng orang-orang dewasa kepada anak kecil, satu yang sering ditanyakan adalah: "Ayahnya kemana? Kerja? Kerja cari apa?" Tau kan biasanya apa jawaban anak? "Kerja nyari duit. Buat beli susu. Buat beli mobil. Dll" Itu hal sepele, iseng, lucu-lucuan aja sih emang. Tapi dengan mengajarkannya jawaban tersebut, tanpa sadar kita sebenernya telah menanamkan bibit-bibit materialisme kepada anak. Kita mengajarkannya untuk menjadikan harta/kebendaan sebagai tujuan hidup. Dan bukan itu tujuan pendidikanku untuk Ali. Maka pertanyaan seperti itu dari orang membuatku berpikir, jawaban apa yang harus kuajarkan untuk Ali. Aku berusaha keras menanamkan nilai keluhuran seperti rasa malu, syukur, sabar, juga konsep-konsep abstrak seperti mubazir, ridho, dan kali ini, berkah. Anak-anak pada usia Ali cenderung mempelajari sesuatu yang konkret, maka memang tidak mudah mengajarkan hal-hal tersebut. Harus diulang-ulang terus supaya terinternalisasi di benaknya. &q

Patriarki Sehari-hari~

Aku belom pernah nulis ya tentang kampung halaman suamiku, di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Itu jauuuuh banget. Dari Makassar masih harus naik bus 12 jam. Pertama kali ke sana waktu lebaran 2014, dua bulan setelah kami menikah. Seru sih, mengunjungi tempat baru, mengenal budaya baru. Aku suka alamnya, orang-orangnya, kulinernya. Tapi ada satu hal yang aku gak suka banget di sini: budaya patriarkinya. Terasa banget tiap lebaran, saat kita saling silaturahmi ke rumah kerabat satu kampung. Dan suasana yang di setting hampir selalu sama: orang lelaki duduk di sofa, ruang tamu. Dengan sajian kue-kue di toples cantik, es sirup, ngobrol sambil merokok. Kaum perempuan bersama anak-anak kecil diarahkan ke ruang belakang alias dapur, duduk lesehan di atas karpet, dengan kue-kue yang tersaji di atas piring, air putih di gelas kemasan plastik, sambil sesekali dipanggil suami yang minta diambilin onoh-inih. Ambilin asbak lah. Bikinin kopi lah. Nyiapin makan. Kobokan. Kobokan meeennn... Oh wow. Ku

Bias Gender pada Balita

Suatu hari, Ali sedang asyik ngebut dengan pushbike kesayangannya. Dia memang udah lincah banget maininnya, kalo lihat dia ngebut pake pushbike pokoknya dijamin mules lah. Apalagi kalau ada temannya sepedaan, dia makin semangat balapan. Teman-teman yang tentu udah jauh lebih besar daripada Ali, usia 6-10 tahun. Ali memang satu-satunya anak bawang di gang kami yang sudah bisa ngebut pake sepeda roda dua. Datanglah seorang temannya. Perempuan. Sebutlah si Zee. Usianya 2,5 tahun. Dia lagi disuapin sama neneknya sambil main. Anak ini tipe yang rapi, manis, dikuncir, pake baju pink pink, pake sendal, beda 180 derajat dari Ali yang petakilan, gak pernah sempet dibedakin (udah kabur), baru dimandiin 5 menit udah asem keringetan lagi, dan kalo disuruh pake sendal, sendalnya ditinggal dimana tau (demenan nyeker). Temennya ini tertarik pingin pinjem sepeda Ali. Ali dengan senang hati meminjamkan. Baru aja Zee naik, datang neneknya dengan kata-kata sakti " JANGAN ! " kubilang, gak pap

Dua Tahun Menata Hati

Gambar
Tidak banyak yang tahu bahwa dua tahun terakhir aku mengalami pergulatan batin yang luar biasa. Aku menepi dari keramaian, semata-mata karena aku merasa kehilangan pijakan. Semua bermula semenjak aku memutuskan resign dari pekerjaanku sebagai wartawan Majalah Ummi dan banting setir jadi ibu rumah tangga. Pada waktu itu alasanku resign adalah karena: capek. Aku sering sakit. Nggak ada visi dan alasan yang cukup mapan tentang mengapa aku harus di rumah. Tadinya kupikir segalanya akan jadi lebih mudah. Ternyata, pergantian rutinitas dan peran ini bikin aku shock. Mungkin semacam post power syndrome ya. Hehe. Dari yang tadinya bebassss banget jadi jurnalis wara-wiri ke sana ke mari, perempuan mandiri ke mana-mana sendiri, punya penghasilan sendiri dengan lifestyle yg lumayan konsumtif, pokoknya hidup semau-mau. Eh, tiba-tiba harus di rumahhhh aja sama bocah. Iya sih aku punya ide besar bahwa aku pengen di rumah untuk full time mendidik anak. Tapi itu ide besarnya. Realita hariannya mah. N