Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun
Di Kota Ende, kami menginap di Hotel Dwiputra yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Ende. Seperti waktu di Kupang, kami memesan dua kamar. Masing-masing harganya Rp 150000 per malam. Itu sudah termasuk sarapan setiap pagi. Kamar yang kami tempati cukup nyaman, dengan pendingin ruangan dan jendela besar sehingga kami bisa menyaksikan pemandangan bukit-bukit hijau yang mengelilingi Kota Ende.
Pantai Ria
Ende yang merupakan tempat favorit masyarakat Kota Ende menghabiskan waktu
senggang di sore hari, jaraknya hanya 200 meter dari hotel kami. Pantai ini
menghadap ke Barat, jadi setiap sore pemandangan matahari terbenam menjadi
momen yang tidak boleh terlewatkan.
Kapal-kapal merapat di Pelabuhan Ende |
Where beach meets mountains |
Sunset di Pantai Ria Ende |
Di pinggir
pantai, paling enak minum kelapa muda sambil makan ikan bakar. Kelapa muda di
sini segar sekali, karena airnya dicampur dengan perasan lemon. Begitu juga
dengan ikan bakar, yang disantap dengan sambal khas, namanya sambal matah. Sambal
ini terbuat dari tomat, bawang, potongan lemon dan daun kemangi mentah yang
dicacah kasar, plus perasan lemon yang membuat sambal ini sangat bercitarasa
asam segar, dan menghilangkan amisnya ikan. Wah, ternyata bukan tanpa alasan
Pak Markus membawakan kami lemon kemarin. Ternyata di sini, lemon jadi ciri
khas campuran masakan dan minuman. Aku suka banget ikan bakar plus sambal matah
ini. Makan siang dan malam, lagi-lagi ikan bakar! Hehe... Kalau adikku lain
lagi, dia suka banget sama es kelapa plus lemon itu.
Jika bicara
tentang Ende, kita pasti teringat juga dengan Bung Karno. Ya, Belanda kan pernah
mengasingkan Sang Proklamator ke Ende selama 4 tahun, dari tahun 1934-1938. Selama
di Ende, Bung Karno tinggal di rumah sederhana ini.
Rumah ini
terletak di Jalan Perwira, jaraknya tak sampai 100 meter dari hotel tempat kami
menginap. Semua barang koleksi milik Bung Karno masih tersimpan di dalam rumah
ini, seperti foto keluarga, dua buah tongkat berkepala monyet, peralatan makan,
lemari, dan beberapa lukisan. Di dalam rumah ini juga terdapat ruang yang
sering digunakan Bung Karno untuk sembahyang dan bersujud. Bekas sujudnya itu
masih membekas di lantai. Di bagian belakang rumah juga terdapat sumur yang
airnya biasa digunakan Bung Karno selama tinggal di sana, namun masyarakat
setempat mempercayai air dari sumur itu bisa membuat awet muda. Warga setempat
mengatakan, putra bungsu Bung Karno, Guruh Soekarno Putra masih sering datang ke
sini.
Belanda
boleh membuang Bung Karno jauh-jauh dari pusat pemerintahan di Jawa, tapi
mereka tidak dapat memusnahkan gagasan dan pemikiran beliau. Dasar kompeni,
mereka membuang Bung Karno ke tempat sedamai dan seelok ini, yang malah membuat
Bung Karno bisa berpikir dengan tenang dan jernih demi masa depan bangsanya. Konon,
setiap sore hari selama di Ende Bung Karno selalu duduk merenung di bawah
sebuah pohon sukun di tepi pantai. Diyakini gagasannya akan Pancasila sebagai
falsafah negara Indonesia terlahir dalam proses perenungannya di bawah pohon
ini. Bung Karno sendiri yang mengatakannya saat berkunjung ke Ende dan
bernostalgia di bawah pohon tua itu pada tahun 1955.
Pohon sukun
tersebut tumbang pada tahun 1960, tapi pohon sukun kedua ditanam kembali
sebagai duplikat untuk mengenang tempat Bung Karno merenungkan dasar negara. Ajaibnya,
pohon kedua ini tumbuh dengan lima cabang, yang diyakini masyarakat setempat sebagai
perwujudan lima sila dalam Pancasila. Tepat di depan pohon tersebut dibangun
patung Sang Proklamator. Pohon sukun dan patung Bung Karno itu kini dikenal
sebagai Taman Perenungan Pancasila. Setiap sore anak-anak ramai bermain di
sini.
Pohon sukun bercabang lima |
Patung Bung Karno di Taman Perenungan Pancasila |
Di Ende juga
terdapat makam ibu mertua Bung Karno, yaitu Ibu Amsi, ibunda dari Inggit
Garnasih, istri Bung Karno pada waktu itu. Ibu Amsi ikut bersama putrinya menemani Bung Karno selama masa pengasingan, hingga akhirnya meninggal dunia di sini. Makam Ibu Amsi terletak di sebuah
kompleks pemakaman keluarga pejuang kemerdekaan, tak jauh dari pusat kota.
Ada juga
Museum Tenun Ikat, yang terletak di Jalan Mohammad Hatta, di sebelah Taman Perenungan
Pancasila. Pokoknya kalau di Kota Ende, ke mana-mana bisa ditempuh dengan
berjalan kaki atau naik angkutan kota. Aksesnya mudah. Mau ke pasar
juga tak jauh. Ada pasar pagi dan pasar malam. Kalau pagi, sebagian toko (seperti
toko baju, sepatu, elektronik) ada yang tutup karena emperannya digunakan oleh
para pedagang sayur, buah, dan ikan. Barulah pada sore hari mereka buka.
Pemandangan sore di Kota Ende |
Pokoknya hari
ini kami hanya jalan-jalan keliling Kota Ende. Sekalian nyari oleh-oleh. Sayang
banget, di kota dengan potensi pariwisata yang luar biasa seperti ini, justru sangat
sulit mencari cinderamata khas. Bahkan makanan khas pun sulit ditemukan. Artinya,
potensi pariwisata di Ende belum dimanfaatkan secara maksimal, dan belum
disinergikan dengan sektor-sektor lain, seperti industri kreatif dan kebudayaan
setempat. Sayang seribu sayang.
Toko
cinderamata hanya ada dua, yaitu Fanni Art Shop dan Cendana Art Shop yang
terletak di Pasar Ende. Di situ pun barangnya tidak terlalu variatif, dengan
kualitas yang masih rendah. Kaos bertuliskan Ende atau Kelimutu hanya ada satu
atau dua model, dengan bahan dan jahitan yang membuat kami urung membeli. Begitu
pula gantungan kunci, tidak ada variasi dan desain yang menarik. Yang banyak
dijual malah kain tenun ikat, sasando, dan topi khas Ende. Iya sih, itu bagus
dan bisa dijadikan cinderamata, tapi kan tidak bisa beli banyak. Selain harganya
mahal, benda-benda seperti itu tentu akan jarang dipakai orang.
Begitupula dengan
makanan khas, tidak ada yang ditonjolkan. Ada juga keripik singkong dan keripik
pisang. Itu kan juga banyak di Bandung. Hmm... aku sih yakin pasti Ende punya
penganan khas yang lebih unik dan bernilai jual daripada sekadar kripik pisang
atau singkong.
***
itu Kampungku. tks uda ditulis. aduh, jadi kangen pengen pulang kampung> salam kenal
BalasHapusBegitulah ka'e Syarif.. apalagi kalau dengar gunung meja, iya & wongge jadi lebih kangen..
BalasHapus