Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

Over Kapasitas di Lapas, Napi Alami Dehumanisasi

Pernahkah Anda membayangkan rasanya tinggal di dalam penjara yang over kapasitas hingga 200 persen? Sudah sial masuk penjara, penuh sesak pula. Sudah hilang kebebasan, hilang pula hak-haknya sebagai manusia untuk mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal, apalagi pendidikan yang layak. Narapidana memang pelanggar hukum, tapi seringkali kita lupa, bahwa mereka juga manusia. Hal inilah yang dibahas oleh Hasanuddin Massaile, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM dalam disertasinya yang berjudul “Pelayanan Kepada Narapidana Narkoba Dalam Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan, Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta”. Dalam karyanya ini Hasanuddin memusatkan penelitiannya terhadap permasalahan narapidana kasus penyalahgunaan narkoba, dengan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta. Lembaga ini dipilih karena dapat merepresentasikan kebijakan pemasyarakatan khusus narapidana narkoba. Kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang semakin banyak dari

Keterbukaan Informasi dan Kebebasan Pers

Disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tanggal 25 November 2009. Latar Belakang Bahwa kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 4 Undang-undang yang sama bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Sebagai hak asasi warga negara, maka pers bebas dari bredel, sensor dan larangan penyiaran (ayat 2). Ayat 3 pasal tersebut menegaskan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers bebas mencari, memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi. Untuk mencari dan memeroleh informasi tersebut, lebih lanjut dijamin dengan munculnya sunshine laws (produk-produk hukum yang menjamin keterbukaan informasi dan transparansi). Salah satu sunshine laws tersebut adalah Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publi

“The New Ruler of The World”

Sebelum membahas film ini, saya ingin sedikit bercerita. Saya tinggal di Kota Tangerang, sebuah kota yang selalu dibangga-banggakan sebagai salah satu pusat kegiatan industri terbesar di Indonesia. Saya mengalami sendiri bagaimana rasanya tinggal di kota industri ini. Setiap pukul 12 siang dan 4 sore, sejumlah ruas jalan selalu mengalami kemacetan, karena ribuan buruh keluar pabrik untuk beristirahat maupun pulang kerja. Saya mengenal beberapa orang buruh, bahkan terdapat sejumlah sanak famili saya yang bekerja menjadi buruh. Salah satunya ialah Endang Fatmawati (29), kakak sepupu saya asal Klaten, Jawa Tengah yang mengadu nasib di Jakarta sejak tahun 1997. Semasa SMA, saya mengenal sosok Mbak Endang –begitu saya memanggilnya- sebagai murid yang cerdas dan berprestasi di sekolahnya. Setahun kemudian, ia berangkat ke Jakarta dan menetap di rumah saya. Waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SD, sehingga memang masih banyak yang berusaha saya pahami. Setiap pagi, pagi-pagi sekali, saya te

Monumen Perjuangan dan Prasasti yang Terlupakan

Gambar
Ruangan tampak gelap. Hanya ada cahaya dari sorot beberapa lampu yang tersisa di langit-langit ruangan. Lainnya tinggal kabel saja, menjulur ke luar, berantakan. Di sebelah kanan ruangan, berderet sejumlah kotak kaca yang berisi replika peristiwa-peristiwa bersejarah di Jawa Barat. Ada replika peristiwa Bandung Lautan Api, perundingan Linggarjati, pembuatan Jalan Raya Pos yang menampilkan Pangeran Kornel dari Sumedang yang menolak bersalaman dengan Daendels, dan sejumlah peristiwa bersejarah lainnya. Segerombol anak laki-laki berpakaian seragam merah-putih masuk ke dalam ruangan sambil berlarian. Mereka langsung menyerbu melihat kotak-kotak kaca. “Wuih, kepalanya buntung!” seru Fikri (10), seorang siswa kelas 5 SD Haur Pacung Bandung sambil menunjuk-nunjuk ke dalam sebuah kotak kaca. Tiga orang temannya pun segera menghampiri. Mereka asyik mengamati replika peristiwa perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap penjajah Belanda. Di situ memang ada boneka serdadu Belanda yang putus kepala

Kutipan Percakapan dengan Prof. Said Hamid Hasan

Di tengah kejenuhan saya dengan kuliah, tiba-tiba saya teringat percakapan saya dengan salah seorang pakar pendidikan dari UPI, Prof. Dr. Said Hamid Hasan, hampir setahun lalu. Beliau mengatakan, "Pendidikan kita hanya memikirkan ini (menunjuk kepala), tapi tidak aspek manusianya." "Maksudnya?" "Apa yang ada dalam pikiran Anda saat kuliah? Belajar, belajar, dan belajar ‘kan? Karena beban studi Anda banyak sekali dalam satu semester. Mata kuliah pilihan Anda bagaimana? Organi-sasi kemahasiswaan Anda bagaimana? Kegemaran Anda bagaimana? Adakah waktu untuk itu? Anda senang misalnya ikut kelompok diskusi. Seperti saya dulu mengikuti kelompok arkeologi mesin. Kita berbagi pengalaman di sana, sesuai kesukaan saya. Karena sebagai manusia, saya ulangi lagi, sebagai manusia, mahasiswa memang harus belajar, tapi ia juga punya kebutuhan lain. Seharusnya begitulah kampus, bisa mengembangkan potensi diri Anda sebagai manusia. Sehingga mahasiswa-mahasiswa yang dihasilkan pun

Wartawan Profesional

Wartawan makin banyak. Namun yang manakah yang benar-benar profesional? Menurut Alex Sobur dalam Etika Pers, Profesionalisme dengan Nurani (2001:83), ada lima hal yang tercakup dalam profesionalisme: 1. Profesional menggunakan organisasi atau kelompok profesional sebagai kelompok referensi utama 2. Profesional melayani masyarakat dengan baik, mengutamakan kepentingan umum 3. Profesional memiliki kepedulian atau rasa terpanggil dalam bidangnya 4. Profesional memiliki rasa otonomi. 5. Profesional mengatur dirinya sendiri (self regulation) Ashadi Siregar dalam bukunya “Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa” memaparkan sejumlah karakteristik wartawan profesional: 1. Persiapan sebelum ke lapangan Wartawan yang profesional selalu mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat membaca situasi dimana dia berada dan bekerja. 2. Menjalin hubungan baik Wartawan profesional akan selalu menjaga hubungan baik dengan para sumber berita dan berbagai pihak yang dalam kehidupan sehari-har

Pentingnya EYD dalam Bahasa Jurnalistik

Kita membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhan kita akan informasi. Setiap hari kita membaca surat kabar, majalah, dan menonton siaran berita di televisi dan radio untuk memahami apa yang terjadi dengan lingkungan kita. Artinya, setiap hari kita berhadapan dengan penggunaan bahasa jurnalistik, yang hingga kini masih bisa kita. Tapi tak banyak khalayak yang menyadari bahwa bahasa jurnalistik penting bagi pembaca. Kebanyakan khalayak hanya tahu membaca, membaca, dan membaca. Setelah itu, ya entah bagaimana nasib surat kabar tersebut. Ada yang berakhir di tumpukan koran, ada yang disimpan untuk dikoleksi sebagai sejarah, ada juga yang menjadi bungkus cabai di tukang sayur. Seorang jurnalis harus memiliki kemampuan menulis yang luar biasa, yang bisa membius, bahkan memanjakan keingintahuan dan imajinasi pembaca. Tentu saja, bagaimana kita bisa betah membaca surat kabar yang berisi sekian banyak halaman, sekian ratus berita setiap harinya, jika kata-kata yang digunakan cenderung “aca

Membangun Indonesia dengan Kemerdekaan Pers

Indonesia adalah salah satu negara yang terbilang unik, di mana konsep kebangsaannya dibangun di atas tradisi cetak, alias dunia pers dan surat kabar. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar founding fathers kita adalah para penulis handal. Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Rasuna Said, Dr. Soetomo, dan tokoh bangsa lain, juga menjadi pemimpin surat kabar. Surat kabar dan pers ini digunakan untuk menyampaikan ide-ide mereka tentang kemerdekaan dan pembelaan terhadap rakyat yang ditindas pemerintahan kolonial. Sejak dulu, efektivitas pers sebagai alat propaganda memang sudah tidak diragukan lagi. Tentu kita tahu propaganda yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) lewat salah satu majalahnya, Lekra yang laku keras saat itu. Tapi tentu saja bukan hanya PKI yang punya media. Salah satunya adalah “Soenda Berita”, sebuah surat kabar yang didirikan, dibiayai, dipertahankan oleh seorang pribumi, Tirtoadhisoerjo. Kemudian banyak bermunculan ide pergerakan kebangsaan yang disalurkan melalui t

Si Mbah

Gambar
Nenek saya namanya Siti Hamidah. Semua orang memanggilnya dengan sebutan Mbah. Mbah itu satu-satunya grandparent saya, karena mbah-mbah yang lain udah pada meninggal. Bahkan saya tidak terlalu mengenal mbah-mbah yang lain (bapaknya Bapak dan kedua orang tuanya Ibu), sebab mereka meninggal saat saya masih sangat kecil. Nggak heran kalau saya sayaaaang banget sama Mbah Midah ini ^.^ Mbah saya ini orang Madura asli. Kata Bapak, Mbah keturunannya Raja Madura dulu. Makanya kulit Mbah putih, nggak kayak orang Madura lain yang cenderung gelap. Mbah saya juga tingkah lakunya kayak ningrat banget, rapi, jalannya anggun, kalo makan pake table manner, ya tipe-tipe perempuan Jawa rumahan. Tapi kalo soal gaya ngomong sih, sama aja kayak orang Madura umumnya, blak-blakan, rada galak, tapi lucu, hehehe. Mbah saya nih gaul dah orangnya, nggak kolot gitu. Suka bercanda sama cucu-cucunya. Walaupun umurnya udah lebih dari 80 tahun, alhamdulillah sampe sekarang Mbah masih sehat. Nggak ada penyakit serius.

Senyuman untuk Petugas Gerbang Tol

Pernahkah kamu membayangkan bagaimana rasanya duduk berjam-jam di dalam sebuah ruangan yang sempit, di tengah deru kendaraan, sendirian? Pasti gerah, bosan, pegel, pusing kepala... ya, siapa yang tak pernah lewat jalan tol? Siapa yang tak pernah bayar atau ambil karcis di gerbangnya? Kita semua pasti sudah ribuan kali melakukan hal itu. Lewat gerbang tol, berhenti untuk bayar atau ambil karcis dari petugas, dan wusss... ngebut lagi. Pernahkah kita menyadari, setidaknya, bahwa ada seorang petugas, seorang manusia di sana, di dalam loket kecil itu? Bahwa yang memberikan tiket itu adalah seseorang seperti kita yang punya wajah, perasaan, dan perut? Sepertinya tak semua orang menyadari. Tapi Bapak saya berbeda. Salah satu yang saya sukai darinya adalah tentang hal-hal kecil yang ia lakukan, namun besar maknanya bagi orang lain. Seperti juga hal kecil yang selalu ia lakukan kepada para petugas pintu gerbang tol: tersenyum dan menyapa. Setiap melewati pintu gerbang tol, Bapak dengan wajah da

Jangan Dekat-Dekat Bom, Ayah..

Cerpen oleh: Ken Andari “Ayah pergi dulu, ya. Dah Arif sayang, Ayah pasti cepat pulang! Jaga Bunda dan Arif ya Ris, jagoan Ayah,” ujarnya sambil mengacak rambutku. Aku hanya bisa terpaku memandangi punggung kekarnya yang kian menjauh. Ayah harus pergi lagi. Kali ini ke Mesir, perbatasan Rafah tepatnya. Di sanalah Ayah akan bertugas, mengabarkan situasi langsung dari Gaza untuk dunia. Ya, ayahku adalah seorang wartawan televisi. Ia tak pernah berhenti mencari berita, karena memang berita tak pernah habis. Namun karena ayahku memang wartawan senior, ia kerap diberikan tugas liputan yang berat-berat. Seringkali ke daerah konflik atau daerah bencana. Tahun 2004 lalu misalnya, ketika situasi di Aceh sedang panas-panasnya, Ayah dikirim ke sana. Aku dan Bunda sangat khawatir, tapi setiap malam Ayah menelepon dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Selama satu minggu, kami masih bisa bernafas lega karena Ayah tak pernah absen mengabari kami. Namun tiba-tiba pagi hari tanggal 26 Desember 2004 p

Cerpen: Jangan Terlalu Dekat Bom, Ayah!

“Ayah pergi dulu, ya. Dah Arif sayang, Ayah pasti cepat pulang! Jaga Bunda dan Arif ya Ris, jagoan Ayah,” ujarnya sambil mengacak rambutku. Aku hanya bisa terpaku memandangi punggung kekarnya yang kian menjauh. Ayah harus pergi lagi. Kali ini ke Mesir, perbatasan Rafah tepatnya. Di sanalah Ayah akan bertugas, mengabarkan situasi langsung dari Gaza untuk dunia. Ya, ayahku adalah seorang wartawan televisi. Ia tak pernah berhenti mencari berita, karena memang berita tak pernah habis. Namun karena ayahku memang wartawan senior, ia kerap diberikan tugas liputan yang berat-berat. Seringkali ke daerah konflik atau daerah bencana. Tahun 2004 lalu misalnya, ketika situasi di Aceh sedang panas-panasnya, Ayah dikirim ke sana. Aku dan Bunda sangat khawatir, tapi setiap malam Ayah menelepon dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun tiba-tiba pagi hari tanggal 26 Desember 2004 peristiwa itu terjadi. Tsunami besar menghantam Aceh, seluruh kota luluh lantak. Lebih dari seratus ribu orang meninggal

Jatinangor, Membangun untuk Siapa?

Jatinangor, sebuah kota kecil perbatasan Bandung-Sumedang, kini mulai tumbuh menjadi sebuah “kota baru”. Kota baru yang diperkenalkan sebagai kawasan pendidikan, dengan didirikannya empat perguruan tinggi di wilayah ini, yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti, dan Universitas Padjadjaran. Dibangunnya keempat perguruan tinggi ini memaksa Jatinangor untuk melakukan perubahan besar-besaran. Dulu, Jatinangor masih berupa bentangan perkebunan karet yang hijau dengan kehidupan masyarakatnya yang masih sangat tradisional. Sekonyong-konyong datanglah IPDN, Unpad, dan Hotel Bandung Giri Gahana Golf yang dalam waktu singkat telah mengubah wajah Jatinangor. Ratusan hektar perkebunan karet itu kini digantikan lapangan golf serta bangunan-bangunan hotel, kampus, dan kos-kosan yang tinggi menjulang. Kesejukan udaranya berganti kepulan asap dan bisingnya suara kendaraan yang macet setiap hari. Para petani yang kehilangan tanahny