Postingan

The World of The Married

Gambar
"Serius lo? Wah... Kaget gue dengernya. Udah diomongin baik-baik? LDR emang gak mudah bro..." Aku menguping pembicaraan suami di telepon dengan temannya. Ah, another bad news. Setelah memasuki fase pernikahan, aku jadi betul-betul menyadari bahwa komitmen seumur hidup ini tidaklah mudah. Merenungkan pernikahan kami sendiri, dan mendengar sekilas kabar kehidupan pernikahan teman-teman kami, yang seringkali tak seindah kelihatannya. Bukan sekali-dua kali kami menerima kabar buruk tentang pernikahan yang kandas, atau kisah perselingkuhan dan kenakalan bermula kejenuhan, yang seringkali mesti kami simpan rapat-rapat.  Pernikahan adalah ibadah terpanjang yang dilakukan seorang hamba. Kalau untuk sholat yang 5 menit saja kita masih banyak diganggu setan, apalagi pernikahan yang berlangsung (seharusnya) seumur hidup? Untuk sholat, kita hanya perlu meregulasi diri sendiri, tetapi pernikahan bukan hanya tentang kita. Ada suami, anak-anak, bahkan keluarga besar yang mesti dipertimbangk

"Menangkap" Kompeni di Gedung Sate

Gambar
Ceritanya semalem aku buka yutub dan tiba-tiba ngeliat rekomendasi video terbaru Jurnalrisa X Kisah Tanah Jawa. Dulu pas awal-awal banget aku masih suka ngikutin konten mereka, tapi lama-lama ya skip aja. Kalau nonton Jurnalrisa tuh buat aku nostalgia aja siy sama Bandung. Sedangkan KTJ memberikanku banyak perspektif berbeda tentang menalar dunia tak kasat mata.  Konten terbaru mereka yaitu menelusuri Gedung Sate. Duh! Jadi keinget sesuatu! *** Aku bukan tipe orang yang mudah percaya peristiwa-peristiwa mistis, tetapi aku percaya makhluk gaib itu ada. Bapak pernah menjelaskan padaku, makhluk tak kasat mata dan manusia berada pada frekuensi radio yang berbeda, sehingga kecil kemungkinan kita berinteraksi. Beberapa penjelasan Om Hao, salah satunya tentang "residual energy" ,  juga pernah Bapak jelaskan kepadaku. Sangat logis dan masuk di akal, hanya memang penalaran kita terbatas. Jadi, aku tidak selalu melihatnya sebagai sesuatu yang menakutkan atau dramatis, aku tahu mereka a

Jagalah Allah, Allah Akan Menjagamu

Sulungku telah menginjak usia 6 tahun. Semakin pandai berbicara, semakin luwes mengelak. Aku tak selalu bisa jadi bundadari saat menghadapinya. Sering capek hati, capek ngomel, tapi mudah-mudahan aku selalu ingat untuk memohon pertolongan pada Allah Sang Pemilik Kekuatan yang tidak pernah capek.  Ya Allah lindungilah anak-anakku dari keburukan lisanku, dari keburukan tanganku, dari keburukan sifatku.  Jagalah kesucian dan kebersihan hati mereka.  Kuatkanlah aku untuk selalu sabar... Lembutkanlah hati mereka agar mudah menerima nasihat dan menerima ilmu... dan lembutkanlah hati dan lisanku untuk mereka... Kedua doa itu tidak pernah absen, kadang sampai berkaca-kaca mataku saat curhat sama Yang Maha Membolak-balikkan Hati . Karena aku menyadari sepenuhnya, aku bukanlah bundadari yang sempurna, aku masih tidak sabar, aku masih sering marah, aku sering capek dan terlalu ngantuk untuk menjaga mereka. Terutama si sulung, Ali, yang telah mampu memanjat tembok pagar dan kabur walaupun digembok

Memilih Sekolah untuk Anak

Gambar
Setiap orangtua pasti menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, terbaik itu seperti apa? Versi siapa? Dilihat dari aspek apa? Menurut Charlotte Mason, ada tiga pertanyaan penting yang harus bisa dijawab oleh orangtua saat mereka ingin bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anaknya.  Mengapa anak perlu belajar? Apa yang perlu dipelajari? Bagaimana sepatutnya mereka mempelajari itu? Mengirim anak ke sekolah, membayari mereka les ini-itu sebenarnya lebih mudah daripada menjawab pertanyaan, "Mengapa saya mengirimkannya ke sekolah itu? Untuk apa saya menyuruhnya les ini-itu?" Jawaban sebaiknya tidak berhenti pada "ya biar bisa aja." Kalau jawabannya begitu, sudah pasti kita kepingin anak kita menjadi serba bisa, melebihi si ini-si itu, lalu kita berusaha membekali mereka sedini mungkin dengan segudang aktivitas yang merampas kebahagiaan bermain bebas. Kita mesti jernih melihat bahwa kini, pendidikan telah menjadi suatu produk, dan orangtua ta

Tidak Jadi Apa-Apa

Gambar
"Mama, dulu cita-citanya jadi apa?" / Jadi wartawan, kenapa? / "Kenapa sekarang Mama nggak jadi apa-apa?" Aku tertawa tapi sebenarnya getir juga. Mama bisa jadi editor kalau nggak resign demi Ali, Nak. *** Dua kali aku merelakan karierku untuk nurut permintaan orangtua. Pertama, dulu saat sambil kuliah aku sudah kerja sebagai wartawan di Bisnis Indonesia Bandung . Tapi kemudian ibu memintaku berhenti dan fokus menyelesaikan skripsi. Lalu 5 tahun kemudian, setelah aku menikah, hamil, lalu Ali lahir, bapakku berkata, "Sekarang sudah punya anak, maka anak ini tanggung jawabmu, bukan tanggung jawab Bapak-Ibu. Mau ambil pembantu-kah, mau ditaro di day-care kah, atau kamu berhenti kerja, terserah. Pokoknya jangan dikasih ke Bapak-Ibu, Urus anakmu sendiri." Yoi, setegas dan setega itu Bapakku. Tapi bener.  Pada saat itu, kami masih tinggal di Jakarta, dan untuk mencari pengasuh bayi maupun mencari day-care yang mau mengasuh bayi usia 3 bulanan tidaklah mudah.

Tahun Ketujuh Pernikahan: Belajar Mencintai

Gambar
Tahun ini, pernikahan kami memasuki tahun ketujuh. Waktu berlalu begitu cepat, apalagi dengan adanya anak-anak. Perhatian kami sepenuhnya tertuju pada mereka, sehingga tak jarang lupa merawat cinta kami berdua. Dalam beberapa tahun terakhir, peran kami berubah dari pasangan menjadi orangtua, dari kekasih menjadi Ayah-Mama. Aku ingin kami selalu mengingat dan menemukan alasan untuk saling mencintai satu sama lain, bukan relasi yang tercipta sekadar akibat peran dan tugas bersama sebagai orang tua.   Ada orang yang menikah karena membayangkan pasangannya itu dapat menjadi ayah atau ibu yang baik bagi anak-anaknya. Memang salah satu tujuan menikah adalah memiliki keturunan. Tetapi suamiku menikahiku bukan karena itu. Sekarang sedang ramai ya, bahasan soal keputusan untuk tidak memiliki anak. Perbincangan seperti itu juga ada di masa awal pernikahanku. Dia memutuskan menikah ya karena ingin hidup denganku, tidak usah punya anak juga tidak apa-apa. Aku butuh waktu beberapa bulan untuk meyak

Mimpi Masa Kecil

Gambar
Suatu hari, di perhentian lampu merah, ada anak-anak kecil mengamen, ibu menggendong bayi yang lusuh mengemis, di bawah terik matahari dan polusi. Pemandangan yang jamak di mana-mana. Tetapi Ali keheranan. Dia bertanya, kenapa mobil-mobil tidak pada kasih uang? Kenapa tidak kita kasih uang kita untuk mereka semuanya? Kita kan masih punya uang lain di ATM? Pikiran Ali tentu saja sangat sederhana. Tetapi bisakah kamu membantuku menjawabnya dengan sederhana juga? Aku ingat, aku juga pernah punya pikiran seperti itu saat duluuuuu sekali aku pertama kalinya naik mobil ke Jakarta melewati jembatan Tomang. Aku ingat betul gambaran besarnya Mall Taman Anggrek di sebelah kiriku, dengan lima susun jembatan yang bagiku saat itu, sangat megah. Di kanan kiriku berbaris mobil yang terjebak kemacetan, tetapi anak-anak gelandangan mencoba berbagai cara untuk mengais receh. Ada yang mengamen, mengelap jendela, atau sekadar meminta-minta. Mereka kumal, kotor, tidak beralas kaki, beda jauh sekali den