Cerita dari Malang

19 April 2011

Pagi yang tenang, di Lawang, Malang. Ini hari keduaku di sini. Aku tiba dari Jakarta pukul 3 sore kemarin. Di Lawang yang sejuk ini, aku tinggal di rumah kerabatku. Rumah mungil yang sederhana, namun amat asri. Dikelilingi bukit-bukit rendah, yang jaraknya mungkin tak sampai 500 meter dari rumah.

Masih pukul 6, tapi sudah terang. Meski tidak ada perbedaan waktu antara Malang dan Jakarta, di bagian Timur pulau Jawa ini tentu matahari datang lebih awal. Membawa kehangatan yang menyibak kabut, menyisakan tetes embun berkilauan.

Aku menyeruput secangkir teh hangat di teras rumah. Langit timur tampak cerah dengan semburat kekuningan. Di antara bukit-bukit hijau Cemoro Lawang, tersembul sebuah puncak nan megah, Mahameru. Titik tertinggi di pulau Jawa. Selamat pagi wahai Mahameru, ada seseorang yang sangat merindukanmu.

Pagi-pagi gini, enaknya jalan-jalan buat mengusir dingin. Hmm… gimana kalo kita beli menjos aja? Menjos itu sejenis tempe, ampas tempe kali ya. Kalo di Sunda mah ada oncom yang juga ampas tahu kan, nah kalau di sini ada ampas tempe a.k.a menjos. Pagi-pagi dingin makan menjos-menjos anget, dicocol petis ditemenin teh manisss… AJIIIIIBBB…!

Ini salah satu yang membuatku selalu merindukan Malang: kulinernya! Memang dasar lidah orang Jawa Timur, aku langsung cocok sama semua kuliner di sini. Mulai dari gorengan menjos, bakpao telo, apel, sampai kripik tempe, rujak cingur, rawon, soto Lombok, hmm…jadi laper.

Banyak hal lain tentunya. Buatku, Malang ini punya potensi agrowisata dan situs-situs sejarah yang amat kaya. Tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Agrowisata, misalnya bakpao telo, kebun teh Wonosari, perkebunan apel di Batu, lahan-lahan pertanian nan cantik di sepanjang Nongkojajar hingga Tengger… dan tempat lain yang mungkin belum terekspos.

Sejarah, jangan ditanya. Ingat Malang pasti ingat Kerajaan Singosari dengan Ken Arok dan Ken Dedes. Terus pasti langsung jadi ingat Ken Andari (lohh??!). Ada situs candi, juga pemandian Ken Dedes yang terkenal itu. Di gunung Arjuna dan Semeru pun konon terdapat banyak arca dan candi yang masih tersebar, dan menyatu dengan kepercayaan lokal masyarakat setempat. Menarik juga untuk ditelusuri.

Hampir setiap tahun aku selalu menyempatkan diri ke sini. Buatku, Malang adalah tempat yang sempurna untuk sejenak kabur dari rutinitas. Menenangkan pikiran dari berbagai tekanan. Entahlah, aku selalu kangen Malang. Aku merasa punya ikatan dengan kota ini, yang selalu membuatku ingin kembali.

Setiap kali aku datang ke sini, rasanya Malang semakin panas saja. Pohon-pohon makin sedikit, dan pabrik-pabrik semakin banyak. Di atas perbukitan hijau yang menjulang tak jauh dari rumah tanteku, sekarang sudah terlihat deretan bangunan beratap putih. Dua cerobong asap menjulang, membuang asap putih, limbah dari pupuk yang tengah diolah. Yap, lereng bukit hijau itu sekarang sudah jadi pabrik pupuk. Ih sebel nggak sih ngeliatnya?

Pertamanya kukira kepulan asap putih itu berasal dari aktivitas gunung Bromo yang akhir-akhir ini sedang tinggi. Ehh…nggak taunya dari pabrik. Hal-hal macam ini nih yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Omonganku ini sudah ada buktinya. Beberapa hari terakhir ini ratusan monyet ‘turun gunung’ menyerang lahan pertanian milik warga di Purwodadi, Pasuruan. Itu tuh deket banget dari Lawang sini. Monyet-monyet liar itu makanin jagung, buah, dan tanaman palawija milik warga. Kok bisa?

Ya jelas aja mereka turun gunung, wong habitat mereka di lereng-lereng yang lebih tinggi sudah pada jadi pabrik kok. Nggak bakalan monyet turun sejauh itu kecuali mereka benar-benar terdesak dan kelaparan. Untuk membuka sebuah pabrik di lereng bukit, berapa banyak batang pohon yang ditebang? Berapa hektar hutan yang dibabat? Berapa banyak hewan yang kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan?

Kita seringkali tidak sadar, dengan keserakahan sesungguhnya kita telah merusak sumber-sumber kehidupan. Akibatnya mungkin tidak kita rasakan langsung, tapi pasti akan ada konsekuensi dari segala tindakan kita.

Bisa jadi, alasan yang sama berlaku pula untuk kasus serangan ribuan ulat bulu yang meluas di mana-mana. Alasan yang intinya adalah, ketidakseimbangan ekosistem. Burung-burung pemangsa ulat kan, terus menerus ditangkapi untuk dipelihara dalam sangkar. Atau serangga yang dulunya mungkin tinggal dan berkembang biak di hutan-hutan lereng bukit sekarang juga terpaksa turun gunung dan bertelur di pohon mangga milik warga. Ketika mereka menetas secara bersamaan, kita semua kebingungan.

Yah begitulah. Saking angkuh dan egoisnya manusia, seringkali lupa bahwa mereka adalah bagian dari alam itu sendiri. Mereka sering merasa sebagai makhluk paling cerdas, karena (mengaku) punya akal. Berlaku seenaknya demi duit semata, seolah mereka hanyalah satu-satunya penghuni bumi. Toh hawa nafsu dan keserakahan pula yang pada akhirnya dapat menjadi bumerang.

Selama ribuan tahun, alam, hutan dan gunung, telah membuktikan dapat hidup tanpa campur tangan manusia. Namun kita, dapatkah hidup 10 tahun saja tanpa bantuan mereka? Tidak. Percayalah.

***

Omong-omong, hari ini aku belum cerita pergi ke mana ya? Hari ini aku mengunjungi kebun teh Wonosari di kaki gunung Arjuna. Tak jauh dari sini, hanya satu kali naik angkutan umum ke atas. Tadi tuh sebenarnya di awal mau cerita tentang perjalananku ke Wonosari ini, tapi gara-gara aku teringat kepulan asap putih pabrik pupuk yang selalu mengganggu pemandangan, aku jadi geregetan deh nulis unek-unek di atas. Pabrik pupuk itu letaknya di atas bo, lereng bukit juga, makanya keliatan banget dari mana-mana, and that was really annoying.

Oke, kembali ke Kebun Teh Wonosari. Perkebunan ini berada pada ketinggian antara 950—1.250 di atas pemukaan laut (dpl) dengan temperatur antara 19—26 derajat Celsius. Agrowisata perkebunan teh ini dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero), yaitu perusahaan negara (BUMN) yang bergerak di bidang perkebunan kopi, kakao, karet, teh, dan holtikultura.


Udaranya sangat sejuk, ditambah dengan banyaknya taman-taman cantik dan beberapa fasilitas liburan lain seperti kolam renang, penginapan, dan tentu saja sentra oleh-oleh. Kalau akhir pecan, tempat ini ramai sekali. Berhubung hari biasa, jadi pas aku ke sana, ya masih sepi.

Aku pengen sedikit cerita nih tentang Gunung Arjuna. Sebuah gunung yang selalu menyapaku setiap kali aku mau beli menjos di pagi hari. Arjuna adalah gunung tertinggi kedua setelah Semeru. Kalau Semeru ada di sebelah timur Malang, Arjuna ada di sebelah barat. Kata oom-ku, dari puncak Arjuna kita akan melihat matahari terbit yang tersembunyi di balik punggung Semeru.

Oom-ku ini orang asli sana, punya rumah dan kebun yang luas di lereng gunung itu. Ia bilang, gunung Arjuna termasuk gunung yang jalur pendakiannya sangat menantang. Sebelum naik Arjuna, paling tidak kau harus sudah lulus mendaki puncak Gunung Ceremai di Jawa Barat, melalui jalur Linggarjati. Mirip-mirip gitu lah treknya.

Dan di Arjuna ini nih, kata oom-ku, banyak juga mitosnya. Katanya sih banyak makam orang-orang dulu yang dikubur di gunung ini. Ada candi juga, dan arca-arca yang masih banyak berserakan. Pun banyak orang yang ‘berziarah’ atau, katanya sih, bersemedi gitu lah di sini. Hmm…kayaknya seru ya. Ada yang berminat?

***

Komentar

Baca juga...

Si Cantik Asli Sumedang

Pentingnya EYD dalam Bahasa Jurnalistik

Benda-benda Kesayanganku...

Menyusui Pasca Operasi Payudara