Perempuan dan Laki-laki, Rival atau Kawan?

Rabu (17/12) lalu saya sempat mewawancarai Ibu Yusi Fitri Mardiah, caleg DPR-RI dari Partai Keadilan Sejahtera mengenai keterwakilan perempuan dalam politik. Saya sudah mempersiapkan banyak pertanyaan, termasuk soal kuota 30%. Dalam pikiran saya, politisi perempuan itu pastilah seorang feminis yang bakal ngotot soal keterwakilan perempuan itu. Jadi memang, pertanyaan-pertanyaan saya persiapkan untuk menghadapi orang feminis.

Tapi ternyata saya salah besar. Bu Yusi yang ramah itu bukan perempuan yang mendukung kuota 30% itu. Menurutnya hal itu cenderung dipaksakan, mengingat kultur perempuan Indonesia yang umumnya masih tradisional dan belum berminat untuk terjun ke dunia politisi praktis. Menurutnya, kehadiran 30% minimal perempuan di parlemen itu sebenarnya tidak terlalu penting. Dan tidak akan ada masalah kalaupun laki-laki lebih banyak, kalau memang mereka berkualitas. Jepang, Malaysia, itu merupakan negara yang tingkat keterwakilan perempuan di parlemennya rendah, dibandingkan dengan negara-negara seperti Somalia dan Nigeria. Artinya, tidak ada relevansi antara jumlah keterwakilan perempuan di parlemen dengan kesejahteraan rakyat. ”Kita harus percaya, laki-laki juga akan melindungi kita, mewakili kita memperjuangkan hak-hak kita. Rasulullah SAW, beliau seorang laki-laki tapi beliau sangat peduli dengan perempuan. ”

Pertamanya tentu saja saya sewot. “Anda meragukan kualitas perempuan Indonesia?” ”Laki-laki zaman sekarang ‘kan jarang yang seperti Rasulullah SAW?” begitu kata saya. Tapi kemudian ia melontarkan sebait pernyataan lembut yang menohok batin saya.

”Kenapa sih kita selalu menganggap laki-laki itu sebagai rival kita? Apakah dahulu Hawa diciptakan untuk bersaing dengan Adam? Tidak! Hawa diciptakan untuk menemani Adam, untuk melanjutkan kehidupan di muka bumi, bersama-sama. Laki-laki itu saudara kita, pasangan kita, kawan kita! Bukan rival kita, sama sekali. Kita harus waspada dengan pemikiran feminisme Barat yang sepertinya akan mengangkat derajat kita, tapi sesungguhnya ia sedang memecah belah kita. Seperti contoh keterwakilan perempuan di parlemen yang ngotot harus memenuhi kuota 30%. Sebenarnya apa sih yang ingin kita capai, kesetaraan perempuan atau kesejahteraan rakyat Indonesia? Mengapa perempuan menjadi begitu egois? Bukankah seharusnya kita maju bersama laki-laki, mendukung mereka, saling melengkapi dan saling menguatkan?”


Yang saya catat juga, adalah perkataan Ibu Yusi yang demikian:

"Kata Rasulullah SAW sebaik-baik laki-laki adalah yang paling baik kepada keluarganya. Laki-laki itu bukan rival kita, mereka adalah teman kita, saudara kandung kita. Kalau kita menganggap laki-laki sebagai rival, kemudian kita membenci mereka, hancurlah dunia ini. Seperti yang dialami para feminis barat yang membenci kehamilan, melahirkan, dan menyusui, karena mereka menganggap itu sebagai salah satu bentuk penindasan oleh kaum laki-laki. Akibatnya, di negara-negara Barat tingkat kematian lebih tinggi daripada angka kelahiran.

Sangat berbeda dengan kita yang menganggap kehamilan, melahirkan, dan menyusui adalah saat-saat paling menakjubkan bagi seorang perempuan. Betapa tidak, kita telah diberikan kepercayaan oleh Allah untuk melahirkan keturunan dan melanjutkan kehidupan. Itulah sebabnya gerakan feminis di Barat mendapatkan perlawanan yang cukup kuat dari banyak kelompok. Contohnya dari film Sex and The City, yang menggambarkan betapa menderita dan hampanya kehidupan seorang feminis. Kita tentu tidak ingin perempuan negeri kita menjadi seperti itu ‘kan? Hawa diciptakan untuk menemani Adam, bukan untuk bersaing dengannya.

Tapi di Indonesia sekarang ini lucu, menyusui anak saja harus diatur dengan undang-undang. Mengapa? Nah, itulah hasil pengaruh dari pemikiran feminisme Barat. Sepertinya ingin mengangkat derajat perempuan, namun sebenarnya secara perlahan akan menghancurkan dan memecah belah kita. Aneh bin ajaib, perempuan zaman sekarang untuk menyusui saja harus diatur undang-undang. Padahal dulu ibu kita, tak pernah perhitungan sedikit pun, walau harus menyusui kita sampai dua tahun lamanya."

Wah...ya, agaknya aku harus lebih kritis terhadap wacana feminisme...
Bagaimana pendapatmu kawan?


Ken Andari
17 Desember 2008

Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun