Menyapih Aidan
Menyusui menjadi momen membangun ikatan antara ibu dan anak. Tidak semudah kelihatannya, menyusui juga punya banyak tantangan. Puting lecet, payudara bengkak, kalau soal bentuk udah jangan ditanya. Semakin besar si anak bisa menyusu dengan berbagai gaya. Ngeri-ngeri sedap.
Aku menyusui Ali sampai usianya 30 bulan. Ya, molor banget memang. Proses nyapihnya maju mundur. Bahkan dia sudah lebih dulu lulus toilet training dan bisa naik sepeda roda dua sebelum berhasil disapih. Semata karena aku nggak tega, dan semakin besar, semakin susah dibilangin, semakin berat digendong. Sehingga seringnya aku mengambil jalan mudah: susui lagi. Gitu aja terus, walaupun sounding-nya udah dari lama, tapi nggak berhasil-berhasil karena aku nggak tega. Atau capek.
Setelah akhirnya bisa disapih, aku langsung ngetawain diri sendiri dan bilang, “Kenapa gak dari dulu aja?” Haha. Ya karena ternyata enak banget udah disapih tuh. Bisa tidur sendiri tanpa dikelonin. Kita bangun dia gak ikut bangun, karena nggak mentil. Makan juga jadi doyan. Mamaknya bisa pakai baju apa aja, gak mesti yang ada kancing di depan. Proses galau-galau nangisnya tuh gak sampe seminggu, cepat banget. Aku alihkan ke minum susu di dot. Iya iya gue salah, ini tidak ideal, whatever. Di usia itu Ali sudah senang didongengin, jadi kalau dia terbangun tengah malam, aku akan “mendongeng” untuknya tentang apa saja. Karena aku ngantuk, seringkali yang awalnya nyeritain bekicot jadi nyeritain mesin cuci, pohon belimbing, udah ga jelas banget yang penting tetap diceritain dengan nada suara mendayu-dayu yang bikin ngantuk. Lalu dia tidur lagi.
Dan disusui selama itu pun, sekarang Ali lupa kalau dia pernah nyusu sama aku, dulu posesif banget sama “neh”-nya sampai sulit sekali disapih. Katanya, “Dih masa Ali neh sama Mama, malu ah!” bzzzzz… ngapain gue dulu ampe susah-susah tong nyapih elu. Pake baper-baper segala 😂
***
Aku mulai merasa tidak nyaman menyusui Aidan. Dia benar-benar nempel, mentil, kalau aku beranjak -walau sudah berusaha sepelan mungkin- dia akan ikut bangun. Aku sangat nggak bisa ngapa-ngapain. Aku ingin bisa punya waktu untuk menulis, ngobrol dengan suami, membacakan buku dan doa untuk Ali. Nggak bisa. Yang paling nyebelin itu kalau tiba waktu sholat dan dia masih tidur. Misalnya, ashar dan subuh. Tentu saja, aku nggak mau sholat sambil digelendotin ditangisin. Atau solatnya jadi buru-buru. Masa nggak bisa sih zikir dan berdoa lama-lama? Huhu. Maka sebisa mungkin aku membuatnya tak terbangun sementara aku beranjak wudhu. Kalau dia uget-uget, aku susui supaya tidur lagi. Tapiiiii seringnya, karena dia mentil, jadinya lama dan aku malah ikut ketiduran dan jadi telat sholat. Tau kan, kalau menyusui itu sebenarnya juga bikin ngantuk.
Wah,
udah nggak bagus nih kayak begini. Karena akunya juga jadi kesel. Salah satu
artikel yang pernah kubaca, ada yang namanya breastfeeding aversion; suatu
keadaan emosional ibu menyusui yang
timbul akibat ketidakstabilan hormon dan faktor-faktor lainnya. Jadi bukan
pasca melahirkan aja yang bisa menimbulkan gejolak emosi. Menyusui pun. Sungguh
semua yang terjadi dalam tubuh ini diatur oleh hormon. Perempuan mengalami
hormon yang amat fluktuatif seiring stase kehidupannya yang juga terus berganti.
Aku meminta pendapat suami, ternyata ia sangat mendukungku. Aidan sudah terlalu nempel, dan bener-bener nggak mau sama yang lain. Semakin besar, akan semakin sulit membujuknya dan berat pula menggendongnya. Demi kesehatan mentalku, dan demi kebaikan Aidan, aku harus memulainya! Apalagi berat badan Aidan tergolong ngepas di garis ijo mepet-mepet. Makannya juga agak susah. Belajar dari pengalaman Ali dulu, setelah disapih makannya jadi banyak dan jadi lebih berisi. Oke, aku harus ambil keputusan nih. Bulatkan tekad, jangan sampai maju mundur seperti Ali dulu. Maju selangkah dua langkah selama beberapa waktu tak apa, asal jangan mundur.
Sejak usia 18 bulan, aku udah sounding dan menyusuinya hanya ketika ia dalam keadaan tertidur. Jadi untuk menidurkannya aku melakukan hal lain. Membacakan buku, menggendong, nonton hape, muter-muter naik sepeda atau motor. Atau dibiarkan main terus sampai capek dan tertidur sendiri. Ia belum mau minum dot. Kalau dia minta nen, alihkan ke yang lain. Tapiiii kalau dia sudah tidur, lalu menangis saat ditaro/ditinggal, aku masih menyusuinya. Yang penting, dia tidak dalam keadaan bangun.
Sebulan prosesnya seperti itu. Sampai di suatu hari aku mengalami sakit pundak dan leher karena lupa ganti posisi nyusui, saking pulesnya. Bangun-bangun payudaraku bengkak sebelah. Aku demam. Aidan menggigit-gigit karena gusinya gatal, giginya mau tumbuh. Aku nggak tahan lagi.
Kubulatkan tekad, aku akan menyapihnya. Aku tau mungkin ini berat baginya sekarang, berat pula untukku karena aku tau proses menyusui ini tak akan berulang. Dan aku sadar penuh, aku menyapih dini dan melanggar haknya untuk mendapatkan ASI sampai dua tahun. Ada perasaan bersalah. Maka aku memutuskan akan menyapihnya dengan tanganku sendiri, aku akan memeluknya dan menghadapi tangisnya.
Syukurlah, ia mau minum dot. Aku memberinya susu UHT yang biasa ia minum dari gelas. Jadi ia minum susu dalam keadaan dingin, hehe. Aidan sangat pengertian, aku takjub dan meleleh melihat bagaimana ia hanya memegang dan berjuang menahan keinginan untuk nen. Kemudian ia mengemut pipiku, aku hampir menangis tapi aku menciumnya dan terus mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya, walaupun Aidan gak nen, Mama tetap peluk Aidan dan bobo sama Aidan. Aku tawarkan apa saja, minum air putih, makan, gendong, cerita, peluk… tapi ternyata ia suka memandang bulan. Saat itu bulan sedang terang-terangnya, terlihat dari jendela kamar saat kami berbaring. Aku menyanyikan lagu favoritnya, Ambilkan Bulan Bu, dan ia tertidur dengan cepat. Tengah malam ia bangun, menangis jerit-jerit selama 4 kali sampai pagi, aku hampir tidak tidur.
Hal itu berlangsung selama 2 malam. Di malam ketiga, nangisnya nggak seheboh kemarin dan ia hanya bangun dua kali. Tapi ada masalah lain. Payudaraku bengkak, sakit. Aku sempat berpikir, gapapa kali dienyot sedikit, soalnya pasti bakal lega banget kalau dienyot. Itu sakit banget, wahai kaum lelaki, kalian nggak akan pernah mengerti. Di hari ketiga itu pertahananku mulai goyah, aku minta tolong suamiku handle anak-anak sementara aku cuma bisa tiduran, mandi air anget, kompres sana sini dan meratapi ASI yang merembes. Sungguh rasanya ingin kusodorkan lagi padanya, tapi kalau aku melakukannya maka aku dikutuk untuk mengulang prosesnya dari awal. Selama beberapa hari itu aku mengabaikan segalanya, urusan domestik, aku bahkan tidak keluar rumah karena penampilanku pastinya sangat kacau.
Di hari kelima, Aidan dan aku mulai menemukan ritme dan terbiasa. Yah memang agak merepotkan ketika tengah malam susu habis dan harus bikin baru. Aku belum terbiasa nyuci botol dll. Kadang diiringi jerit tangis Aidan yang kutinggalkan. Tetapi hari demi hari, frekuensi ia terbangun menangis itu semakin berkurang. Kurang dari seminggu aku berhasil menyapih!
Aidan
tidur lebih nyenyak, bisa ditinggal, bahkan Ali bisa memegangi dot adiknya. Dan
akhirnya aku bisa menulis! Bisa bikin susu kurma ketika dia tidur! Yeay! Dan
benar aja, nafsu makannya bertambah. Kini, sebulan setelah disapih, Aidan mulai
tampak gembil.
Mudah-mudahan aku bisa meninggalkannya tidur berdua Ali di kamar atas, tanpa terbangun menangis dan mencari susu. Pelan-pelan, bertahap, sabar. Aku ingin bisa cepat-cepat pisah kamar, tidur di kamar bawah sambil memeluk suamiku dan berbincang lama, karena itulah yang paling aku butuhkan, paling aku rindukan. Aku ingin kembali menjadi istri, kekasih, pacar. Ya, aku tetap seorang ibu untuk anak-anak sampai kapanpun, namun saat ini demi kesehatan mentalku, aku sangat butuh waktu bersama suamiku.
Komentar
Posting Komentar