Plagiarisme dalam Jurnalistik

Dalam buku “Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah”, Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme:
• Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri
• Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
• Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri
• Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri
• Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya
• Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya • Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

Sedangkan menurut Wikipedia yang tergolong ke dalam plagiarisme adalah:
• Menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain
• Mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya.

AS Haris Sumadiria dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia” menyebutkan bahwa setiap organisasi pers profesional harus membekali diri dengan kode etik jurnalistik. Kode etik tersebut mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan sikap dan perilaku pers ketikan menjalankan fungsi dan tugasnya sehari-hari.

Salah satu ketentuan KEJ yang terpenting adalah mengenai plagiatisme. Plagiat ini bisa diartikan kita juga kegiatan kita dalam mencuri berita atau tulisan rekan lain menjadi seolah-olah hasil karyanya sendiri. Plagiatisme dipandang sangat merugikan, bagi yang dijiplak karyanya, maupun bagi orang yang menjiplak.

Wartawan tentu saja sangat dilarang melakukan plagiatisme. Bahkan, plagiatisme bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ’maksiat’ dalam dunia jurnalistik. Sebaliknya, ia harus menjaga eksklusivitas dan orisinalitas laporannya. Wartawan tidak sekadar menulis, ia harus menulis dengan menggunakan hati nuraninya sendiri, jernih, dan jujur. Jika ia sudah menjiplak karya atau usaha orang lain, berarti ia sudah tidak idealis lagi, kredibilitasnya akan merosot jatuh.

Selain itu, plagiatisme juga bertentangan dengan elemen jurnalisme yang pertama, yaitu: kewajiban pertama wartawan adalah kepada kebenaran. Jika wartawan sebagai pemegang mandat masyarakat saja sudah berlaku tidak jujur, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi dan berita yang mereka butuhkan?

Ketika seorang wartawan kedapatan melakukan plagiatisme, sungguh tak terbayangkan sangsi yang akan ia terima. Pertama, ia bisa dibawa ke meja hijau oleh orang yang ia jiplak karyanya. Tentu saja, negara kita ini negara hukum, dan sudah ada undang-undang mengenai perlindungan hak cipta. Hukuman yang mengancam juga tidak main-main.

Plagiatisme merupakan salah satu tindakan delik pers. Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het strafrecht”, Mr. D. Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa: “Delik Pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi pers.

Dalam buku “Rambu-rambu di Sekitar Profesi Wartawan”, Krisna Harahap menyebutkan tiga kriteria untuk delik pers:
1. Harus dilakukan dengan barang cetakan atau cetakan
2. Perbuatan yang dihukum pidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan
3. Dari rumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menimbulkan suatu kejahatan, apabila kejahatan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan

Kedua, dan yang paling berbahaya, bisa dipastikan ia akan kehilangan kepercayaan dari redaksi, pembaca, semuanya. Kemungkinan besar ia akan dipecat dari kantor berita tempat ia bekerja, bahkan bisa jadi ia akan kesulitan menemukan pekerjaan baru. Kalau kita sudah berbohong, pasti membutuhkan waktu yang sangat lama bagi orang lain untuk kembali memercayai kita. Atau bahkan tidak sama sekali.

Salah satu surat kabar ternama di Amerika Serikat, The New York Times, bahkan dalam kode etiknya, “menempatkan plagiarisme sebagai dosa yang tidak bisa dimaafkan.” The New York Times tak akan segan-segan memecat wartawannya yang kedapatan melakukan plagiarisme. Salah satu contoh kasus plagiarisme fatal yang kemudian menjadi berita besar di seluruh dunia adalah ketika The New York Times memecat Jayson Blair, seorang jurnalis muda.

Blair menulis tentang kisah keluarga Jessica Lynch, seorang tentara Amerika yang ditawan di Irak. Laporan Blair itu dicurigai San Antonio Express-News, yang menuduh Balir telah melakukan plagiarisme. Pihak The New York Times merespons kecurigaan tersebut, dengan mulai menyelidiki keaslian laporan Blair. Mereka kemudian menemukan fakta bahwa Blair sendiri bahkan tak pernah berhubungan dengan keluarga Lynch, belum pernah datang ke kota di mana keluarga Lynch tinggal, dan bahkan belum pernah menghubungi mereka lewat telepon! Lalu bagaimana Blair bisa membuat kisah yang begitu menarik mengenai keluarga Lynch? Ia tak pernah mengenal mereka!

The New York Times pun akhirnya menyimpulkan bahwa Blair telah melakukan plagiarisme. Dan sesuai dengan kode etik yang berlaku di lembaga pers tersebut, Blair akhirnya dipecat karena dianggap tak layak lagi menjadi wartawan Times lagi. Dengan terungkapnya kasus plagiarisme ini, Howell Raines selaku pemimpin redaksi serta Gerald Boyd selaku redaktur pelaksana turut mengundurkan diri. (diambil dari artikel Agus Sopian berjudul Etika Jurnalisme).

William L. Rivers dalam buku “Etika-etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya” mengemukakan, bahwa berbagai kode telah digunakan media, periklanan dan hubungan masyarakat. Kode media dalam apendiks merupakan definisi yang dibuat industri mengenai apa yang membuat sesuatu menjadi kebiasaan baik atau buruk. Deborah Shannon menuliskan analisis kode ASNE (American Society of Newspaper Editors), kode yang ditentukan oleh Masyarakat Jurnalis Profesional-Sigma Delta Chi, dan kode Washington Post.

Kode ASNE (American Society of Newspaper Editors) menyatakan bahwa wartawan harus “menghindari dari ketidakpantasan dan munculnya ketidakpantasan” dan harus “tidak menerima apa-apa maupun mengejar kegiatan apa pun yang dapat merugikan kompromi atau tampaknya mengompromikan integritas mereka”. Sulit dikatakan tindakan apa yang harus dilakukan reporter untuk bisa dianggap etis. Banyak kode dari ASNE menengahi berbagai konflik luar, yaitu antara tokoh berita dan dunia.

Kode ASNE menegaskan bahwa kekeliruan fakta atau kealpaan harus dikoreksi segera. Pasal V menyerukan sikap tidak memihak. Pasal ini mengakui perlunya kadang-kadang tulisan analisis yang berdasarkan latar belakang penulis dan pandangan yang terdidik. Kode ASNE mengatakan bahwa wartawan harus menghormati hak-hak orang-orang di dalam berita, khususnya sumber berita. Menghormati sumber berita salah satunya adalah dengan mencantumkan identitas mereka setelah pernyataannya.

Banyak contoh penulis yang melakukan plagiarisme, dan hal itu sungguh tidak bisa ditolerir. Misalnya, James A. Mackay, seorang ahli sejarah Skotlandia, dipaksa menarik kembali semua buku biografi Alexander Graham Bell yang ditulisnya pada 1998. Hal ini dilakukan karena ia kedapatan menyalin dari sebuah buku terbitan tahun 1973. Ia juga dituduh memplagiat biografi Mary Queen of Scots, Andrew Carnegie, dan Sir William Wallace. Pada 1999 ia harus menarik buku biografi John Paul Jones hasil tulisannya dengan alasan yang sama.

Bahkan penulis-penulis terkenal seperti Dan Brown, yang melejit lewat The Da Vinci Code, dituntut karena telah dituduh melakukan plagiarisme dua kali. Novel pertama Kaavya Viswanathan How Opal Mehta Got Kissed, Got Wild and Got a Life, dilaporkan mengandung jiplakan dari setidaknya 5 novel lain. Semua bukunya ditarik dari peredaran, kontraknya dengan Little Brown and Co. ditarik, dan sebuah kontrak film dengan Dreamworks SKG dibatalkan. Hal ini sungguh memalukan, bukan? Ketika seorang penulis yang “dengan pede-nya” memublikasikan buku yang diklaim sebagai hasil karyanya, namun tiba-tiba terungkap bahwa itu adalah hasil plagiarisme. (Wikipedia)

Apalagi dalam profesi jurnalistik yang jelas-jelas menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran, para jurnalis bersuara bulat menentang plagiarisme. Hal ini juga tertulis jelas dalam Kode Etik Jurnalistik, baik yang pertama kali dikeluarkan PWI maupun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disepakati seluruh wartawan Indonesia. Berkaitan dengan kejujuran dan plagiarisme, Kode Etik Jurnalistik dari PWI antara lain menyatakan:
1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur. Wartawan selalu menyatakan identitasnya apabila sedang melakukan tugas peliputan
2. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi

Atau lebih tepatnya dalam pasal 13 KEJ tertulis: “Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip berita, tulisan, atau gambar tanpa menyebut sumbernya.” Pasal ini ditafsirkan oleh Krisna Harahap, bahwa mengutip berita, tulisan, atau gambar hasil karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya merupakan tindakan plagiat. Krisna menambahkan plagiat sebagai “tercela dan dilarang”. Kode Etik Wartawan Indonesia juga menetapkan hal senada: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.”

Jurnalisme tidak memiliki hukum-hukum tertentu, tak ada peraturan, tak ada surat izin, sangat berpotensi untuk melakukan eksploitasi, maka beban berat terletak pada etika dan penilaian dari wartawan dan organisasi tempat wartawan itu bekerja. Jurnalisme adalah masalah karakter. Wartawan punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka. Termasuk untuk berkata tidak kepada kebohongan, kepada tindak plagiarisme.

Dimana pun, dan sampai kapan pun, yang namanya kebohongan bisa merusak kepercayaan orang lain terhadap kita. Apalagi biasanya sekali kita berbohong, maka kita akan berusaha menutupinya dengan kebohongan lain. Kalau sudah begini, profesionalitas dan moralitas seorang wartawan patut dipertanyakan. Seperti dikemukakan Asep Syamsul M. Romli dalam buku Jurnalistik Terapan tersebut, kode etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.

Dalam hal kejujuran ini, di dunia jurnalistik dikenal Fairness Doctrine (Doktrin Kejujuran). Doktrin itu mengajarkan perlakuan adil terhadap objek berita. Selain itu, mendapatkan berita yang benar (faktualitas) jauh lebih penting daripada sekadar menjadi wartawan pertama yang melaporkannya (aktualitas). Kebenaran, kebenaran, dan kebenaran. Ya, karena inti kegiatan jurnalistik adalah kebenaran.

Bill Kovach dalam Sembilan Elemen Jurnalisme membahas tentang aturan transparansi wartawan yang berkenaan dengan cara wartawan berurusan dengan sumber-sumber mereka. Menurutnya, sudah pasti wartawan tidak boleh berbohong atau menyesatkan sumber-sumber mereka dalam proses mencari dan menyampaikan kebenaran kepada publik. Ia juga mengemukakan mengenai orisinalitas yang dipandangnya sebagai nilai yang tertanam kuat dalam jurnalisme. Michael Oreskes, kepala biro Washington New York Times, menawarkan ide sederhana tapi disiplin dalam pengejaran kebenaran: Kerjakan tugasmu sendiri. Pernyataan ini cukup jelas dalam menentang plagiarisme.

Oreskes juga menambahkan, “Orang yang bertindak benar adalah mereka yang melakukan sendiri pekerjaannya, yang berhati-hati tentangnya, yang mengikuti standar dasar tentang sumber, dan mendapat informasi dari berbagai sumber. Orang yang cemas tenatng apa yang ada di luar sana menggunakan frasa yang mengerikan itu untuk membenarkan begitu banyak dosa jurnalistik, orang yang cemas akan kalah. Bukannya mencoba melakukan sebaik dan secepat yang mereka bisa, mereka malah mengacaukannya.” Begitu kata Oreskes seperti dikutip dari Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach.

James McRimmon dalam buku Writing with a Purpose memberikan sejumlah kiat menghindari plagiarisme, yaitu dengan selalu memiliki catatan yang lengkap ketika Anda:
• Menemukan kutipan langsung.
• Menyalin tabel, grafik atau diagram
• Membuat tabel menggunakan data orang lain
• Anda melakukan parafrase menggunakan kata-kata Ana semdoro
• Anda menyajikan contoh, gambar atau fakta yang diambil dari informasi tertentu untuk memperkuat argumentasi Anda.

Seiring dengan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang, tak bisa dipungkiri bahwa plagiarisme ternyata semakin mudah dilakukan. Tak jarang, kita dengan mudahnya bisa tergoda menjiplak karya seseorang tanpa seizinnya, dan mengaku-ngaku karya tersebut sebagai karya kita sendiri. Apalagi dengan adanya fasilitas “copy-paste”, melakukan dosa ini pun menjadi semakin mudah, berada di ujung jari kita. Gerakkan tombol mouse, drag kalimat yang akan di-copy, klik kanan, pilih paste, dan abrakadabra! Tulisan orang lain itu sekejap bisa muncul di dalam tulisan kita, tanpa bersisa sumber maupun referensinya. Begitu mudahnya kemajuan teknologi melenakan kita.

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang