Bias Gender pada Balita

Suatu hari, Ali sedang asyik ngebut dengan pushbike kesayangannya. Dia memang udah lincah banget maininnya, kalo lihat dia ngebut pake pushbike pokoknya dijamin mules lah. Apalagi kalau ada temannya sepedaan, dia makin semangat balapan. Teman-teman yang tentu udah jauh lebih besar daripada Ali, usia 6-10 tahun. Ali memang satu-satunya anak bawang di gang kami yang sudah bisa ngebut pake sepeda roda dua.

Datanglah seorang temannya. Perempuan. Sebutlah si Zee. Usianya 2,5 tahun. Dia lagi disuapin sama neneknya sambil main. Anak ini tipe yang rapi, manis, dikuncir, pake baju pink pink, pake sendal, beda 180 derajat dari Ali yang petakilan, gak pernah sempet dibedakin (udah kabur), baru dimandiin 5 menit udah asem keringetan lagi, dan kalo disuruh pake sendal, sendalnya ditinggal dimana tau (demenan nyeker).

Temennya ini tertarik pingin pinjem sepeda Ali. Ali dengan senang hati meminjamkan. Baru aja Zee naik, datang neneknya dengan kata-kata sakti "JANGAN!" kubilang, gak papa bu, saya jagain kok.

"Jangan dedek, nanti jatoh. Kamu gak bisa, kamu masih kecil!"
"Bu, Ali kan udah main sepeda ini dari umur 2 tahun..."
"Ini sepeda buat anak laki-laki, dedek mah naik sepedanya yang di rumah didorong sama nenek aja yok,"
Si anak tetap kekeuh jalan pake sepedanya Ali, sambil kerah baju belakangnya dipegangin ama nenek.
"Bu, biar aja bu kalau dipegangin malah kagok..."
"Udah udah dek, aduh ngeri Nenek (dipaksa turun)"

Ibu-ibu lain nyaut, "Ngga bisa Ken nyamain Ali sama Zee. Anak perempuan mah harus dijaga... anak laki mah biarin mau lari2 kek, mau gapake sendal kek, mau naek sepeda ngebut, anak perempuan gak boleh..."
"Iya Ken ntr ngerasain sendiri dah kalo punya anak perempuan, gak bisa disamain..."

@$/#$&$*$?#!@ rasanya hati ini. Akhirnya kubilang, "Doain ya bu, mudah-mudahan saya punya anak perempuan. Biar ibu lihat, nanti saya perlakukan sama kayak Ali..."

"Yeee jangan Ken!" Sorak mereka kompak. Aku ngikik aja sambil ngejar Ali lagi.

Sebagai seorang perempuan, hati ini miris mendengar perkataan para nenek tadi. Betapa anak perempuan sudah dilabel lebih lemah, tidak bisa melakukan apa yang anak laki-laki lakukan, bahwa mereka tidak boleh diperlakukan sama seperti anak laki-laki; sejak sangat dini, jauh sebelum anak itu bisa berbicara untuk dirinya sendiri. Katanya anak perempuan harus lebih "dijaga" alias dibatasi dari melakukan hal-hal yang berisiko melukai dirinya. Ia sudah dilarang menantang dirinya sendiri mencoba hal baru, ia dilarang mengejar potensi diri, sejak sangat sangat sangat dini.

It breaks my heart.

Aku jadi betul-betul berdoa supaya aku kelak punya anak perempuan, supaya aku bisa tunjukkan pada orang bahwa aku memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuanku dengan setara. Ia boleh ngebut naik sepeda, lari-larian, manjat pohon. Ia boleh berkeringat dan kulitnya menggelap mandi matahari. Ia boleh jatuh, ia boleh terluka, dan seperti Ali, ia harus selalu belajar untuk bangkit sendiri.

Jika sedari kecil saja dia sudah dibatasi untuk tidak memainkan "permainan anak laki-laki" ke depannya, apakah dia juga tidak boleh memilih bidang yang mayoritas dipilih laki-laki? Jadi montir, misalnya? Jadi teknisi, jadi tentara, pembalap, atlet bela diri, jadi pemanjat tebing? Masih relevan kah membatasi anak perempuan? Saya kira tidak. Perempuan boleh dan bisa melakukan apa yang laki-laki lakukan. Mereka setara.

"Memiliki atau menjadi anak perempuan di tengah sistem sosial yang mendiskriminasi perempuan dari laki-laki menjadi tantangan tersendiri. Dahulu hak anak perempuan untuk menempuh pendidikan formal dibatasi. Sementara saudara laki-lakinya sekolah terus, anak perempuan dianggap cukup dibekali pendidikan minimal lalu harus tinggal di rumah, mempersiapkan diri menjadi calon istri dan ibu yang baik. Seberapa bijaksana dan maju pemikiran orangtuanya akan menentukan apa yang bisa dicapai oleh seorang anak perempuan dalam hidupnya. Jika orangtua tak tahu cara mengarahkan, ia akan betul-betul berhenti belajar -akhirnya menjadi pribadi yang dangkal, cerewet soal remeh-temeh, membuat opini atau keputusan berbasis opini tanpa prinsip." --Ringkasan Vol. 5 Charlotte Mason "Formation of Character" (156)

***

Bukan cuma terhadap anak perempuan, Ali pun demikian. Beberapa kali orang terheran, kok Ali dibelikan mainan masak-masakan? Kok Ali diajarkan menjahit? Kayak anak perempuan, katanya.

Iiiihhh rasa hati ingin ceramah. Hahahahaha...

Hellooooo ini udah tahun 2018 ya, lewat 100 tahun dari surat-surat Kartini tentang emansipasi, masih juga mengidentikkan urusan domestik dengan perempuan saja. Terlebih, menganggap aneh lelaki yang mau melakukannya.

Ali bersamaku setiap hari. Tentu saja dia melihatku mengerjakan tugas-tugas domestik. Aku juga sering memintanya "membantuku" bebersih rumah, memasak, mencuci baju, buang sampah, meletakkan piring/gelas kotor ke bak cuci, dll. Semakin dia besar, justru akan semakin besar pula porsi tugas rumah tangga yang akan kulimpahkan untuknya. Selain mendidiknya untuk bertanggungjawab, aku juga ingin menghilangkan stigma "pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan". Ia akan tumbuh jadi lelaki dewasa, kelak ia akan jadi kepala rumah tangga. Aku nggak mau membayangkan Ali jadi suami yang kerjaannya nunggu dibikinin kopi sambil berharap dilayani semua sama istri.

Aku ingin Ali jadi seperti ayahnya. Yang nggak canggung memasak, nyuci piring, buang sampah. Dulu bahkan dia yang nyuci popok Ali waktu Ali baru lahir dan aku belom bisa jongkok. Terus coba tanya sama Ali, Ayah kalau libur di rumah ngapain Li? Pasti dia jawab "Bikin kopi terus nyapu" 😂😂

Semua orang di dalam keluarga wajib berbagi tugas. Ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan saling membantu. Tidak selalu Ayah yang bekerja. Tidak selalu ibu yang nyuci piring. Tidak selalu anak laki-laki yang benerin genteng. Tidak selalu anak perempuan yang harus menyapu. We can do it all together.

Patriarki telah mengakar begitu kuat dalam budaya kita sejak lama. Tapi sudah saatnya kita membuang jauh-jauh hal yang dapat merugikan masa depan. Ya jelas merugikan kalau kelak anak lelaki kita tumbuh menjadi suami yang minta dilayani istri dalam segala hal, membatasi istri dan anak perempuannya dalam berkarya. Dan merugikan, jika anak perempuan kita tumbuh tidak percaya diri setiap kali mau melakukan sesuatu, " Aku bisa nggak ya? Tapi kayaknya berat buat perempuan. Emang boleh? Nanti apa kata orang..."

Keberanian, percaya diri, ketangkasan, kekuatan, dan daya tahan wajib kita ajarkan kepada anak-anak kita, laki-laki atau perempuan. Sama saja. Itu adalah keterampilan dasar manusia. Menurutku, itu tidak ada kaitannya dengan fitrah identitas gender mereka, laki-laki atau perempuan. Mengajarkan anak laki untuk masak atau menjahit bukan berarti melawan fitrah kok. Tidak mengurangi kelelakiannya. Pun kalau anak perempuan suka manjat pohon dan tertarik dengan perbengkelan juga nggak melawan fitrah. Lihat aja montir Hana di kartun Tayo. Ya kan?

Tuhan menciptakan manusia ada laki-laki dan perempuan. Kalau kita cuma mengajari anak laki-laki, sementara kepada anak perempuan kita mengajarkan mereka untuk bersolek, lalu menyerahkan urusan sumur, dapur, dan kasur, apakah kita telah cukup memanusiakannya?

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang