Mari Menulis

Aku suka menulis. Dengan menulis, aku merasa menemukan otonomi diri. Tentu saja, dalam hal ini maksudnya adalah ketika aku menulis untuk diriku sendiri, tidak untuk tekanan pekerjaan ataupun perkuliahan.

Ya, menulislah salah satu cara bagiku untuk mengekspresikan diri. Mencurahkan apa yang ada di pikiran dan hati. Senang rasanya ketika tulisanku dibaca orang, terlebih kalau mereka menyukainya. aku sama sekali tak menyangka, bahwa ternyata blog yang kubuat sudah dikunjungi oleh ribuan orang. kalau kuketik namaku di mesin pencari google, langsung muncul tautan-tautan dari tulisanku. Yang di blog, di Gatra, dan di beberapa blog lain milik orang/organisasi yang pernah kuwawancarai. Wow!

Beberapa orang yang tak kukenal mengikuti kicauanku di Twitter, meng-add facebook-ku, dan ketika kutanya, “Kenal dari mana ya?” mereka bilang, “Saya baca blog Mbak, saya suka tulisan-tulisannya.” Waah rasanya hati ini gimanaaa gitu. Gede rasa.

Saya hanya bisa berharap, semoga tulisan-tulisan saya itu bisa memberikan manfaat, inspirasi buat orang-orang yang membacanya. Dan nggak cuma ‘nyampah’ di ruang maya dengan curhatan keluh kesah. Saya ingin menyebarkan energi positif buat setiap orang yang membaca tulisan saya.

Maka ayolah kawan, kita menulis. Agar kita tak hilang dari sejarah. Kita terlahir sebagai bangsa dengan budaya lisan, jadi terbiasa berkisah dan menerima kabar dari mulut ke mulut, yang pada akhirnya menjadi kabar burung, yang tak jelas dari mana dan siapa yang pertama kali mengucapkan. Tak usah jauh-jauh, baca saja kesuraman sejarah bangsa kita. Yang satu berkata ini, yang satu berkata itu, tapi tak ada yang menulis. Sekalinya ada yang menulis, sejarah itu dipolitisasi. Banyak yang dihapus, dibelokkan. Lalu dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran. Jadilah sekarang kita generasi yang hampir kehilangan asas. Tak kenal orang-orang berjasa. Memuja orang berdosa. Karena kita hampir tak tahu, mana yang benar dan mana yang salah.

Semua itu karena apa? Karena tak banyak orang sadar untuk menulis. Dan karena penguasa yang tidak menghargai tulisan buah pikiran orang. Sehingga kini banyaklah yang hilang dari sejarah.

Maka di masa-masa yang bebas berekspresi ini, tuliskanlah apa yang pernah kau alami, apa yang mengusik pikiran dan nuranimu. Mari kita berbagi.

Komentar

Baca juga...

Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Wied Harry Apriadji: Puasa itu Mengikuti Kesederhanaan Nabi

DNS Nawala, Pendekar Dunia Maya Indonesia

Aglaia elliptica sp, Harapan Baru bagi Penderita Kanker Payudara

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit