Tidak Jadi Apa-Apa

"Mama, dulu cita-citanya jadi apa?" / Jadi wartawan, kenapa? / "Kenapa sekarang Mama nggak jadi apa-apa?"

Aku tertawa tapi sebenarnya getir juga. Mama bisa jadi editor kalau nggak resign demi Ali, Nak.

***

Dua kali aku merelakan karierku untuk nurut permintaan orangtua. Pertama, dulu saat sambil kuliah aku sudah kerja sebagai wartawan di Bisnis Indonesia Bandung. Tapi kemudian ibu memintaku berhenti dan fokus menyelesaikan skripsi. Lalu 5 tahun kemudian, setelah aku menikah, hamil, lalu Ali lahir, bapakku berkata, "Sekarang sudah punya anak, maka anak ini tanggung jawabmu, bukan tanggung jawab Bapak-Ibu. Mau ambil pembantu-kah, mau ditaro di day-care kah, atau kamu berhenti kerja, terserah. Pokoknya jangan dikasih ke Bapak-Ibu, Urus anakmu sendiri."

Yoi, setegas dan setega itu Bapakku. Tapi bener. 

Pada saat itu, kami masih tinggal di Jakarta, dan untuk mencari pengasuh bayi maupun mencari day-care yang mau mengasuh bayi usia 3 bulanan tidaklah mudah. Kalaupun ada, pastilah harganya mahal. Aku pun merelakan karierku saat itu, dan banting setir menjadi ibu rumah tangga di rumah. Suamiku gajinya nggak seberapa waktu itu, tapi ya, mau beli apa sih emang. Enam tahun di pesantren aku membuktikan bahwa makan pake sambel sama kerupuk aja kita bisa survive. Makan mah apa aja yang penting laper, ya khann.

Menjadi ibu rumah tangga sungguh beda dengan apa yang kubayangkan sebelumnya. Bertambah respect-ku sama ibuku yang selama ini jadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga memiliki setumpuk pekerjaan yang tiada habisnya, harus serba bisa, serba tahu, dan mampu multi-tasking. Tidak ada gaji, pun kadang minim apresiasi dan penghargaan, karena siapapun tak akan sanggup membayar pekerjaan ini tetapi di sisi lain ia dipandang remeh. Tidak ada kontrak kerja, dan tidak mengenal jam kerja. 

Bapakku seorang penerbang yang bisa berhari-hari tidak pulang berkeliling di belahan dunia lain. Tapi lucunya, kata ibu, sepulang kerja justru bapakku mijetin ibu yang rentek badannya ngurus rumah dan dua bocah sendirian tanpa bantuan suami. Bapak sampe rumah, pulang kerja masih rapi berpakaian pilot, dan wangi. Menenteng koper, bawa oleh-oleh dan segudang cerita baru untuk kami. Tapi ibu? Nguplek aja di rumah dengan segunung setrikaan dan dua bocah yang nanya melulu. Wkwkwk. Aku 100 persen kebayang sekarang.

Dengan adanya balita, walaupun aku bangun paling pagi dan tidur paling malam, rumah masih berantakan dan pekerjaanku masih banyak. Kalau dituruti terus tanpa adanya manajemen waktu, pekerjaan domestik seperti lingkaran setan yang tiada habisnya. Kadang aku merasa kehilangan diriku, karena aku benar-benar harus mengerjakan hal-hal yang tak cakap aku kerjakan. Aku tidak pandai menyetrika, mencuci, memasak, bahkan mengasuh anak, semuanya hal baru bagiku. Sebagian besar yang kita urus adalah kepentingan orang lain, yakni suami dan anak-anak. Seringkali kita mengabaikan kepentingan sendiri, bahkan hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri. 


Ketika anak keduaku sudah disapih, dan mulai bisa asyik main sendiri, terlintas keinginan untuk bekerja lagi. Pada saat itu, anak-anakku sudah mulai bisa berantem, yang sulung semakin pandai bicara dan mendebat setiap perintah, yang bungsu sedang proses toilet training. Ditambah kejenuhan pandemi, sungguh membuatku rasanya ingin keluar rumah. Tiba-tiba seorang kawan lama mengontakku, menawarkan lowongan untuk menjadi editor di sebuah portal media perempuan.

Pada saat itu rasanya ingin berjingkrak dan membayangkan betapa bahagianya jika aku bisa memakai (lagi) setelan modisku, sepatu dan tas bagus, berangkat ke kantor bertemu orang-orang baru, pengalaman baru, dan berkarya sebagai wanita karier. Meninggalkan kepenatan rumah dan riuh berantem anak-anak.

Begitu tahu, suamiku bilang dengan gamblang, dia tidak ridho aku kerja lagi, apalagi dengan alasan itu. Sekadar ingin melarikan diri dari kewajiban. Mungkin di situlah letak ketidakdewasaanku dan sikapku yang impulsif. Katanya, selama kita nggak miskin-miskin amat, biar aku yang kerja dan kamu urus anak-anak dan rumah. Lupakan feminisme dan kesetaraan gender. Sekarang, ia hanya ingin aku fokus mengurus anak-anak dan rumah agar ia pun mampu fokus bekerja. And he said, I did a great job raising my kids. "Kalau bukan kamu yang membesarkan anak-anak, baik itu aku, pengasuh, atau orang lain, hasilnya pasti beda."

Perasaanku seperti roller coaster. Aku kecewa, sedih, dengan pernyataan ketegasannya itu karena berarti tidak ada kesempatan lagi bagiku untuk menjadi wanita karier seperti yang aku impikan, selama tidak ada alasan yang sangat urgent, "selama kita nggak miskin-miskin amat". Tapi aku terharu dia bilang kalimat yang terakhir. Karena tidak pernah ada yang bilang padaku tentang hal itu. 

Di dalam karier/pekerjaan, ada apresiasi berupa gaji, kenaikan tingkat, ataupun hasil kinerja. Tetapi di rumah, aku tidak tahu apakah aku telah melakukan yang terbaik. Bahkan aku cenderung lebih sering menyalahkan diriku sendiri, sebagai istri yang kurang cakap, sebagai ibu yang kurang baik. 

Dulu, ridho orangtua adalah segalanya bagiku, tapi kini, ridho suami yang paling penting. Aku mengerti sepenuhnya tentang hal itu. Aku tidak berani melawan keridhoan suami. Sehari-hari saja, kalau aku ngambek sama suami dan membuatnya kesal, niscaya seharian itu anak-anak pun akan sulit diatur dan membuatku kesal. Hahaha. Apakah kamu juga seperti itu?

Diriku yang dulu pasti akan mencak-mencak melihat keadaanku sekarang, tapi aku memilih peran ini dengan sukarela dan penuh kesadaran. Meski begitu, bukan berarti semuanya berjalan mulus tanpa hambatan. Ini adalah pilihan yang sulit. Pilihan yang mudah bagiku, tentu saja berkarier jadi wartawan. Bertahun-tahun aku mempelajarinya bahkan berkecimpung di dalamnya. Sudah jelas, itu memang keahlianku dan sesuatu yang aku cita-citakan dan aku impi-impikan. Sementara, aku tidak pernah belajar atau bercita-cita menjadi ibu rumah tangga. 

Marriage and raising children provide you endless opportunities to grow up. Kenapa? Karena ia penuh penderitaan. Wkwkwk. Naomi Aldort, seorang pendidik, pernah berkata, mendidik anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri; raising children raising ourselves. 

"Tidak ada sekolah kepribadian di dunia ini yang menawarkan pelajaran-pelajaran pendewasaan diri sebanding dengan anak-anak. Setiap tahun yang kita habiskan untuk mendidik dan mengasuh anak adalah pengalaman belajar yang utuh, komplet, dan tak ternilai harganya. Anak-anak itu bisa mengeluarkan segala potensi yang ada dalam diri kita, yang sebelumnya tak kita sadari tersimpan di sana. Syaratnya hanya satu, janganlah kita mengeraskan hati." (Ellen Kristi - Cinta yang Berpikir hlm.14)

Amor fati, kata NietszcheKunci dari amor fati itu adalah cinta dan meredam keinginan, ambisi, bahkan harapan sekalipun. Yang dimaksud bukanlah hanya sekedar aksi, perbuatan, dan keputusan tertentu, tapi adalah seluruh bagian dari hidup itu sendiri. 

May we ever choose the harder right instead of the easier wrong.

***

Tiap orang memiliki pencapaian yang berbeda-beda. Ada yang tadinya merantau dan cuma bisa ngekos, sekarang bisa punya rumah sendiri di ibukota. Tadinya kerja sama orang, sekarang bisa punya usaha sendiri dan mempekerjakan orang. Ada yang tadinya cuma bisa koleksi hot wheels, sekarang bisa koleksi mobil beneran. Tapi izinkan aku mengapresiasi pencapaianku: ketika aku mampu merelakan diri dan karier impianku demi memposisikan diri sebagai istri yang manut suami, sebagai ibu yang selalu ada untuk anak-anak di rumah. 

Diriku yang 10 tahun lalu akan mencak-mencak kepada suami dan mengasihaniku, tetapi aku memilih peran ini dengan kesadaran penuh, demi ridho orangtua dan ridho suami, dan demi anak-anak. Banyak yang aku redam, self-esteem dan hasrat pribadi.

I keep telling myself, the days are long but the years are short. Tiba-tiba udah gede aja anak-anak. Rasanya baru kemarin aku mendekap mereka di dadaku, dengan darah dan ketuban yang masih menempel. Treasure every moment. Akan ada masa di mana kamu akan merindukan mereka lagi di pangkuanmu. 

Sedikitpun, aku tidak mengecilkan peran para perempuan yang masih berkarier di luar rumah. Kalian hebat. Itu sama sekali tidak mudah, aku sangat mengerti. Aku hanya sanggup memilih satu, aku sangat salut kepada kalian yang masih bertahan di dalam dua peran. Dan ketika tiba masanya kalian benar-benar harus memilih untuk berhenti kerja dan memutuskan membersamai anak-anak di rumah, you have all my love and support. 

Aku selalu mengontak secara pribadi setiap teman yang kudengar akan berhenti kerja dan banting setir menjadi ibu rumah tangga. Dan setiap teman yang telah lulus S2 tapi tetap memilih untuk di rumah aja. Aku sungguh ingin memeluk dan mengapresiasi mereka, karena aku tahu, ini bukan pilihan yang mudah. 

Kita tidak jadi apa-apa. Kita bukan siapa-siapa. Kita, sepenuhnya hanya berada di belakang layar untuk mendukung, menenangkan suami dari lelah kerjanya. Memeluk, memangku, bercerita, dan menjawab setiap pertanyaan anak. Duduk lebih lama setelah solat dan memanjangkan doa, lebih-lebih daripada orang lain yang masih harus sibuk bekerja. Segalanya hidup kita adalah tentang kebahagiaan mereka. 

Your greatest accomplishment may not be something you do, but someone you raised. 

Aku nangis saat seorang teman mengirimkan kata-kata itu. Karena aku sering berpikir, apa kontribusiku untuk dunia, kok rasanya mentok di sini-sini aja. But those words hit me really hard. 

Charlotte Mason berkata, sepertiga hasil pendidikan disumbang oleh atmosfer rumah tangga, yakni "ide-ide yang memancar dari kepribadian kedua orangtuanya, yang mereka jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari."

Ali pernah ditanya oleh seseorang, "Kenapa kamu berteman dengan orang Cina, Kristen pula?" yang dia jawab, "Emangnya kenapa kalau dia orang Cina atau Kristen, kita kan hidup di Indonesia ada orang Cina, ada orang Islam, ada orang Kristen, kalau dia baik, dia teman Ali!" Aku bahkan tidak ingat pernah bilang apa padanya soal itu, hahaha. 

Lalu, di lain waktu ada salah seorang anak tetangga yang dicap "nakal" bahkan disebut "gila" oleh anak-anak lain. Anak itu mengidap autisme. Aku menguping ketika Ali mencoba menjelaskan kepada temannya yang lain, "Dia itu enggak gila, kamu tau nggak kalau orang kan kadang ada yang sakit tangannya, matanya, kakinya, nah kalau dia itu yang sakit otaknya. Dia sakit tau, kasian." Masya Alloh... apa iya aku pernah ngajarin itu? Duh, moga nggak ada yang salah ya. 

"Oh, betapa luar biasa menakjubkan sekaligus menakutkan kehadiran seorang bocah cilik di tengah-tengah kita! Mengingat bahwa jalan hidup anak akan terarah dan terinspirasi dari perilaku orang-orang di sekitarnya, bahwa dia akan mencontoh kata-kata dan perilaku kita sebagai titik tolak tumbuh kembangnya -pemikiran inilah yang membuat kita menahan nafas. 

Ayah-ibu tidak bisa melarikan diri dari situasi ini; mereka mau tidak mau harus menjadi inspirator bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah terpancar atmosfer yang melingkupi pemikiran anak, sumber ia menghirup ide-ide yang terus bercokol di benaknya, membentuk sudut pandang dan seleranya seumur hidup terhadap hal-hal yang entah keji atau yang mulia, entah hal duniawi atau ilahi." (Charlotte Mason, Parents and Children, hlm. 36-37) 

Mama tidak jadi apa-apa tetapi Mama akan menjawab setiap pertanyaan pertama Ali dan Aidan tentang dunia, semesta, bahkan tentang Tuhan. Setiap jawaban yang kuberikan akan menjadi landasan berpikirnya, membentuk pandangan dan kecenderungan hatinya, bahkan jadi alasan tindakannya. Kelak jika Ali dan Aidan tumbuh dewasa menjadi berkat, menebar manfaat dan kasih sayang kepada makhluk di sekitarnya, serta mampu membuat keputusan-keputusan yang baik dalam hidup, mungkin di situlah titik keberhasilan dalam karierku. Hehe. 

Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita sebagai orangtua, serta melindungi anak-anak dari keburukan dan ketidaksempurnaan kita. Amin. Semangat moms, kalian semua hebat. 

Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun