Cinta Sehidup Semati Owa Jawa
Dalam hal percintaan, setiap manusia pasti menginginkan pasangan yang setia. Satu yang akan menemani hingga akhir hidupnya. Namun tahukah Anda, bahwa hewan juga bisa setia pada pasangannya? Meski dalam dunia fauna monogami bukanlah hal yang jamak, ada beberapa jenis hewan yang dikenal setia pada satu pasangan.
***
Pernahkah Anda mendengar kisah kesetiaan burung merpati? Burung cantik itu dikenal sebagai salah satu hewan yang monogami, yang hanya memiliki satu pasangan tetap sepanjang hidupnya. Tak heran jika merpati seringkali dijadikan simbol kasih sayang. Merpati juga diketahui memiliki ingatan yang sangat baik, ia tak akan lupa pada kekasihnya, pada rumahnya. Sejauh apapun terbang, ia akan kembali pulang. Jika Anda pernah mendengar ungkapan “janji merpati”, itu artinya janji yang akan selalu ditepati.
Indonesia telah lama dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman hayati. Banyak fauna maupun flora endemik yang hanya terdapat di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) juga menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia.
Namun sayangnya, Indonesia juga termasuk negara berkembang yang laju kerusakan hutannya paling cepat hingga menduduki peringkat ke-2 di dunia. Sebuah prestasi yang tidak membanggakan tentunya, manakala kerusakan hutan mencapai 1,87 juta hektar dalam kurun waktu 2000 – 2005. Kementrian Kehutanan bahkan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahunnya. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai ancaman lingkungan yang serius, seperti pemanasan global, bencana alam, serta kepunahan satwa-satwa endemik.
Salah satu contohnya adalah kisah tragis owa jawa. Primata endemik Pulau Jawa ini sekarang berada di ambang kepunahan lantaran ancaman deforestasi yang terus mendesak habitat mereka. Selain itu, kesetiaannya pada pasangan sekaligus menjadi salah satu penyebab hewan monogami ini terancam punah.
Owa jawa (Hylobates moloch) adalah jenis primata anggota suku Hylobatidae, yang merupakan salah satu hewan endemik Pulau Jawa. Saat ini populasi owa jawa hanya tinggal 1.000 – 2.000 ekor saja, itu pun kebanyakan hanya ditemukan di hutan lindung dan taman nasional, tempat di mana hanya sedikit hutan tersisa di Pulau Jawa. Padahal sejak tahun 1931, owa jawa telah dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Binatang Liar (Dierenbescherming-ordonnantie), namun tetap saja populasinya terus berkurang setiap tahun, bahkan kini terancam punah.
Daerah habitat owa jawa tersebar di hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa bagian barat (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Ujung Kulon) serta sedikit di Jawa bagian tengah (hutan Sokokembang). Owa jawa hidup bergelayutan di kanopi hutan, memakan buah-buahan, daun, bunga-bungaan, serta serangga hutan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, semacam keluarga inti yang terdiri dari sepasang owa jantan dan betina beserta satu atau dua anak mereka.
Wilayah teritorial sangat penting bagi sebuah kelompok owa jawa, karena area tempat mereka tinggal dan mencari makan berbatasan dengan kelompok owa yang lain. Di waktu-waktu tertentu, seperti saat pagi dan sore hari, owa betina akan mengeluarkan lengkingan suaranya yang khas untuk menandai wilayah teritorial keluarganya. Masing-masing kelompok akan mempertahankan wilayah teritorial mereka. Itulah sebabnya, deforestasi atau perusakan hutan oleh manusia menjadi salah satu ancaman utama bagi owa jawa. Habitat yang terus menerus terdesak akan membuat wilayah teritorial mereka menjadi semakin sempit.
Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan turun dari puncak Gunung Gede menuju Cibodas, saya sempat melihat hewan ini bergelayutan di dahan-dahan tinggi sambil bernyanyi bersahutan dengan lengkingannya yang khas. Saya dan kawan-kawan pendaki lain melihat owa jawa tersebut tak lama usai melewati pos Kandang Badak, berarti kurang lebih di ketinggian 2000 mdpl. Padahal, habitat ideal owa jawa sebenarnya adalah di hutan dataran rendah, sekitar 600 mdpl. Tak heran jika kini habitatnya semakin terdesak mendekati puncak gunung, karena hutan dataran rendah di kaki gunung sudah dijadikan deretan vila-vila mewah milik orang kaya ibukota. Tak tersisa lagi tempat bagi sang primata.
Saat itu kami berhenti sejenak, terpaku menyaksikan hewan langka itu yang tampak cantik di habitat aslinya. Warnanya abu-abu keperakan, tidak memiliki ekor. Tangannya yang panjang dan kuat ia gunakan untuk berayun dari satu dahan ke dahan yang lain. Owa jawa ini tampak jauh lebih cantik daripada yang pernah saya lihat di pasar hewan ilegal. Saat itu saya melihat seekor owa jawa muda yang diletakkan di sebuah sangkar kecil. Ia meringkuk dan tampak tertekan. Menyedihkan sekali.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menyelamatkan owa jawa dari ancaman kepunahan. Salah satunya adalah dengan dibentuknya Pusat Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau yang dikenal juga dengan Javan Gibbon Center (JGC) oleh Conservation International Indonesia. Di pusat rehabilitasi ini dipelihara sejumlah owa jawa yang didapat dari hasil sitaan perdagangan ilegal satwa liar. Owa-owa jawa yang diselamatkan kebanyakan masih dalam keadaan tertekan, dan di tempat inilah mereka direhabilitasi hingga siap dikembalikan ke habitat aslinya.
Langkah konservasi owa jawa tidaklah mudah, lantaran sifat hewan ini yang sangat sensitif. Owa jawa tidak akan dapat bertahan hidup di hutan tanpa pasangan. Hal ini terkait dengan proses perkawinan mereka yang monogami serta penentuan wilayah teritorial untuk kelompok (keluarga)-nya. Jadi satu hal penting yang dilakukan di pusat rehabilitasi ini adalah proses perjodohan antara owa jantan dan owa betina.
Semasa hidupnya, owa jawa hanya jatuh cinta satu kali, dan cinta itu akan menjadi cintanya sampai mati. Proses jatuh cintanya juga unik. Pertama-tama, owa jawa jantan akan mendekati owa jawa betina yang ia sukai. Sambil tetap menjaga jarak, mereka akan saling pandang. Jika owa betina juga menyukai sang jantan, ia akan menunggu sambil terus memandangi sang jantan. Sang jantan pun mendekat. Nah, sebagai tanda penerimaan cinta, owa betina kemudian akan menunggingkan bagian genitalnya di hadapan sang jantan. Dan jadilah cinta sehidup semati itu!
Masalahnya itu, cinta. Kalau tidak cinta, alih-alih menerima, owa betina malah bisa menyerang si jantan dan mengusirnya jauh-jauh. Kadang malah sampai owa jantannya cedera.
Setelah proses jatuh cinta tersebut, owa jawa akan jadi lebih aktif bergerak. Owa betina lebih sering bersuara untuk menandai wilayah bagi keluarga barunya. Layaknya pasangan setia, mereka akan banyak menghabiskan waktu bersama bergelantungan di atas pohon, saling mencari kutu, saling menggaruk, berpelukan, dan berpegangan tangan.
Jika sudah menemukan pasangan, barulah owa jawa akan dilepas ke alam bebas. Biasanya membutuhkan waktu 1 hingga 1,5 bulan bagi owa jawa untuk melewati proses karantina dan perjodohan di pusat rehabilitasi JGC, sebelum ia dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Owa jawa akan dilepas berpasang-pasangan, dengan harapan mereka dapat melanjutkan berkembang biak di hutan tempat asalnya.
Sayangnya, owa jawa bukan termasuk satwa yang mudah berkembang biak. Seumur hidupnya –yang umumnya mencapai usia 20-30 tahun- owa betina hanya melahirkan 3-4 kali, dengan hanya satu bayi pada setiap kelahiran. Sang ibu akan menyusui anaknya sampai usia 18 bulan. Anaknya digendong dan dibawa bergelayutan ke mana-mana. Pada usia itu, anak owa jawa memang sedang lucu-lucunya, sehingga owa muda sering diburu untuk dijadikan hewan peliharaan. Tapi tahukah Anda, bahwa membunuh satu ekor owa berarti membunuh seluruh keluarganya?
Untuk mendapatkan owa jawa kecil yang lucu, pemburu biasanya akan menembak mati sang induk. Ketika sang induk terjatuh dari atas pohon, anaknya yang ketakutan masih menempel erat di dadanya. Pemburu akan mengambil anak itu, meninggalkan induknya… dan sang ayah. Tingkat stress owa jawa sangat tinggi. Ketika owa jantan ditinggal mati sang betina, ia akan kesepian dan tertekan. Tak lama setelah itu ia akan mati juga menyusul betinanya. Owa tidak dapat hidup tanpa pasangannya. Sementara si anak? Hampir dipastikan ia juga tak dapat hidup tanpa induknya.
Inilah kisah setia yang tragis itu. Membunuh satu ekor, berarti membunuh satu keluarga owa jawa. Perkembangbiakan yang lamban, tingkat stres yang tinggi, perburuan ilegal serta habitat yang terus terdesak, semua itu semakin mengancam populasi mereka di hutan-hutan. Padahal owa jawa memegang peranan penting bagi pelestarian hutan, terlebih bagi hutan yang kian sempit di Pulau Jawa. Mereka mampu menyebarkan biji-bijian melalui kotorannya.
Usaha penyelamatan owa jawa dari ancaman kepunahan tentu tak bisa dilakukan oleh JGC di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango saja. Setiap pihak harus bersinergi. Pemerintah harus menindak tegas pelaku pengrusakan hutan di habitat-habitat owa jawa serta para pelaku perdagangan hewan liar. Peraturan-peraturan yang sudah ada jangan sampai hanya menjadi slogan kosong belaka. Masyarakat juga harus diberikan pemahaman, bahwa hewan-hewan dilindungi, apalagi yang endemik dan terancam punah seperti owa jawa bukanlah hewan peliharaan. Mereka harus tetap dibiarkan hidup dan berkembang biak di alam bebas, untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Saya merasa sangat beruntung masih sempat menyaksikan kera berbulu perak itu di habitat aslinya. Semoga saja itu bukan pertemuan terakhir. Owa jawa diprediksi akan punah dalam satu dekade ke depan, jika perburuan dan perusakan hutan terus terjadi di pulau Jawa. Jangan sampai owa jawa dan kesetiaannya kepada pasangan hanya menjadi kisah cinta tragis bagi anak cucu kita nanti. Semoga kelak mereka masih sempat menyaksikan primata cantik itu bergelantungan bebas di pucuk-pucuk tinggi Gede-Pangrango.
***
Pernahkah Anda mendengar kisah kesetiaan burung merpati? Burung cantik itu dikenal sebagai salah satu hewan yang monogami, yang hanya memiliki satu pasangan tetap sepanjang hidupnya. Tak heran jika merpati seringkali dijadikan simbol kasih sayang. Merpati juga diketahui memiliki ingatan yang sangat baik, ia tak akan lupa pada kekasihnya, pada rumahnya. Sejauh apapun terbang, ia akan kembali pulang. Jika Anda pernah mendengar ungkapan “janji merpati”, itu artinya janji yang akan selalu ditepati.
Indonesia telah lama dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman hayati. Banyak fauna maupun flora endemik yang hanya terdapat di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) juga menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia.
Namun sayangnya, Indonesia juga termasuk negara berkembang yang laju kerusakan hutannya paling cepat hingga menduduki peringkat ke-2 di dunia. Sebuah prestasi yang tidak membanggakan tentunya, manakala kerusakan hutan mencapai 1,87 juta hektar dalam kurun waktu 2000 – 2005. Kementrian Kehutanan bahkan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahunnya. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai ancaman lingkungan yang serius, seperti pemanasan global, bencana alam, serta kepunahan satwa-satwa endemik.
Salah satu contohnya adalah kisah tragis owa jawa. Primata endemik Pulau Jawa ini sekarang berada di ambang kepunahan lantaran ancaman deforestasi yang terus mendesak habitat mereka. Selain itu, kesetiaannya pada pasangan sekaligus menjadi salah satu penyebab hewan monogami ini terancam punah.
Owa jawa (Hylobates moloch) adalah jenis primata anggota suku Hylobatidae, yang merupakan salah satu hewan endemik Pulau Jawa. Saat ini populasi owa jawa hanya tinggal 1.000 – 2.000 ekor saja, itu pun kebanyakan hanya ditemukan di hutan lindung dan taman nasional, tempat di mana hanya sedikit hutan tersisa di Pulau Jawa. Padahal sejak tahun 1931, owa jawa telah dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Binatang Liar (Dierenbescherming-ordonnantie), namun tetap saja populasinya terus berkurang setiap tahun, bahkan kini terancam punah.
Daerah habitat owa jawa tersebar di hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa bagian barat (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Ujung Kulon) serta sedikit di Jawa bagian tengah (hutan Sokokembang). Owa jawa hidup bergelayutan di kanopi hutan, memakan buah-buahan, daun, bunga-bungaan, serta serangga hutan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, semacam keluarga inti yang terdiri dari sepasang owa jantan dan betina beserta satu atau dua anak mereka.
Wilayah teritorial sangat penting bagi sebuah kelompok owa jawa, karena area tempat mereka tinggal dan mencari makan berbatasan dengan kelompok owa yang lain. Di waktu-waktu tertentu, seperti saat pagi dan sore hari, owa betina akan mengeluarkan lengkingan suaranya yang khas untuk menandai wilayah teritorial keluarganya. Masing-masing kelompok akan mempertahankan wilayah teritorial mereka. Itulah sebabnya, deforestasi atau perusakan hutan oleh manusia menjadi salah satu ancaman utama bagi owa jawa. Habitat yang terus menerus terdesak akan membuat wilayah teritorial mereka menjadi semakin sempit.
Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan turun dari puncak Gunung Gede menuju Cibodas, saya sempat melihat hewan ini bergelayutan di dahan-dahan tinggi sambil bernyanyi bersahutan dengan lengkingannya yang khas. Saya dan kawan-kawan pendaki lain melihat owa jawa tersebut tak lama usai melewati pos Kandang Badak, berarti kurang lebih di ketinggian 2000 mdpl. Padahal, habitat ideal owa jawa sebenarnya adalah di hutan dataran rendah, sekitar 600 mdpl. Tak heran jika kini habitatnya semakin terdesak mendekati puncak gunung, karena hutan dataran rendah di kaki gunung sudah dijadikan deretan vila-vila mewah milik orang kaya ibukota. Tak tersisa lagi tempat bagi sang primata.
Saat itu kami berhenti sejenak, terpaku menyaksikan hewan langka itu yang tampak cantik di habitat aslinya. Warnanya abu-abu keperakan, tidak memiliki ekor. Tangannya yang panjang dan kuat ia gunakan untuk berayun dari satu dahan ke dahan yang lain. Owa jawa ini tampak jauh lebih cantik daripada yang pernah saya lihat di pasar hewan ilegal. Saat itu saya melihat seekor owa jawa muda yang diletakkan di sebuah sangkar kecil. Ia meringkuk dan tampak tertekan. Menyedihkan sekali.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menyelamatkan owa jawa dari ancaman kepunahan. Salah satunya adalah dengan dibentuknya Pusat Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau yang dikenal juga dengan Javan Gibbon Center (JGC) oleh Conservation International Indonesia. Di pusat rehabilitasi ini dipelihara sejumlah owa jawa yang didapat dari hasil sitaan perdagangan ilegal satwa liar. Owa-owa jawa yang diselamatkan kebanyakan masih dalam keadaan tertekan, dan di tempat inilah mereka direhabilitasi hingga siap dikembalikan ke habitat aslinya.
Langkah konservasi owa jawa tidaklah mudah, lantaran sifat hewan ini yang sangat sensitif. Owa jawa tidak akan dapat bertahan hidup di hutan tanpa pasangan. Hal ini terkait dengan proses perkawinan mereka yang monogami serta penentuan wilayah teritorial untuk kelompok (keluarga)-nya. Jadi satu hal penting yang dilakukan di pusat rehabilitasi ini adalah proses perjodohan antara owa jantan dan owa betina.
Semasa hidupnya, owa jawa hanya jatuh cinta satu kali, dan cinta itu akan menjadi cintanya sampai mati. Proses jatuh cintanya juga unik. Pertama-tama, owa jawa jantan akan mendekati owa jawa betina yang ia sukai. Sambil tetap menjaga jarak, mereka akan saling pandang. Jika owa betina juga menyukai sang jantan, ia akan menunggu sambil terus memandangi sang jantan. Sang jantan pun mendekat. Nah, sebagai tanda penerimaan cinta, owa betina kemudian akan menunggingkan bagian genitalnya di hadapan sang jantan. Dan jadilah cinta sehidup semati itu!
Masalahnya itu, cinta. Kalau tidak cinta, alih-alih menerima, owa betina malah bisa menyerang si jantan dan mengusirnya jauh-jauh. Kadang malah sampai owa jantannya cedera.
Setelah proses jatuh cinta tersebut, owa jawa akan jadi lebih aktif bergerak. Owa betina lebih sering bersuara untuk menandai wilayah bagi keluarga barunya. Layaknya pasangan setia, mereka akan banyak menghabiskan waktu bersama bergelantungan di atas pohon, saling mencari kutu, saling menggaruk, berpelukan, dan berpegangan tangan.
Jika sudah menemukan pasangan, barulah owa jawa akan dilepas ke alam bebas. Biasanya membutuhkan waktu 1 hingga 1,5 bulan bagi owa jawa untuk melewati proses karantina dan perjodohan di pusat rehabilitasi JGC, sebelum ia dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Owa jawa akan dilepas berpasang-pasangan, dengan harapan mereka dapat melanjutkan berkembang biak di hutan tempat asalnya.
Sayangnya, owa jawa bukan termasuk satwa yang mudah berkembang biak. Seumur hidupnya –yang umumnya mencapai usia 20-30 tahun- owa betina hanya melahirkan 3-4 kali, dengan hanya satu bayi pada setiap kelahiran. Sang ibu akan menyusui anaknya sampai usia 18 bulan. Anaknya digendong dan dibawa bergelayutan ke mana-mana. Pada usia itu, anak owa jawa memang sedang lucu-lucunya, sehingga owa muda sering diburu untuk dijadikan hewan peliharaan. Tapi tahukah Anda, bahwa membunuh satu ekor owa berarti membunuh seluruh keluarganya?
Untuk mendapatkan owa jawa kecil yang lucu, pemburu biasanya akan menembak mati sang induk. Ketika sang induk terjatuh dari atas pohon, anaknya yang ketakutan masih menempel erat di dadanya. Pemburu akan mengambil anak itu, meninggalkan induknya… dan sang ayah. Tingkat stress owa jawa sangat tinggi. Ketika owa jantan ditinggal mati sang betina, ia akan kesepian dan tertekan. Tak lama setelah itu ia akan mati juga menyusul betinanya. Owa tidak dapat hidup tanpa pasangannya. Sementara si anak? Hampir dipastikan ia juga tak dapat hidup tanpa induknya.
Inilah kisah setia yang tragis itu. Membunuh satu ekor, berarti membunuh satu keluarga owa jawa. Perkembangbiakan yang lamban, tingkat stres yang tinggi, perburuan ilegal serta habitat yang terus terdesak, semua itu semakin mengancam populasi mereka di hutan-hutan. Padahal owa jawa memegang peranan penting bagi pelestarian hutan, terlebih bagi hutan yang kian sempit di Pulau Jawa. Mereka mampu menyebarkan biji-bijian melalui kotorannya.
Usaha penyelamatan owa jawa dari ancaman kepunahan tentu tak bisa dilakukan oleh JGC di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango saja. Setiap pihak harus bersinergi. Pemerintah harus menindak tegas pelaku pengrusakan hutan di habitat-habitat owa jawa serta para pelaku perdagangan hewan liar. Peraturan-peraturan yang sudah ada jangan sampai hanya menjadi slogan kosong belaka. Masyarakat juga harus diberikan pemahaman, bahwa hewan-hewan dilindungi, apalagi yang endemik dan terancam punah seperti owa jawa bukanlah hewan peliharaan. Mereka harus tetap dibiarkan hidup dan berkembang biak di alam bebas, untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Saya merasa sangat beruntung masih sempat menyaksikan kera berbulu perak itu di habitat aslinya. Semoga saja itu bukan pertemuan terakhir. Owa jawa diprediksi akan punah dalam satu dekade ke depan, jika perburuan dan perusakan hutan terus terjadi di pulau Jawa. Jangan sampai owa jawa dan kesetiaannya kepada pasangan hanya menjadi kisah cinta tragis bagi anak cucu kita nanti. Semoga kelak mereka masih sempat menyaksikan primata cantik itu bergelantungan bebas di pucuk-pucuk tinggi Gede-Pangrango.
Komentar
Posting Komentar