Kesadaran atau Paksaan, Pilih Mana?

Pertamina mengatakan, cadangan minyak kita hanya cukup untuk 15 tahun ke depan. Terlepas dari motif Pertamina berkata demikian, yang jelas konflik yang semakin meluas di negara-negara penghasil minyak memang cukup mengkhawatirkan. Harga minyak melambung, Stok pun semakin menipis.

Lah emang kita nggak punya minyak? Oh, ladang minyak kita mungkin sebetulnya masih banyak, hanya saja titik-titik emas hitam itu sudah dikontrak untuk bebas dieksploitasi oleh perusahaan multinasional macam Exxon Mobile. Memang dasar mental bangsa terjajah, punya kekayaan alam segini besar tapi tak cukup percaya diri untuk bisa mengelola sendiri. Semua malah dikasihin begitu aja ke pihak asing.

Kemarin lagi-lagi daerah Kalibata Tengah (kosan saya) mengalami pemadaman bergilir. Sudah tak aneh sih. Kenapa ya pemadaman bergilir? Katanya sih alasannya karena ada yang rusak, katanya juga karena krisis energi.

Okelah kalau memang pemerintah mau menghemat energi. Tapi kalau bentuknya berupa pemadaman bergilir, kupikir itu namanya pemaksaan. Aku rasa kesadaran untuk hemat energi harus muncul dari dalam diri setiap orang, jangan menunggu ‘paksaan’ dari pemerintah.

Banyak yang bisa kita lakukan untuk hemat energi, dan hal-hal itu tidak ada yang begitu sulit dilakukan.

Pertama, hemat penggunaan listrik. Sulitkah mengurangi penggunaan AC, lampu, dispenser, komputer? Rasanya tidak juga. Nyalakan barang-barang itu hanya ketika akan digunakan. Misalnya dispenser, sebetulnya tak perlu dinyalakan seharian. Nyalakan hanya ketika kita butuh bikin kopi, bikin teh… Tak sulit, hanya butuh sedikit kesabaran untuk menunggu si air dalam dispenser jadi panas. Kalau sudah selesai, ya matikan lagi. Lampu juga begitu. Kalau ruangan masih terang karena sinar matahari, untuk apa kita nyalakan lampu? Matikan saja ketika memang ia tak begitu diperlukan. Tidak sulit kan? Hal kecil seperti itu jika dilakukan oleh banyak orang setiap hari, tentu energi yang berhasil dihemat tidaklah sedikit.

Kedua, kurangi penggunaan BBM. Ini tidak sulit juga, banyak orang sudah memulainya. Misalnya kamu disuruh sama ibu ke warung. Kalau jaraknya hanya 700 meter dari rumah, untuk apa pakai sepeda motor. Jalan kaki saja, atau naik sepeda. Bukankah itu juga sehat?

Atau bisa juga disiasati dengan penggunaan angkutan umum. Ya, daripada naik mobil pribadi, boros sendiri, ngabisin jalan bikin macet, lebih baik naik naik angkutan umum. Aku suka geregetan, kalo lagi berdesakan di metromini atau bus transjakarta, lalu terjebak kemacetan panjang. Aku lihat di kanan-kiri, banyak mobil-mobil mewah yang isinya cuma 1-2 orang. Iiiihhh... sebel deh ngeliatnya! Situ lega banget di dalem, tapi situ juga udah menuh-menuhin jalan kami! Coba kalau mereka naik angkutan umum seperti saya, atau paling enggak, bukalah mobil Anda dan ajak kami-kami ini dalam mobil Anda yang mewah dan lega itu. (Ini namanya kecemburuan sosial)

Tapi tentu saja, pemerintah juga harus berkomitmen dong untuk memperbaiki sarana transportasi massal. Orang-orang kaya yang biasa naik mobil mewah kan juga nggak mungkin disuruh naik metromini atau kopaja. Apalagi kereta ekonomi, bweeehh... Bus transjakarta adalah salah satu contoh yang sudah cukup baik menurut saya. Beberapa kereta ber-AC juga sudah bagus, hanya perlu ditambah armadanya, dijaga pula halte-halte dan stasiunnya.

Nah, kembali lagi. Untuk mewujudkan itu semua ada hal paling penting: KESADARAN dari kita semua. Jangan menunggu sampai dipaksa pemerintah lah. Pemaksaan seperti pemadaman listrik bergilir tadi, atau pembatasan bahan bakar, atau peningkatan tarif parkir dan pajak kendaraan... Nah, hal-hal seperti itu kan paksaan.

Akan jauh lebih baik ketika kita, masyarakat ibukota bisa memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap apa yang ada di sekitar kita. Saya selalu percaya kata-kata ini: mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang!

Komentar

Baca juga...

Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Wied Harry Apriadji: Puasa itu Mengikuti Kesederhanaan Nabi

DNS Nawala, Pendekar Dunia Maya Indonesia

Merdeka dengan Hijab

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit