Cerpen: Jangan Terlalu Dekat Bom, Ayah!

“Ayah pergi dulu, ya. Dah Arif sayang, Ayah pasti cepat pulang! Jaga Bunda dan Arif ya Ris, jagoan Ayah,” ujarnya sambil mengacak rambutku. Aku hanya bisa terpaku memandangi punggung kekarnya yang kian menjauh. Ayah harus pergi lagi. Kali ini ke Mesir, perbatasan Rafah tepatnya. Di sanalah Ayah akan bertugas, mengabarkan situasi langsung dari Gaza untuk dunia. Ya, ayahku adalah seorang wartawan televisi. Ia tak pernah berhenti mencari berita, karena memang berita tak pernah habis. Namun karena ayahku memang wartawan senior, ia kerap diberikan tugas liputan yang berat-berat. Seringkali ke daerah konflik atau daerah bencana.

Tahun 2004 lalu misalnya, ketika situasi di Aceh sedang panas-panasnya, Ayah dikirim ke sana. Aku dan Bunda sangat khawatir, tapi setiap malam Ayah menelepon dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun tiba-tiba pagi hari tanggal 26 Desember 2004 peristiwa itu terjadi. Tsunami besar menghantam Aceh, seluruh kota luluh lantak. Lebih dari seratus ribu orang meninggal dunia. Selebihnya hilang disapu lautan yang mengamuk. Aku yang sedang ujian akhir semester, sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada Ayah, dimana dia? Apakah ia baik-baik saja? Adakah ia terluka? Atau... ah tidak! Berbagai bayangan buruk tak henti mengusik pikiranku.

Selama satu minggu tak ada kabar dari Ayah. Semua orang masih sibuk mengevakuasi jenazah yang ribuan jumlahnya. Bunda pun tampak layu. Ia selalu berusaha tersenyum di hadapanku, mencoba menguatkanku dan bilang bahwa Ayah akan baik-baik saja, tapi aku tahu saat aku tak ada, Bunda menangis sejadi-jadinya.

Akhirnya, seminggu kemudian Pak Andi, pemimpin redaksi Ayah menelepon kami dan mengabarkan bahwa Ayah baik-baik saja. Ayah sedang berada di bukit, dalam hutan bersama kelompok GAM ketika tsunami terjadi. Ayah selamat, tapi baru bisa pulang sepuluh hari kemudian. Ia tampak lusuh dan tertekan, tapi matanya berbinar seketika ia menatap kami.

Sejak itu, Ayah semakin sering menyediakan waktu untuk kami. Agaknya Ayah merasakan betul bahwa apapun bisa terjadi. Ia tak tahu kapan akan ditugaskan lagi. Mungkin besok, lusa, atau bulan depan. Mungkin ke Irak, Afghanistan, atau Rwanda. Aku tak tahu, Ayah pun tak tahu. Adik kecilku, Arif, setiap hari selalu bilang dengan polosnya, ”Ayah jangan pergi lagi...” Ayah biasanya cuma tersenyum. Ia tak bisa janji. Arif tak akan mengerti. Itu sebabnya ia menangis lagi ketika Ayah pergi tadi pagi.

Sebenarnya menyenangkan jadi anak seorang wartawan. Bangga. Ayah sudah terjun ke dunia jurnalistik sejak muda. Kini sudah lebih dari 13 tahun Ayah mengabdi kepada masyarakat dengan menjadi wartawan. Ya, Ayah bilang menjadi wartawan berarti memegang amanat masyarakat, karena wartawan mewakili right to know dan right to inform khalayak luas. Ayah tak pernah mengeluh meskipun gajinya tak sebesar kawan-kawannya. Kata Ayah, ia bekerja bukan untuk digaji perusahaan, tapi ia bekerja untuk memenuhi kepuasan khalayaknya. Dan satu lagi, yang menurutku paling keren, Ayah bekerja untuk kebenaran.

Karena Ayah seorang wartawan, nilai-nilai jurnalistik ia terapkan juga dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Misalnya, tepat waktu, sikap kritis, tak boleh asal berbicara, apalagi berbohong. Ayah juga sangat demokratis. Biarpun aku dan Arif masih kecil, ia bicara dan memperlakukan kami layaknya orang dewasa. Kalau ada masalah kami tak pernah dimarahi, melainkan diajak duduk bersama di ruang tamu dan mendiskusikan masalah tersebut.

Ayahku pengetahuannya luas sekali, seperti ensiklopedi berjalan. Seaneh apapun pertanyaan yang ku ajukan kepadanya, semua bisa dijawabnya. Waktu memang tak akrab denganku dan Ayah, sebab ia pergi sangat pagi. Kadang pulang pagi lagi. Tapi iya selalu pulang dengan banyak cerita. Makanya rindu kami pada Ayah tak pernah musnah, walau ia jarang di rumah.

Seperti hari ini. Sudah seminggu sejak Ayah berangkat ke Gaza. Situasi di sana semakin menggila. Setiap hari, kami tak melewatkan sesi liputan khusus dari Jalur Gaza, karena saat itulah kami bisa melihat Ayah di layar kaca yang sedang melaporkan langsung.

Walaupun cuma lewat televisi, itu sudah cukup mengobati kerinduan kami. Kami juga bisa tahu, Ayah baik-baik saja. Meskipun tak jarang kami histeris melihat bom atau granat meledak hanya beberapa kilometer dari tempat Ayah berdiri. Suara gemuruh pertempuran jarak dekat juga terdengar di antara suara Ayah yang mulai serak. Suasana yang menyeramkan itu terbawa hingga ke ruang tamu kami. Setiap menonton liputan langsung Ayah, mata Bunda selalu berkaca-kaca. Tapi ia tidak mau menangis. Aku mengerti perasaan Bunda. Pasti campur aduk rasanya, rindu, khawatir, takut, sekaligus bangga. Aku juga bangga pada Ayahku yang pemberani.

Selama di Gaza, Ayah baru bisa menghubungi kami tiga kali. Selepas itu, mungkin situasi bertambah gawat sehingga Ayah tak sempat lagi menghubungi kami. Kini, cuma kabar dari Pak Andi dan gambar-gambar Ayah di televisi yang jadi pengobat rindu kami. Ayah tak pernah menelepon lagi. Setiap bangun pagi, aku mendapati Bunda sudah duduk di depan televisi mengikuti berita pagi. Tentu saja menunggu wajah Ayah, apalagi? Bunda mengucapkan selamat pagi dan tersenyum, tapi kulihat matanya semakin hari semakin cekung. . Aku ingat kata-kata Ayah sebelum ia berangkat, ”Haris jagoan Ayah, jaga Bunda dan Arif, ya!” Aku cium pipinya, mencoba membuat Bunda bahagia dan bersinar seperti biasanya.

Ayah, cepatlah kembali! Aku tak tahan melihat mata Bunda yang semakin sayu. Apalagi kalau mendengar adikku, Arif bertanya, ”Ayah kapan pulang? Kok Ayah nggak pernah nelpon, Bunda?” Aduh Dik, Ayah sendiri pun tampaknya belum tahu kapan ia bisa pulang. Karena konflik pun tampaknya belum akan berakhir.

Aku sedang duduk dan membaca buku-buku Ayahku, di ruang kerjanya. Bukunya banyak, aku sudah baca hampir setengahnya. Sejak kecil, Ayah tak menyodoriku buku mewarnai. Ia malah membuatku penasaran dengan buku-buku ”orang gede”, seperti buku sastra atau buku tebal berbahasa Inggris. Maka tak heran, minatku agak berbeda dengan anak-anak seusiaku. Bukan komik atau video game yang aku minati, melainkan buku.

Tiba-tiba telepon berdering. Aku mengangkatnya, dan aku langsung mendengar suara yang sangat aku kenali, Ayah!
”Assalamualaikum, Nak. Ini Ayah!”
”Wa’alaikum salam! Iya Ayah! Ayah kok baru nelepon sih? Ayah kemana aja, kita kan nungguin telepon Ayah! Ayah lagi di mana? Apa kabar, Yah?”
”Waduh, stop stop nanyanya satu-satu dong. Iya nih Rif, susah banget buat nelpon ke Jakarta dari sini. Maaf ya. Ayah sekarang lagi di Rafah. Satu jam lagi Ayah siaran, nonton ya! Hehehe...”
”Ayah jangan deket-deket sama bom dong, kita ’kan ngeri ngeliatnya.”
”Hahaha! Kadang kita ’kan juga nggak bisa memprediksi bomnya akan jatuh dimana. Tenang aja, banyak pasukan PBB di sini. Insya Allah, Ayah aman. Bunda sama Arif mana?”
”Bunda tadi lagi keluar, ada acara sama ibu-ibu RT. Arif dibawa. Mau dipanggilin?”
”Duh, nggak usah deh. Ayah nggak bisa lama-lama. Salam ya, buat Bunda dan Arif. Salam sayang, salam kangen!”
”Oke. Ayah... cepat pulang....” suaraku tercekat.
”Iya Ayah pasti pulang! Titip rumah ya, Jagoan. Gantikan Ayah sebentar, oke? Assalamualaikum!”
”Wa’alaikum salam. Ayah, jangan....”

Tut...tut...tut... Sambungan telepon terputus.

...jangan dekat-dekat bom lagi.

Aku melirik jam. Wah sudah pukul lima sore. Waktunya lihat berita, lihat Ayah. Bunda belum pulang. Ya, aku menonton sendirian deh. Aku senang sekali habis ngobrol dengan Ayah. Aku lihat berita, ternyata situasi di Gaza semakin kacau saja. Ffiuhh...tapi aku sudah lega karena Ayah baik-baik saja. Nah, itu dia Ayahku di layar kaca!

”Ya, pemirsa. Kembali Aji Ismail melaporkan situasi di Jalur Gaza, langsung dari perbatasan Rafah. Seperti bisa Anda lihat, pemirsa, di belakang saya...”

Wah baru kali ini aku tidak merasa sedih melihat Ayah. Situasi di belakang Ayah sangat menyeramkan. Ada tiga atau empat asap hitam berbentuk cendawan raksasa yang mengotori langit Gaza. Kemudian ada juga bom yang ditembakkan dari udara, yang asapnya berbentuk seperti ubur-ubur dan berwarna putih. Bom apa itu, ya? Duh Ayah, tadi ’kan aku sudah bilang, jangan dekat-dekat bom.

DHUAARRRR.....!!!

Suara gemuruh keras sekali. Aku tak bisa melihat apa-apa di layar kaca, kecuali debu dan...darah! Astaga! AYAH!!! Bunda, tolong!! Bunda, aku sendiri! Bunda cepat kemari! Bunda, aku mau lari...!!! Tapi tubuhku seperti terkunci di sofa. Mati rasanya. Aku tak mau percaya! Apa yang sedang terjadi? Darah siapa yang terlihat di kamera tadi? Ya Tuhan!

Ini siaran langsung, kawan! Ini sungguhan! Dan reporter itu Ayahku! AYAHKU! Seketika situasi kacau, suara tak jelas. Gambar mengerikan itu segera digantikan dengan gambar studio di Jakarta, yang penyiarnya tampak kalang kabut. Kedua penyiar berita sore itu berusaha tenang, tapi suara mereka hampir-hampir tercekat ketika mencoba menjelaskan apa yang terjadi kepada pemirsa. Penyiar yang perempuan bahkan tak bisa berkata-kata lagi, wajahnya memerah ketakutan. Air matanya hampir menetes. Semua orang bingung dan kaget. Semua terjadi begitu cepat, dan tentu saja, di luar bayangan kami semua! Ini siaran langsung! Berarti, saat ini, detik ini, apa yang terekam kamera barusan betul-betul sedang terjadi. Gambar yang terlalu mengerikan, terutama untukku!

Astaga, itu Ayahku! Ayahku yang baru saja menelepon satu jam yang lalu! Aku baru saja bicara dengannya! Ia bilang ia akan pulang! Peristiwa tadi kembali berputar dalam pikiranku. Suara gemuruh, debu, dan darah yang muncrat. Semua terekam jelas. Aku melihat peristiwa tadi, dengan mata kepalaku sendiri! Bunda, aku takut... Bunda, cepat pulang...

Kemudian terdengar suara pintu pagar rumah dibuka. Bunda! Terdengar suara si kecil Arif, ”Bunda, ayo cepat nanti kita ketinggalan nonton Ayahnya!” Bunda masuk, dan menyapaku, ”Mas Haris lagi nonton Ayah, ya? Kita udah ketinggalan belum?” Aku mau mati rasanya.

***

Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun