Kaleidoskop Indonesia 2008

Tahun 2008 adalah tahun hitam putih bagi Indonesia. Banyak sekali peristiwa yang menyakitkan, keadaan yang menyulitkan, dan kebijakan yang sarat kepentingan. Namun tak jarang pula kita dihembus segarnya angin demokrasi dan keadilan. Semua datang bertubi-tubi, hingga kita, rakyat Indonesia menjadi kebas, mati rasa. Tak tahu kapan harus bergembira, kapan harus menangis. Sebab terkadang bahagia dan nestapa datang pada saat yang sama. Bingung mana yang harus diraba.

Contohnya, pada awal 2008 mantan presiden Soeharto meninggal dunia. Sebagian merasa sedih, kehilangan sosok yang dijuluki The Smiling General itu. Mereka berbondong-bondong mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir karena teringat jasa Pak Harto selama 30 tahun memerintah. Namun sebagian lagi ‘memampus-mampusi’ kematian Bapak Pembangunan itu. “Apa yang telah ia lakukan selama 30 tahun itu yang menyebabkan terpuruknya kita saat ini!” teriak mereka di media-media massa.

Kelompok yang pertama merelakan kasus korupsi besar-besaran Pak Harto ditutup, tak usahlah diteruskan, toh orangnya pun sudah meninggal. Kelompok kedua berteriak lebih keras lagi, menuntut diteruskannya persidangan kasus Soeharto, mengingat banyaknya uang negara yang sudah ia kantongi dan wariskan ke kroninya. Mereka menentang Soeharto dijadikan pahlawan nasional, mengingat tindakannya yang tak bisa dimaafkan. Kematian Soeharto, rakyat Indonesia bingung, haruskah berduka? Atau bolehkah tertawa?

Politik juga semakin membuat rakyat bingung. Pemerintahan SBY-JK tahun ini layaknya menjahit selembar kain yang sudah sangat usang. Berupaya menjahit salah satu bagian yang robek, tapi justru menyobek bagian lainnya. Satu masalah diatasi, malah muncul sepuluh masalah baru. Seperti halnya saat pemerintah memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sekonyong-konyong rakyat kalang kabut. Ibu-ibu cemberut, pengendara mobil dan motor carut-marut, nelayan pun tak bisa melaut. Akhirnya pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang bertujuan meringankan beban rakyat.

Bantuan jangka pendek ini mendapatkan banyak tentangan. Ada yang mengatakan bantuan ini tidak mendidik lah, membangun mental miskin lah, berpotensi konflik lah. Masalah ini terus saja diperdebatkan di kalangan atas, sementara rakyat sudah megap-megap kehabisan uang. Saat BLT cair, justru menimbulkan banyak konflik, bahkan korupsi. Pendataan tak akurat, warga ada yang dapat dua kali, ada juga yang tak dapat sama sekali. Akibatnya, kepala desa dipukuli sampai hampir mati. Miris sekali. Sudah untung kalau kepala desanya jujur dan amanah. Ada pula kepala desa yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Diam-diam menggerogoti dana BLT, rakus seperti tikus. Padahal di luar kantornya ribuan rakyat miskin telah menunggu berjam-jam, dengan anak-anak mereka yang menangis kelaparan.

Ada lagi konversi minyak tanah ke gas yang katanya bertujuan untuk memudahkan masyarakat. Di sana-sini gencar disuarakan, gas lebih murah! Gas lebih aman! Bahkan sampai diiklankan di televisi dan radio. Masyarakat miskin yang masih menggunakan kompor minyak tanah karena takut menyalakan kompor gas dipaksa cepat-cepat beralih. Minyak tanah ditarik dari pasaran, namun tiba-tiba gas melambung harganya, bahkan hingga 100.000 rupiah per tabungnya. Terus mau masak pakai apa? Lagi, rakyat bingung setengah mati.

Persoalan BBM ini memang tak ada habisnya di tahun 2008, dan mahasiswa menjadi kelompok yang paling lantang menyuarakannya demi kesejahteraan rakyat. Di pertengahan tahun, mereka yang tak henti berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Di akhir tahun, saat harga minyak dunia turun dua kali lipat, mereka pun kembali meminta pemerintah menurunkan harga BBM seperti yang dilakukan negara-negara lain. Sampai lucu, saya pernah mendengar seorang bapak berkata, “Mahasiswa itu maunya apa, ya? BBM naik, ribut. BBM turun, ribut lagi.”

Para mahasiswa yang giat membela kepentingan rakyat itu terkadang aksinya dinodai segelintir rekan mereka yang tak bertanggung jawab. Mereka melakukan demonstrasi yang diwarnai aksi anarkis dan hal-hal yang tidak berguna. Misalnya, saat mereka menghabiskan berliter-liter bensin untuk berkonvoi, sementara di pelosok daerah orang harus mengantri berjam-jam untuk mendapatkan bensin. Atau saat mereka membakar ban serta mobil berplat merah sembari bernyanyi-nyanyi di tengah jalan, sementara di kampung-kampung orang harus mengais-ngais jerigen bekas untuk mendapatkan setetes minyak tanah. Ironis memang.

Kenaikan BBM ini tak pelak turut menyumbangkan andil bagi meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Meskipun Partai Demokrat mengklaim keberhasilan pemerintahan SBY dengan memperlihatkan penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, faktanya tidaklah demikian. Ketika harga BBM dinaikkan, harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat, usaha kecil menengah terpaksa gulung tikar, pabrik-pabrik besar mem-PHK ribuan karyawannya. Hasilnya, angka pengangguran bertambah.

Realita kemiskinan itu tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Apalagi jika kita melihat tragedi zakat Pasuruan yang menelan 11 korban jiwa. Ribuan orang berbondong-bondong datang, rela berdesak-desakan, bahkan mempertaruhkan nyawa hanya demi dua puluh ribu rupiah. Bahkan setelah kejadian memilukan itu, rakyat tak juga jera. Buktinya, baru kemarin saat pembagian bingkisan Natal di Solo dan Medan, orang kembali berdesak-desakan dan nyaris ricuh untuk mendapatkan bingkisan yang tak seberapa nilainya, bila dibandingkan dengan nyawa mereka. Pemerintah tak seharusnya menutup mata atas kenyataan tersebut.

Menyambut Pemilu 2009, semakin banyak lagi perdebatan yang timbul. Hal-hal seperti dicoblos atau dicontreng, menggunakan pulpen atau pensil, terpilih bedasarkan nomor urut atau suara terbanyak, caleg perempuan atau laki-laki, tak habis-habisnya dibicarakan. Partai yang muncul pun semakin banyak, ada 38 partai. Para kader partai besar masing-masing menyatakan siap maju menjadi capres, sementara partai kecil masih sibuk mencari anggota.

Peliknya permasalahan Pemilu 2009 ini mendorong rakyat untuk bersikap apatis. Agaknya rakyat sudah tak mau tahu lagi siapapun yang jadi pemimpin. Mau orang lama, orang baru, artis, terserah lah. Mereka sudah kenyang dengan janji-janji yang tak kunjung terlaksana. Kalau janji-janji pejabat itu makanan, mungkin rakyat kita sudah gendut sekarang. “Golput aja lah. Pusing.” Begitu kata mereka. Namun tiba-tiba ada fatwa MUI yang menyatakan bahwa golput itu haram hukumnya. Rakyat semakin bingung. Mereka sudah memilih untuk tidak menggunakan hak pilih, lha kok malah dipaksa ‘memilih’ lagi? Jadi sebenarnya yang tidak demokratis itu siapa, ya? Demokrasi memang mahal, tapi itulah tanda kebebasan manusia Indonesia.

Selain isu-isu di atas, yang juga menonjol di tahun 2008 ini di antaranya adalah:
1. Eksekusi hukuman mati terhadap pelaku Bom Bali, yaitu Amrozi, Imam Samudera, dan Muklas yang menunjukkan bentuk perlawanan Indonesia terhadap terorisme
2. Kasus korupsi yang semakin banyak diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
3. Kriminal: meningkatnya kasus mutilasi dan bunuh diri
4. Kian maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur
5. Maraknya pornografi dan pornoaksi mendorong pemerintah untuk mengesahkan UU Pornografi, meskipun sempat diwarnai pro dan kontra
6. Bertambahnya jumlah pengidap HIV/AIDS, khususnya di kota-kota besar
7. Resesi ekonomi akibat terpaan krisis finansial global
8. Angka pengangguran dan kemiskinan yang terus bertambah, akibat krisis ekonomi

Begitulah refleksi keadaan bangsa Indonesia selama tahun 2008. Masih jauh dari kesejahteraan, masih jauh dari kemerdekaan. Tahun 2009 adalah harapan baru bagi rakyat. Terlebih ada momen pemilihan umum bulan April nanti, saat rakyat berkesempatan memilih wakil-wakil mereka. Walaupun mungkin cahaya terang itu masih jauh, kita harus percaya, bahwa suatu saat kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan dan menjadi bangsa yang besar. Masa itu pasti ada, Tuhan dengar harapan kita.

Komentar

Baca juga...

Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Wied Harry Apriadji: Puasa itu Mengikuti Kesederhanaan Nabi

DNS Nawala, Pendekar Dunia Maya Indonesia

Merdeka dengan Hijab

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit