Tasurrun Nazhirin

Sejak dulu aku selalu ingin nulis tentang selera fashion, gaya berpakaian Mbah yang menurutku, berkelas. Hahaha. Beneran deh. She got style. Bahkan di usianya yang tidak muda lagi, Mbahku masih "tasurrun nazhirin" alias enak dipandang. Anggun, sederhana, cantik tapi tidak berlebihan. Caranya berjalan, memakai kerudung, memadu-padankan kebaya dengan sarung, sampai caranya menenteng tas, sungguh menawan. Kalau diajak makan di restoran hotel bintang lima sekalipun, Mbah tidak canggung. Ia tahu bagaimana makan pakai pisau dan garpu, bagaimana mengaduk teh dan meletakkan sendok, serta bagaimana duduk dan menarik kursi. Like a royal lady.

Gaya berpakaian Mbah sejak dulu tidak berubah. Zaman boleh berganti, namun Mbah tetap setia mengenakan selendang, kebaya, dan kain sarung, yang selalu matching.

Bila keluar rumah, Mbah menutup rambut bersanggulnya dengan kerudung kecil yang disebutnya "krepus", beberapa hasil rajutan tangannya sendiri. Ia sering memetik beberapa kuntum melati, lalu diselipkan di dalam krepusnya. Aroma wangi inilah yang sangat khas Mbah. Kalau mau bepergian, Mbah mengenakan selendang panjang yang dililitkan. Ada satu favoritnya, selendang Turki tebal hadiah cucunya dari Jeddah.

Kebaya Mbah pas di badan, dengan model yang tidak pernah berubah. Mbah nggak betah kalau kebayanya kekecilan atau kebesaran. Pasti didedel kalau engga langsung dikasih orang. Pilihan motif dan warnanya cenderung kalem. Aneka gradasi coklat, hitam, putih, ungu muda, krem, baru-baru ini aku lihat juga kebaya baru Mbah berwarna merah muda. Tidak ada renda, tidak ada manik-manik. Tapi manis. Kalau bepergian naik pesawat atau ke tempat dingin, Mbah tidak lupa menenteng kardigan putih rajut.

Sarung Mbah pun nggak bisa sembarangan. Favoritnya adalah Danar Hadi dan Batik Keris. Motifnya juga dicermati baik-baik sebelum dipilih. Apa yang terjadi kalau Mbah dibelikan sarung 100ribuan? Gatel 😂😂 Mbah pasti akan mengeluh kakinya gatal memakai sarung murah tersebut. Padahal beliau juga nggak tau harganya berapa, misalnya karena sarung itu adalah pemberian orang. Tetep aja, beliau pasti langsung mengeluh kakinya gatal. Hahaha canggih ya.

Sandal pilihan Mbah selalu empuk, simpel, sangat nyaman dengan warna yang tak jauh dari hitam dan coklat. Mbah suka sedikit aksen, tapi say NO to manik-manik atau kelip-kelip. Koyok wong ndeso, katanya 😂 Mbah harus diajak dan memilih sendiri sendalnya. Kalau kita salah-salah beliin, nggak bakal dipakai. Atau, ya, kakinya jadi gatal 😂 Sandal Mbah juga nggak ada yang di bawah 100 ribu. Padahal beliau nggak bisa baca ya, tapi beliau selalu melipir ke koleksi-koleksi Buccheri. Aku dan ibu sering nemenin Mbah cari sendal baru, seringnya sih ke mall. Dan itu bisa lama pilah-pilihnya. Mbah sama aja yah dengan perempuan pada umumnya kalau soal ini 😂

Berikutnya, tas atau dompet. Mbah menyukai tas dan dompet bergaya etnik, dan buatan tangan. Dompet kecilnya adalah rajutan tangannya sendiri. Dompet lainnya terbuat dari rangkaian manik-manik. Isinya, ya uang, KTP, dan beberapa kuntum melati. Kalau bepergian dan menginap, Mbah membawa tas tenteng. Ada yang bercorak batik, bermotif tenun atau bordiran khas daerah tertentu.

Gaya berpakaian Mbah tidak pernah berubah. Ke mall, ke dokter, ke Manado, atau bahkan saat umroh dan haji sekalipun, Mbah tetap dengan selendang, kebaya, dan sarung batik. Throughout the years, she stayed true to her self, to her own style. Aku pernah cerita kan, bagaimana motif kain batik Mbah menarik perhatian perempuan Turki dan Arab saat di Masjidil Haram? Mbah tidak takut untuk tampil berbeda, demi tetap menjadi dirinya sendiri.

Saat di rumah maupun bepergian, Mbah sama cantiknya. Menurutnya, begitulah seharusnya perempuan menghargai diri sendiri. Mbah pernah menegurku saat aku mengenakan daster sobek di rumah. "Di rumah boleh pakai baju yang enak, tapi harus tetep apik," katanya. Iya ya, kenapa pula aku terlihat kucel saat di rumah dan baru dandan cakep, memakai pakaian bagus saat hendak keluar? Apakah aku tampil cantik untuk mata orang lain? Seharusnya aku berpenampilan cantik semata untuk menghargai diriku sendiri. Di mana saja, termasuk di rumah. 

Dia tahu persis pakaian seperti apa yang dapat merepresentasikan dirinya. Yang simpel, namun klasik. Tren berganti setiap tahun, namun hingga usianya ke-92, selera Mbah tidak berubah. Mbah tidak tergoda pakai gamis, kerudung bergo, atau busana kelap-kelip. Karena itu bukan dirinya. "Wong lio ae, aku gak, wis."

Selain itu, kata ibu, tangan Mbah itu mahal.

Apa sebab?

Semua yang dipegang tangannya -walau beliau nggak lihat dan nggak bisa baca harganya- udah pasti mahal. Mulai dari kain sampai centong nasi 😂 Pernah, diajak beli perabot dapur sama ibu, katanya Mbah mau beli centong nasi. Di antara sekian banyak varian centong nasi yang berjejer, tangan Mbah memilih satu yang harganya 25 ribu rupiah. Wew. Padahal yang 5 ribu juga banyak. Ditawarin yang lain, nggak mau. Udah itu aja, katanya. Which is, yang paling mahal 😂

Demikianlah aku akan selalu mengingat Mbahku yang cantik, dan selalu sedap dipandang bahkan hingga akhir usianya. Mbahku yang punya selera berkelas, dan tangannya yang "mahal". Ia tahu persis apa yang ia inginkan, apa yang dapat merepresentasikan personality-nya, dan bagaimana ia tetap nyaman menjadi dirinya sendiri di tengah zaman yang terus berubah.

Bagiku, Mbah adalah contoh perempuan yang menjaga penampilan, bukan demi pujian orang lain. Ia melakukannya demi kenyamanan pribadi. Ia adalah perempuan yang sangat menghargai dirinya sendiri.

Kami akan merindukanmu, Mbah.


Komentar

  1. الله يرحمها ،، في جنات النعيم إن شاء الله،،

    اللهم أدخلها فسيح جناتك
    اللهم ارحمها واغفر لها ..
    اللهم اغفر لها وارحمها والهمها الإجابة عند السؤال..
    اللهم ثبتها بالقول الصادق في الآخرة..
    اللهم اغسلها بالماء والثلج والبرد..
    ونقها من الخطايا كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس..
    اللهم ادخلها جناتك يارحمن يارحيم...

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun