Wawancara dengan Saiful Munir: Anak Muda Harus Peduli Isu Pangan
“Sukses”-nya gelaran Konferensi Tingkat Menteri World Trade
Organization (WTO) di Bali pada 3-6 Desember 2013 kemarin tidak bisa
kita anggap sebagai angin lalu. Eh, karena dampaknya serius lho,
khususnya bagi sektor pertanian dan ketahanan pangan kita.
Tenang sodara-sodara, jangan setres dulu. Kita akan bicarakan ini dengan santai. Aku perkenalkan Saiful Munir, cacakku dari Blitar yang sekarang lagi getol mengampanyekan gerakan anak muda peduli pangan, Youth Food Movement. Dengan cara bicara yang santun dan senyum manisnya Cak Munir, obrolan ini pasti akan jadi menyenangkan.
Cak Munir, lama kita nggak ketemu dan konsolidasi hati! Lagi sibuk
apa kau sekarang?
Haha… Ken, emang lamanya berapa bulan sii? Aku sekarang sedang bergiat di komunitas/organisasi anak muda yang peduli soal isu pangan. Namanya Youth Food Movement (YFM) Indonesia.
Apa tuh? Kok tumben kau nginggris? Haha..
Menurut temen-temen sih biar populer buat telinga anak-anak muda sekarang. YFM ini tempatnya anak-anak muda yang peduli dengan pangan lokal. Anggotanya ada musisi, pelajar, mahasiswa, pemuda tani, siapapun boleh gabung.
Memang kenapa dengan pangan lokal Cak?
Gini, kira-kira pada tau nggak ya, dari mana asal makanan yang tersedia di meja makan kita setiap hari?
Ya dari petani toh, kan mereka yang produksi bahan pangan?
Eitt… jangan buru-buru, coba kita selidiki petani mana yang memproduksi bahan pangan itu. Saat ini banyak produk pangan yang diimpor dari luar lho. Tanaman pangan yang dikembangkan negara-negara maju itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Mereka mengembangkan tanaman transgenik yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Terlebih, kita yang tinggal di kota besar ini seneng banget belanja di supermarket. Padahal, supermarket dengan seluruh jaringan ritelnya bisa mengubah gaya hidup manusia kota. Di sana isinya buah-buahan impor, daging, kentang, garam, dan makanan kemasan impor semuanya. Selain berdampak kepada gaya hidup tidak sehat karena makanan yang tidak fresh, dengan belanja produk impor di pasar modern kita juga bakal merugikan petani kecil yang memproduksi sayur dan buah lokal. Karena produk petani kita susah banget masuk ke supermarket.
Nggak mikir segitunya aku Cak…
Makanya kita musti tau dan support petani lokal dengan membeli produk pangan lokal di pasar tradisional. Isu pangan dan pertanian ini lekat sekali kaitannya. Yang menambah kita resah hari ini adalah kondisi pertanian kita yang mengalami aging (penuaan). Sensus BPS menunjukkan telah terjadi penurunan minat penduduk usia produktif untuk bekerja di sektor pertanian.
Pada tahun 2004 ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian atau 43,33% dari total penduduk Indonesia. Namun pada 2013, jumlah itu menyusut jadi 39,96 juta orang atau tinggal 35,05% saja. Lebih dari 50% orang yang bekerja di sektor pertanian kita berusia di atas 40 tahun. Bahkan presentase terbesar, yakni 12,33% petani kita adalah kelompok umur di atas 60 tahun.
Lha kalau nggak ada yang meneruskan bapak-bapak kita untuk mengelola lahan dan bertani, beberapa dekade ke depan kita makan apa dong ya?
Nah, menjawab keresahan itu, YFM dibentuk. Kami ingin mempertemukan pemuda-pemuda kota yang menjadi konsumen dengan pemuda tani di kampung (sebagai produsen pangan) untuk membangun kesadaran bersama tentang kedaulatan pangan. Cita-cita kami, bagaimana Indonesia ke depan dapat memenuhi pangan secara mandiri. Tidak lagi bergantung pada impor.
Ada twitternya ya? Aku udah follow donk @YFMovement!
Yak betul, terima kasih Dek Ken! Kami sadar betul, anak-anak muda pengguna social media itu banyak banget. Social media kami manfaatkan sebagai media kampanye, menyebarkan virus-virus kedaulatan pangan. Kita memang bisa melakukan hal-hal bodoh dengan social media, tapi ingat, dengannya kita juga dapat melakukan perubahan besar.
Nggak cuma kampanye on line, kita juga realisasikan dengan berbagai bentuk kegiatan seru. Misalnya kemarin kita bikin Youth Food Movement Camp. Sambil camping kita belajar isu pangan. YFM juga melakukan kampanye melalui musik. Juni 2013 lalu, kami menggandeng musisi dan seniman yang pro kedaulatan pangan untuk menggelar Konser Kedaulatan Pangan. Ada Fadly Padi, Navicula dari Bali, Jess Santiago dari Filipina, dan beberapa musisi lainnya. Seru.
Terakhir, kita memobilisasi para pegiat YFM di 7 kota dalam Youth Food Movement Caravan #EndWTO untuk menyikapi Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM 9 WTO) 3-6 Desember di Bali.
Sebentar Cak Munir, emangnya ada apa sih di WTO kemarin? Mengapa
anak muda mesti peduli? Dan sekarang setelah gelaran itu sukses,
memangnya apa dampaknya buat Indonesia?
World Trade Organization (WTO), organisasi yang mengurusi perdagangan di seluruh dunia. Keren ya. Tapi jangan dibayangkan WTO hanya mengurusi perdagangan barang saja. Sektor jasa, investasi, bahkan hak kekayaan intelektual juga diatur di dalamnya.
Kenapa sektor kesehatan, pendidikan, transportasi, dan pariwisata di Indonesia mahal? Ya, karena sektor-sektor di atas termasuk 4 dari 12 sektor jasa yang harus diprivatisasi dalam kerangka General Agreement on Trade in Services (perjanjian perdagangan jasa). Jangan heran kalau kamu lagi keliling Nusantara dan mendapati kerusakan lingkungan karena tambang dan reklamasi pantai. Karena Agreement on Trade Related Investment Measures (perjanjian terkait investasi) memfasilitasi juragan-juragan asing untuk berinvestasi besar-besaran di Indonesia dan mengeksploitasi kekayaan alam kita.
Kasus lain, ingat nggak waktu medio 2006, Pak Tukirin, petani pemulia tanaman dari Nganjuk dan Budi Purwo Utomo petani jagung dari Kediri dikriminalisasi karena tuduhan mencuri benih jagung hibrida PT BISI? Karena Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (perjanjian terkait hak kekayaan intelektual) memfasilitasi perusahaan-perusahaan benih raksasa mematenkan benih mereka. Sementara di saat yang sama, keanekaragaman benih lokal perlahan menghilang dari tangan petani.
Segitunya? Bahkan mereka mematenkan benih?
Ya, itulah yang terjadi. Makanya petani lokal jadi korban.
Sering dengar kan katanya kita ni negara agraris? Tapi akibat perdagangan bebas yang diatur WTO keran-keran impor dibuka lebar, termasuk di sektor pangan. Dampaknya, kita negeri agraris yang kaya ini dibanjiri bahan pangan dari luar dengan segala resikonya yang sudah kita bicarakan di atas tadi. Buah-buahan, kedelai, bawang putih, bahkan garam saja impor.
Padahal, petani-petani di dataran tinggi Dieng dan Pangalengan belum lelah menanam kentang kok. Jika diberi subsidi, petani-petani di Jawa pasti mampu memproduksi kedelai organik yang lebih sehat dari kedelai impor dari AS. Petani garam di Madura juga masih mampu memproduksi garam sendiri. Lha wong Indonesia ini sebagian besar wilayahnya laut kok, tanah kita juga subur, kita nggak akan kekurangan garam dan bahan pangan kalau petani lokal dilindungi dan didukung.
Suksesnya pertemuan Bali Desember lalu berarti Indonesia akan terus menjadi pasar dan surga investasi asing. Karena hari ini motif berdagang bukan lagi untuk saling memenuhi kebutuhan, tetapi mendikte. Lalu, darah muda, apakah kamu mau diam saja? Move on dong!
Iya yah, hari gini anak muda Indonesia masih aja galau percintaan. Padahal masih banyak hal yang lebih penting digalauin. Kapitalisme, masalah serius itu! Kalau nggak peduli dan nggak ngerti, bisa habis kita diinjak.
Makanya dek Ken, move on dong! Hehe...
Siaaap! Cak Munir, balik lagi ke isu yang diangkat YFM, kedaulatan pangan. Coba jelaskan dengan simpel, kedaulatan pangan itu apa sih?
Sederhananya gini, kedaulatan pangan itu merujuk pada kondisi di mana masyarakat atau negara mampu berdaulat dan tidak tergantung pada kekuatan di luarnya akan produksi, konsumsi, serta ketersediaan dan distribusi pangannya.
Dari segi produksi mereka (masyarakat dan negara) mampu mengusahakannya sendiri. Tidak tergantung asupan dari luar, jenis komoditas apa yang harus ditanam dan dikonsumsi. Benihnya punya sendiri, bukan dari pabrik. Kedaulatan untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia pabrikan ini dilanjutkan dengan penggunaan bahan-bahan organik. Selain akan memberikan makna mendasar pada kedaulatan pangan, ia juga akan membuahkan arti pertanian yang berkelanjutan secara ekologis.
Terakhir, kedaulatan distribusi dapat diindikasikan dengan kemampuan masyarakat untuk memasarkan dan mengakses hasil-hasil produksinya, jalur-jalur yang dilalui, dan media-medianya (pasar). Fase-fase dalam jalur distribusi itu dapat diketahui secara fair oleh produsen sendiri, yakni petani-petani penghasil pangan.
Coba kita merenung, dari prasyarat di atas, apa yang sudah masyarakat dan negara kita penuhi?
Halah, harga kedelai impor naik aja kita sudah panik nggak bisa makan tempe. Kita belum berdaulat karena pemerintah kita tidak memproteksi pangan lokal dan tidak mendukung petani lokal.
Betul, dan kita nggak boleh diam saja atau pura-pura nggak tau. Indonesia itu kaya. Kaaayaaaaa banget. Kekayaan yang mestinya dapat menyejahterakan 230 juta jiwa, bukan untuk melayani segelintir orang serakah. Kemarin saat YFM Caravan, kami melakukan perjalanan darat Jawa-Bali dan singgah di 7 kota. Kami ketemu komunitas-komunitas lokal yang bergerak dan berjuang di ranah masing-masing.
Di Cirebon kami ketemu kelompok nelayan tradisional dan buruh migran. Kemudian di Semarang, Solo, dan Surabaya kami ketemu kelompok perempuan dan mahasiswa progresif yang juga meneriakkan kedaulatan pangan. Di Banyuwangi kami bertemu kelompok pecinta alam yang sedang kampanye menolak tambang emas karena merusak lingkungan. Dan di Bali kami disambut Forum Rakyat Bali yang sedang berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa demi kepentingan investasi.
Satu benang merahnya: mereka semua anak-anak muda. Kata mereka, ‘‘Kita tidak wajib untuk menang dalam setiap perjuangan. Tetapi kita wajib untuk tidak diam saat melihat penindasan dan kemungkaran.’’
Cak, aku jadi kepingin jadi petani, hehe... Kamu gimana, apakah bakal balik ke Blitar dan jadi petani berdaulat di sana?
Hehe… siap nyangkul ya? Entah di Blitar atau di manapun domisiliku, apapun profesiku nanti, aku tetap ingin bertani. Karena aku lahir dan dibesarkan dalam budaya agraris, budaya pedesaan.
Menjadi petani itu pekerjaan mulia lho. Kalo kepingin, ayo bareng YFM perlahan kita ubah image petani yang miskin, kucel, dan bau, menjadi petani itu ganteng-cantik, keren dan pintar. Aku lagi nyari lahan nih sekarang buat ngajak anak YFM belajar bercocok tanam. Sekitaran Jakarta aja. Nanti kamu harus ikut.
Ih syeddaaaapp! Bertani karena benar! Sekarang ini rencana kegiatan terdekat YFM apa?
Kita lagi belajar menulis, terutama peserta YFM Caravan kemarin. Kami punya banyak cerita yang ingin dibagi. Menulis itu penting, agar kritik dan ide kedaulatan pangan dapat ditularkan ke khalayak lebih luas.
Betul, aku setuju banget soal itu! Kata Subcomandante Marcos, our word is our weapon! Baiklah, terima kasih Cak Munir, tetap berkabar yah..
Sama-sama! Ingat ya, anak muda harus peduli pangan, food sovereignity!
**
Perbincangan dengan Cak Munir membuka mataku akan banyak hal, terutama soal betapa negara agraris ini ternyata tidak memproteksi petani lokal. Jadi kalau kita masih impor pangan, itu bukan karena petani kita nggak mampu memproduksi sendiri, melainkan karena ada kepentingan yang lebih besar dari oknum-oknum kapitalis pengeruk kekayaan, yang kepingin menjadikan Indonesia ini sebagai pasar. Mereka bersekongkol dengan pemerintah neoliberal untuk melucuti proteksi terhadap petani dan pangan lokal. Subsidi pupuk dikurangi, benih-benih dipatenkan, tanah dan lahan diserobot, rantai distribusi hasil tani carut-marut, tetapi keran impor dibuka lebar-lebar. Hasil produksi petani lokal bersaing mati-matian dengan produk impor yang lebih murah.
Jadi, apa lagi yang tersisa dari petani? Tidak ada.
Apakah kita akan diam saja? Baca, anak muda! Pahami bagaimana dunia bekerja, ambil cangkulmu, lalu jadilah petani yang pintar! Bertani karena benar!
Tenang sodara-sodara, jangan setres dulu. Kita akan bicarakan ini dengan santai. Aku perkenalkan Saiful Munir, cacakku dari Blitar yang sekarang lagi getol mengampanyekan gerakan anak muda peduli pangan, Youth Food Movement. Dengan cara bicara yang santun dan senyum manisnya Cak Munir, obrolan ini pasti akan jadi menyenangkan.
Haha… Ken, emang lamanya berapa bulan sii? Aku sekarang sedang bergiat di komunitas/organisasi anak muda yang peduli soal isu pangan. Namanya Youth Food Movement (YFM) Indonesia.
Apa tuh? Kok tumben kau nginggris? Haha..
Menurut temen-temen sih biar populer buat telinga anak-anak muda sekarang. YFM ini tempatnya anak-anak muda yang peduli dengan pangan lokal. Anggotanya ada musisi, pelajar, mahasiswa, pemuda tani, siapapun boleh gabung.
Memang kenapa dengan pangan lokal Cak?
Gini, kira-kira pada tau nggak ya, dari mana asal makanan yang tersedia di meja makan kita setiap hari?
Ya dari petani toh, kan mereka yang produksi bahan pangan?
Eitt… jangan buru-buru, coba kita selidiki petani mana yang memproduksi bahan pangan itu. Saat ini banyak produk pangan yang diimpor dari luar lho. Tanaman pangan yang dikembangkan negara-negara maju itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Mereka mengembangkan tanaman transgenik yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Terlebih, kita yang tinggal di kota besar ini seneng banget belanja di supermarket. Padahal, supermarket dengan seluruh jaringan ritelnya bisa mengubah gaya hidup manusia kota. Di sana isinya buah-buahan impor, daging, kentang, garam, dan makanan kemasan impor semuanya. Selain berdampak kepada gaya hidup tidak sehat karena makanan yang tidak fresh, dengan belanja produk impor di pasar modern kita juga bakal merugikan petani kecil yang memproduksi sayur dan buah lokal. Karena produk petani kita susah banget masuk ke supermarket.
Nggak mikir segitunya aku Cak…
Makanya kita musti tau dan support petani lokal dengan membeli produk pangan lokal di pasar tradisional. Isu pangan dan pertanian ini lekat sekali kaitannya. Yang menambah kita resah hari ini adalah kondisi pertanian kita yang mengalami aging (penuaan). Sensus BPS menunjukkan telah terjadi penurunan minat penduduk usia produktif untuk bekerja di sektor pertanian.
Pada tahun 2004 ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian atau 43,33% dari total penduduk Indonesia. Namun pada 2013, jumlah itu menyusut jadi 39,96 juta orang atau tinggal 35,05% saja. Lebih dari 50% orang yang bekerja di sektor pertanian kita berusia di atas 40 tahun. Bahkan presentase terbesar, yakni 12,33% petani kita adalah kelompok umur di atas 60 tahun.
Lha kalau nggak ada yang meneruskan bapak-bapak kita untuk mengelola lahan dan bertani, beberapa dekade ke depan kita makan apa dong ya?
Nah, menjawab keresahan itu, YFM dibentuk. Kami ingin mempertemukan pemuda-pemuda kota yang menjadi konsumen dengan pemuda tani di kampung (sebagai produsen pangan) untuk membangun kesadaran bersama tentang kedaulatan pangan. Cita-cita kami, bagaimana Indonesia ke depan dapat memenuhi pangan secara mandiri. Tidak lagi bergantung pada impor.
Ada twitternya ya? Aku udah follow donk @YFMovement!
Yak betul, terima kasih Dek Ken! Kami sadar betul, anak-anak muda pengguna social media itu banyak banget. Social media kami manfaatkan sebagai media kampanye, menyebarkan virus-virus kedaulatan pangan. Kita memang bisa melakukan hal-hal bodoh dengan social media, tapi ingat, dengannya kita juga dapat melakukan perubahan besar.
Nggak cuma kampanye on line, kita juga realisasikan dengan berbagai bentuk kegiatan seru. Misalnya kemarin kita bikin Youth Food Movement Camp. Sambil camping kita belajar isu pangan. YFM juga melakukan kampanye melalui musik. Juni 2013 lalu, kami menggandeng musisi dan seniman yang pro kedaulatan pangan untuk menggelar Konser Kedaulatan Pangan. Ada Fadly Padi, Navicula dari Bali, Jess Santiago dari Filipina, dan beberapa musisi lainnya. Seru.
Terakhir, kita memobilisasi para pegiat YFM di 7 kota dalam Youth Food Movement Caravan #EndWTO untuk menyikapi Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM 9 WTO) 3-6 Desember di Bali.
Youth Food Movement Camp |
World Trade Organization (WTO), organisasi yang mengurusi perdagangan di seluruh dunia. Keren ya. Tapi jangan dibayangkan WTO hanya mengurusi perdagangan barang saja. Sektor jasa, investasi, bahkan hak kekayaan intelektual juga diatur di dalamnya.
Kenapa sektor kesehatan, pendidikan, transportasi, dan pariwisata di Indonesia mahal? Ya, karena sektor-sektor di atas termasuk 4 dari 12 sektor jasa yang harus diprivatisasi dalam kerangka General Agreement on Trade in Services (perjanjian perdagangan jasa). Jangan heran kalau kamu lagi keliling Nusantara dan mendapati kerusakan lingkungan karena tambang dan reklamasi pantai. Karena Agreement on Trade Related Investment Measures (perjanjian terkait investasi) memfasilitasi juragan-juragan asing untuk berinvestasi besar-besaran di Indonesia dan mengeksploitasi kekayaan alam kita.
Kasus lain, ingat nggak waktu medio 2006, Pak Tukirin, petani pemulia tanaman dari Nganjuk dan Budi Purwo Utomo petani jagung dari Kediri dikriminalisasi karena tuduhan mencuri benih jagung hibrida PT BISI? Karena Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (perjanjian terkait hak kekayaan intelektual) memfasilitasi perusahaan-perusahaan benih raksasa mematenkan benih mereka. Sementara di saat yang sama, keanekaragaman benih lokal perlahan menghilang dari tangan petani.
Segitunya? Bahkan mereka mematenkan benih?
Ya, itulah yang terjadi. Makanya petani lokal jadi korban.
Sering dengar kan katanya kita ni negara agraris? Tapi akibat perdagangan bebas yang diatur WTO keran-keran impor dibuka lebar, termasuk di sektor pangan. Dampaknya, kita negeri agraris yang kaya ini dibanjiri bahan pangan dari luar dengan segala resikonya yang sudah kita bicarakan di atas tadi. Buah-buahan, kedelai, bawang putih, bahkan garam saja impor.
Padahal, petani-petani di dataran tinggi Dieng dan Pangalengan belum lelah menanam kentang kok. Jika diberi subsidi, petani-petani di Jawa pasti mampu memproduksi kedelai organik yang lebih sehat dari kedelai impor dari AS. Petani garam di Madura juga masih mampu memproduksi garam sendiri. Lha wong Indonesia ini sebagian besar wilayahnya laut kok, tanah kita juga subur, kita nggak akan kekurangan garam dan bahan pangan kalau petani lokal dilindungi dan didukung.
Suksesnya pertemuan Bali Desember lalu berarti Indonesia akan terus menjadi pasar dan surga investasi asing. Karena hari ini motif berdagang bukan lagi untuk saling memenuhi kebutuhan, tetapi mendikte. Lalu, darah muda, apakah kamu mau diam saja? Move on dong!
Iya yah, hari gini anak muda Indonesia masih aja galau percintaan. Padahal masih banyak hal yang lebih penting digalauin. Kapitalisme, masalah serius itu! Kalau nggak peduli dan nggak ngerti, bisa habis kita diinjak.
Makanya dek Ken, move on dong! Hehe...
Siaaap! Cak Munir, balik lagi ke isu yang diangkat YFM, kedaulatan pangan. Coba jelaskan dengan simpel, kedaulatan pangan itu apa sih?
Sederhananya gini, kedaulatan pangan itu merujuk pada kondisi di mana masyarakat atau negara mampu berdaulat dan tidak tergantung pada kekuatan di luarnya akan produksi, konsumsi, serta ketersediaan dan distribusi pangannya.
Dari segi produksi mereka (masyarakat dan negara) mampu mengusahakannya sendiri. Tidak tergantung asupan dari luar, jenis komoditas apa yang harus ditanam dan dikonsumsi. Benihnya punya sendiri, bukan dari pabrik. Kedaulatan untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia pabrikan ini dilanjutkan dengan penggunaan bahan-bahan organik. Selain akan memberikan makna mendasar pada kedaulatan pangan, ia juga akan membuahkan arti pertanian yang berkelanjutan secara ekologis.
Terakhir, kedaulatan distribusi dapat diindikasikan dengan kemampuan masyarakat untuk memasarkan dan mengakses hasil-hasil produksinya, jalur-jalur yang dilalui, dan media-medianya (pasar). Fase-fase dalam jalur distribusi itu dapat diketahui secara fair oleh produsen sendiri, yakni petani-petani penghasil pangan.
Coba kita merenung, dari prasyarat di atas, apa yang sudah masyarakat dan negara kita penuhi?
Halah, harga kedelai impor naik aja kita sudah panik nggak bisa makan tempe. Kita belum berdaulat karena pemerintah kita tidak memproteksi pangan lokal dan tidak mendukung petani lokal.
Betul, dan kita nggak boleh diam saja atau pura-pura nggak tau. Indonesia itu kaya. Kaaayaaaaa banget. Kekayaan yang mestinya dapat menyejahterakan 230 juta jiwa, bukan untuk melayani segelintir orang serakah. Kemarin saat YFM Caravan, kami melakukan perjalanan darat Jawa-Bali dan singgah di 7 kota. Kami ketemu komunitas-komunitas lokal yang bergerak dan berjuang di ranah masing-masing.
Di Cirebon kami ketemu kelompok nelayan tradisional dan buruh migran. Kemudian di Semarang, Solo, dan Surabaya kami ketemu kelompok perempuan dan mahasiswa progresif yang juga meneriakkan kedaulatan pangan. Di Banyuwangi kami bertemu kelompok pecinta alam yang sedang kampanye menolak tambang emas karena merusak lingkungan. Dan di Bali kami disambut Forum Rakyat Bali yang sedang berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa demi kepentingan investasi.
Satu benang merahnya: mereka semua anak-anak muda. Kata mereka, ‘‘Kita tidak wajib untuk menang dalam setiap perjuangan. Tetapi kita wajib untuk tidak diam saat melihat penindasan dan kemungkaran.’’
Cak, aku jadi kepingin jadi petani, hehe... Kamu gimana, apakah bakal balik ke Blitar dan jadi petani berdaulat di sana?
Hehe… siap nyangkul ya? Entah di Blitar atau di manapun domisiliku, apapun profesiku nanti, aku tetap ingin bertani. Karena aku lahir dan dibesarkan dalam budaya agraris, budaya pedesaan.
Menjadi petani itu pekerjaan mulia lho. Kalo kepingin, ayo bareng YFM perlahan kita ubah image petani yang miskin, kucel, dan bau, menjadi petani itu ganteng-cantik, keren dan pintar. Aku lagi nyari lahan nih sekarang buat ngajak anak YFM belajar bercocok tanam. Sekitaran Jakarta aja. Nanti kamu harus ikut.
Ih syeddaaaapp! Bertani karena benar! Sekarang ini rencana kegiatan terdekat YFM apa?
Kita lagi belajar menulis, terutama peserta YFM Caravan kemarin. Kami punya banyak cerita yang ingin dibagi. Menulis itu penting, agar kritik dan ide kedaulatan pangan dapat ditularkan ke khalayak lebih luas.
Betul, aku setuju banget soal itu! Kata Subcomandante Marcos, our word is our weapon! Baiklah, terima kasih Cak Munir, tetap berkabar yah..
Sama-sama! Ingat ya, anak muda harus peduli pangan, food sovereignity!
**
Perbincangan dengan Cak Munir membuka mataku akan banyak hal, terutama soal betapa negara agraris ini ternyata tidak memproteksi petani lokal. Jadi kalau kita masih impor pangan, itu bukan karena petani kita nggak mampu memproduksi sendiri, melainkan karena ada kepentingan yang lebih besar dari oknum-oknum kapitalis pengeruk kekayaan, yang kepingin menjadikan Indonesia ini sebagai pasar. Mereka bersekongkol dengan pemerintah neoliberal untuk melucuti proteksi terhadap petani dan pangan lokal. Subsidi pupuk dikurangi, benih-benih dipatenkan, tanah dan lahan diserobot, rantai distribusi hasil tani carut-marut, tetapi keran impor dibuka lebar-lebar. Hasil produksi petani lokal bersaing mati-matian dengan produk impor yang lebih murah.
Jadi, apa lagi yang tersisa dari petani? Tidak ada.
Apakah kita akan diam saja? Baca, anak muda! Pahami bagaimana dunia bekerja, ambil cangkulmu, lalu jadilah petani yang pintar! Bertani karena benar!
Komentar
Posting Komentar