Lelucon yang Tidak Lucu
Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan tidak pernah salah. Maka semua yang ia ciptakan, pastilah diciptakan dengan sebaik-baiknya, tanpa kecacatan. Ia menciptakan semua makhluknya dengan hikmah, yang terkadang kita tidak bisa memahaminya, malah menjadikannya sebagai lelucon.
Aku seringkali geram menyaksikan acara-acara lawak di televisi, yang menyajikan lelucon-lelucon konyol minim esensi. Pelawak kita, misalnya. Seringkali mereka mengambil bahan lawakan dengan karakter tertentu yang menurutku, mengejek, menghina, merendahkan kawan-kawan kita yang memang diciptakan berbeda dengan kita. Ada pelawak yang menghina orang tunarungu atau kurang pendengaran, dengan meniru dan menamai karakternya, Si Bolot. Ada pelawak yang menghina saudara-saudara kita yang memiliki kesulitan berbicara dengan meniru dan menamai karakternya, Si Gagap. Pernah juga seorang pelawak OVJ tampil dalam karakter yang cenderung menghina orang-orang yang memiliki kesulitan melihat, teman-temannya di panggung sering meneriakkan karakternya itu dengan sebutan, “Dasar picek lo ye!” Tak hanya itu, orang-orang pendek yang ditampilkan di televisi, kerap kali hanya menjadi objek lelucon.
Itu baru tentang penampilan fisik. Belum lagi lelucon-lelucon seperti, “Emang dasar lo cacat mental!” atau “Sumpah, lo autis sendiri deh!” atau "Ih ayan deh lo! Epilepsi lo ya?" yang amat sering kita dengar bukan hanya dari televisi, melainkan juga dari mulut candaan kawan-kawan kita sendiri. Artinya sebagian besar orang telah menganggap lelucon seperti itu sebagai sesuatu yang wajar. Padahal tanpa kita sadari, ada orang-orang yang tersakiti ketika kita membuat lelucon semacam itu.
Banyak kawan kita yang memiliki kerabat, atau bahkan yang terlahir dengan keadaan demikian. Tunarungu, kesulitan bicara, masalah penglihatan, orang pendek, keterbelakangan mental, autisme, epilepsi. Mereka tidak cacat, mereka hanya memiliki perbedaan yang mungkin hanya dimiliki sebagian kecil orang. Namun itu sama sekali bukan alasan untuk sebagian besar kita –yang merasa telah diciptakan Tuhan dengan fisik dan mental yang sempurna- untuk mengolok-olok, apalagi menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan. Buatku, itu sama sekali tidak lucu.
Betapa sombongnya kita, jika merasa diri lebih baik daripada mereka. Tuhan tidak salah menciptakan mereka seperti itu. Ada hikmah tersendiri yang Tuhan titipkan pada mereka, yang semestinya menjadi bahan renungan buat kita. Tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang terlahir dengan segala keterbatasan itu, malah memiliki semangat dan prestasi yang jauh lebih unggul daripada kita.
Sayangnya hal-hal seperti itu kerap luput dari kepekaan kita sebagai manusia. Kita seringkali tidak sadar, dan menjadikan apapun yang menurut kita berbeda dan lucu, sebagai bahan tertawaan. Bahkan kalaupun itu menyangkut keterbatasan seseorang, juga kaum marjinal. Iya, kaum marjinal. Kita tentu tak jarang mendengar atau melihat lelucon-lelucon tentang bencong, banci, waria, atau apapunlah yang keluar dari mulut kita tentang mereka. Kita nggak pernah tahu betapa berat pergulatan batin saudara-saudara kita yang seperti itu, merasa terjebak dalam tubuh yang tidak mereka kehendaki. Maka kita nggak berhak menghakimi, apalagi menjadikan mereka bahan olok-olok.
Aku pernah datang ke sebuah acara yang diadakan oleh sekelompok mahasiswa. Tiba saat break, ada sesi hiburan berupa penampilan-penampilan yang telah dipersiapkan panitia. Apa yang ditampilkan sebagai hiburan saat itu ternyata adalah pom-pom boys. Delapan orang mahasiswa (laki-laki) menari-nari genit menirukan gerakan wanita, dengan rok rumbai-rumbai dari tali rafia, dan, dua buah mangkok yang digantungkan di dada kanan-kiri mereka. Tanpa baju. Ceritanya mereka para waria yang berdandan menyerupai penari-penari Hawaii. Tapi kemudian dalam tariannya, mereka menampilkan gerakan-gerakan yang sangat menggangguku sebagai seorang perempuan. Mereka memegang mangkok tersebut dengan cara tertentu, memain-mainkannya hingga hadirin TERTAWA. Kecuali aku, tentu saja. Tanpa basa-basi, aku hampiri panitia dan menyatakan bahwa aku tidak setuju ketika kamu menjadikan kaum marjinal (waria, dalam hal ini), dan bagian tubuh perempuan sebagai lelucon. Kukatakan, pasti ada lelucon yang lebih cerdas daripada itu. Si panitia cuma bisa minta maaf.
Tertawa memang sehat, kawan. Tetapi tertawalah dengan cara yang sehat pula. Dengan cara yang tidak menyinggung orang lain. Humor memang perlu kawan, tapi ingatlah, humor adalah bagian dari seni. Seni itu bagian dari ilmu, maka ia harus dilakukan dengan cara yang cerdas. Seni pun bagian dari kehidupan manusia, maka jangan hilangkan kepekaan sosial. Sebentuk karya seni semestinya menghadirkan keindahan dan pencerahan, bukannya penghakiman dan penghinaan terhadap manusia lain.
Sekian.
Aku seringkali geram menyaksikan acara-acara lawak di televisi, yang menyajikan lelucon-lelucon konyol minim esensi. Pelawak kita, misalnya. Seringkali mereka mengambil bahan lawakan dengan karakter tertentu yang menurutku, mengejek, menghina, merendahkan kawan-kawan kita yang memang diciptakan berbeda dengan kita. Ada pelawak yang menghina orang tunarungu atau kurang pendengaran, dengan meniru dan menamai karakternya, Si Bolot. Ada pelawak yang menghina saudara-saudara kita yang memiliki kesulitan berbicara dengan meniru dan menamai karakternya, Si Gagap. Pernah juga seorang pelawak OVJ tampil dalam karakter yang cenderung menghina orang-orang yang memiliki kesulitan melihat, teman-temannya di panggung sering meneriakkan karakternya itu dengan sebutan, “Dasar picek lo ye!” Tak hanya itu, orang-orang pendek yang ditampilkan di televisi, kerap kali hanya menjadi objek lelucon.
Itu baru tentang penampilan fisik. Belum lagi lelucon-lelucon seperti, “Emang dasar lo cacat mental!” atau “Sumpah, lo autis sendiri deh!” atau "Ih ayan deh lo! Epilepsi lo ya?" yang amat sering kita dengar bukan hanya dari televisi, melainkan juga dari mulut candaan kawan-kawan kita sendiri. Artinya sebagian besar orang telah menganggap lelucon seperti itu sebagai sesuatu yang wajar. Padahal tanpa kita sadari, ada orang-orang yang tersakiti ketika kita membuat lelucon semacam itu.
Banyak kawan kita yang memiliki kerabat, atau bahkan yang terlahir dengan keadaan demikian. Tunarungu, kesulitan bicara, masalah penglihatan, orang pendek, keterbelakangan mental, autisme, epilepsi. Mereka tidak cacat, mereka hanya memiliki perbedaan yang mungkin hanya dimiliki sebagian kecil orang. Namun itu sama sekali bukan alasan untuk sebagian besar kita –yang merasa telah diciptakan Tuhan dengan fisik dan mental yang sempurna- untuk mengolok-olok, apalagi menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan. Buatku, itu sama sekali tidak lucu.
Betapa sombongnya kita, jika merasa diri lebih baik daripada mereka. Tuhan tidak salah menciptakan mereka seperti itu. Ada hikmah tersendiri yang Tuhan titipkan pada mereka, yang semestinya menjadi bahan renungan buat kita. Tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang terlahir dengan segala keterbatasan itu, malah memiliki semangat dan prestasi yang jauh lebih unggul daripada kita.
Sayangnya hal-hal seperti itu kerap luput dari kepekaan kita sebagai manusia. Kita seringkali tidak sadar, dan menjadikan apapun yang menurut kita berbeda dan lucu, sebagai bahan tertawaan. Bahkan kalaupun itu menyangkut keterbatasan seseorang, juga kaum marjinal. Iya, kaum marjinal. Kita tentu tak jarang mendengar atau melihat lelucon-lelucon tentang bencong, banci, waria, atau apapunlah yang keluar dari mulut kita tentang mereka. Kita nggak pernah tahu betapa berat pergulatan batin saudara-saudara kita yang seperti itu, merasa terjebak dalam tubuh yang tidak mereka kehendaki. Maka kita nggak berhak menghakimi, apalagi menjadikan mereka bahan olok-olok.
Aku pernah datang ke sebuah acara yang diadakan oleh sekelompok mahasiswa. Tiba saat break, ada sesi hiburan berupa penampilan-penampilan yang telah dipersiapkan panitia. Apa yang ditampilkan sebagai hiburan saat itu ternyata adalah pom-pom boys. Delapan orang mahasiswa (laki-laki) menari-nari genit menirukan gerakan wanita, dengan rok rumbai-rumbai dari tali rafia, dan, dua buah mangkok yang digantungkan di dada kanan-kiri mereka. Tanpa baju. Ceritanya mereka para waria yang berdandan menyerupai penari-penari Hawaii. Tapi kemudian dalam tariannya, mereka menampilkan gerakan-gerakan yang sangat menggangguku sebagai seorang perempuan. Mereka memegang mangkok tersebut dengan cara tertentu, memain-mainkannya hingga hadirin TERTAWA. Kecuali aku, tentu saja. Tanpa basa-basi, aku hampiri panitia dan menyatakan bahwa aku tidak setuju ketika kamu menjadikan kaum marjinal (waria, dalam hal ini), dan bagian tubuh perempuan sebagai lelucon. Kukatakan, pasti ada lelucon yang lebih cerdas daripada itu. Si panitia cuma bisa minta maaf.
Tertawa memang sehat, kawan. Tetapi tertawalah dengan cara yang sehat pula. Dengan cara yang tidak menyinggung orang lain. Humor memang perlu kawan, tapi ingatlah, humor adalah bagian dari seni. Seni itu bagian dari ilmu, maka ia harus dilakukan dengan cara yang cerdas. Seni pun bagian dari kehidupan manusia, maka jangan hilangkan kepekaan sosial. Sebentuk karya seni semestinya menghadirkan keindahan dan pencerahan, bukannya penghakiman dan penghinaan terhadap manusia lain.
Sekian.
humor menunjukkan peradaban.
BalasHapusmakanya saya lebih senang menonton sitcom luar negeri, seperti The Big Bang Theory dan How I Met Your Mother. selera humor dari luar negeri memang, tapi mestinya dijadikan contoh untuk bisa menciptakan lawakan yang lebih cerdas dan beradab.
humor menunjukkan tingkat peradaban.
tidak munafik jika sadar/tidak sadar saya juga sering berbicara seperti demikian, benar2 malu saya.
BalasHapuskak, ijin share link postingan ini yah, very nice blog >_<
BalasHapussering kali kelemahan seseorang menjadi bahan lelucon dan bahan olok-olokan seolah mereka yang mengolok adalah makhluk paling benar dan sempurna padahal semua itu diciptakan Tuhan. saya yakin ga ada koq yang mau "sial" dalam hidupnya ataupun menderita suatu "kekurangan".
BalasHapuslelucon sebagian besar pelawak Indonesia tidak cerdas, kasar, dan cenderung mengejek kekurangan fisik lawan/kawan mainnya, makanya saya tidak pernah menonton acara komedi seperti OVJ atau yg sejenisnya.
BalasHapusBetul...
HapusMakanya saya heran waktu banyak orang Indonesia sangat tergila-gila pada acara lelucon spt OVJ dan sejenisnya. Lelucon yang aneh dan tidak lucu.
terima kasih teman-teman atas opininya! senang mendengar teman-teman ternyata memiliki pendapat/kegelisahan seperti yang saya rasakan. terutama sekali tentang lelucon Olga di acara Dekade Trans kemarin tentang pemerkosaan perempuan. Jijik banget saya mendengar pelawak yang nggak pake otak (dan kepekaan sosial), seperti dia itu.
BalasHapusYa, semoga tulisan ini bisa mengingatkan kita semua untuk lebih berhati-hati lagi dalam berbicara.
Terima kasih atas perhatiannya!
nice posting... ijin share ya...
BalasHapussetuju banget.. makanya saya lebih milih Stand Up Comedy dibanding lawakan yang menghancur-hancurkan gabus.. dan olga menurut saya sama sekali gak ada lucunya. dr segi mana lucunya klu hanya bisa menghina kelemahan orang lain?
BalasHapusijin share di blog q ya? source link bakal di cantumin :)
saya gak pernah suka menonton acara lelucan di TV swasta Indonesia, karena tidak lucu dan tidak mendidik sama sekali. Terus terang, lelucon Olga itu membuat saya sangat marah dan semakin membenci acara lelucon ala Indonesia. Sungguh tidak manusiawi!! Saya tidak habis pikir masakan perkosaan dianggap masalah sepele. Mau diperkosa di hotel atau diangkot...perkosaan tetaplah masalah yang tidak dapat dianggap enteng!!
BalasHapusBener bgt tuh ken...Aq setuju bgt ama kmu...Aq jg ga suka org yg melecehkan org lain n menganggapnya lucu pdhal ga ada lucu2nya...Aq jg ga suka ama lelucon pelawak skrg yg menurut q ga lucu kok...Nice blog n Izin share y...Thanks a lot
BalasHapusIjin share ya.....
BalasHapusKebetulan sebelumnya juga nulis dengan judul yang sama walaupun isinya berbeda.. Silahkan mampir
http://enchantinghouri.wordpress.com/2011/12/14/lelucon-yang-tak-lucu/
sebagai guru sekaligus pemegang ekskul voli, kejadian di lapangan juga sering membuat saya harus mendidik peserta didik untuk lebih cerdas dalam menertawakan sesuatu, jatuhnya pemain atau terkena bola di bagian tertentu membuat saya harus menghentikan tawa mereka dengan komentar sinis "tidak lucu!"
BalasHapussudah saatnya kita lebih cerdas dalam memilah ekspresei
setujuu,,
BalasHapusizin share ya non...
bener, seringkali lelucon diniatkan untuk menunjukkan kedekatan n keakraban, akhirnya malah jadi bertengkar n jadi tindak pidana. Aq juga kurang suka komedi di tivi yang ngata2in orang lain, apalagi setelah punya anak autis mendengar ada orang menggunakan kata 'autis' seperti "dasar lo autis, sibuk sama bb mulu" sebagai banyolan rasanya keterlaluan.
BalasHapusTontonan (lawakan) di TV, hanyalah gejala yang nampak dari keadaan masyarakat kita. Ia ada di TV karena ada penggemarnya. Jika baik, berarti masyarakat kita adalah masyarakat yang baik yang menyukai hal yang baik. Jika buruk, berarti masyarakat kita mentolerir keburukan (jika terlalu kasar untuk dibilang menyukai). Faktanya, berapa banyak diantara kita yang suka dan bergembira membicarakan keburukan orang lain? Betul sekali kata sahabat Ken ini, sikap yang begini hanyalah bentuk kesombongan semata. Merasa diri lebih baik sehingga punya hak mentertawakan orang lain. Itu sebabnya Tuhan tidak menyukai perbuatan membicarakan keburukan orang lain. (Berarti yang mentertawakan "kekurangan" orang lain, lebih buruk lagi karena tidak sekedar membicarakan tetapi bahkan mentertawakan). Smoga kita semua terjaga selama hidup kita dari sikap yang demikian.
BalasHapus---- Sudilah mampir ke blog saya, teanology.wordpress.com
terima kasih atas apresiasinya, semoga ke depannya kita bisa lebih hati2 dlm berbicara ya, dan semoga kita punya tontonan televisi yang mendidik dan berkualitas :)
BalasHapus