Teknologi
Semakin hari perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi makin pesat saja. Makin canggih, makin aneh, makin makin lah! Perkembangan yang amat pesat ini tentu amat berpengaruh bagi kehidupan, pergaulan, bahkan status sosial manusia. Misalnya, kalau setahun yang lalu blackberry (BB) belum terlalu booming, kini kalau nggak punya BB dianggap kurang oke. Kalau dua tahun lalu twitter itu bukan apa-apa, kini kalau ngggak twitteran sudah dianggap nggak gaul (padahal, sumpah, sampai sekarang saya nggak ngerti apa pentingnya twitteran). Ya... banyak lah bentuk kecanggihan teknologi lainnya yang sedikit banyak bisa memengaruhi gaya hidup dan pola bersosialisasi pada manusia.
Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan atau meringankan pekerjaan manusia. Kalau konsep awalnya seperti itu, berarti sebetulnya kita (manusia) pun bisa hidup tanpa teknologi. Artinya ia bukanlah kebutuhan mendasar bagi manusia (ya iyalah). Tapi kemudian teknologi itu sendiri dapat menjadi bumerang jika sang manusia tidak bisa memanfaatkannya dengan baik dan bijak. Misalnya, manusia bisa jadi konsumtif sekali terhadap gadget-gadget dengan inovasi teknologi terbaru. Tiap ada yang lebih bagus, ganti ponsel. Tiap ada yang lebih canggih, ganti laptop. Daaaan...begitu seterusnya. Nah, kalau sudah begini kan, artinya perilaku si manusia itu sendiri yang malah dimanfaatkan oleh para produsen barang-barang itu.
Saya sendiri bukanlah seorang yang maniak gadget. Saya juga nggak update banget, nggak eksis banget dalam situs-situs jejaring sosial. Bukan karena saya nggak mampu beli, atau nggak gaoul, tapi ya... saya memang punya pertimbangan-pertimbangan tersendiri sebelum membeli suatu barang, atau sebelum memutuskan memasukkan informasi-informasi pribadi saya ke dalam suatu situs internet, yang saya sendiri tak pernah begitu paham sistemnya seperti apa. Yang jelas, saya ingin selalu berhati-hati.
Di balik gemerlap canggihnya teknologi, saya beberapa kali pernah mengalami hal yang dilematis, menyebalkan, ada juga yang membuat saya tersenyum pahit. Begini ceritanya.
Pada saat saya masih di semester 3 perkuliahan, saya mendapatkan mata kuliah Jurnalistik Foto. Kawan-kawan saya berbondong-bondong beli kamera Digital SLR. Macam-macam merknya. Mereka beli kamera yang harganya minimal 5 juta itu kayak beli kacang goreng aja, saya sampai melongo. Sementara saya cuma punya sebuah kamera saku digital biasa, merk Sony. Mupeng juga sih melihat kawan-kawan yang wara-wiri hunting foto dengan menggunakan kamera DSLR. Sedangkan saya? Hiks.
Sempat terpikir juga untuk minta dibelikan sama ortu. Kalau saya bilang, itu untuk kebutuhan mata kuliah Jurnalistik Foto, mereka pasti akan membelikan. Saya tahu itu, wong ortu saya juga nggak pelit kok sama anaknya. Tapi sebelum itu saya berpikir panjang, apakah saya benar-benar butuh kamera itu, atau sekadar kepengen? Saya harus bisa memikirkannya masak-masak, karena yang mau saya minta ini kamera seharga 7 jutaan, men! Bukan gorengan seribu tiga! Dan yang mau saya minta itu adalah sebuah gadget yang tergolong lebih canggih daripada kamera saku milik saya. Saya harus berpikir, apakah kelak saya akan bisa mengoperasikan semua fitur yang dimiliki kamera tersebut? Dan, apakah saya butuh dengan fitur-fitur canggih itu?
Setelah berpikir panjang, saya akhirnya meyakinkan diri, bahwa saya cuma kepengen, tapi belum butuh. Saya tidak yakin saya akan bisa mengoperasikan semua fitur canggih yang dimiliki kamera tersebut. Dan kalaupun bisa, saya tidak yakin akan bisa menggunakannya sesuai kebutuhan. Karena saya rasa, saya memang belum butuh pengaturan yang macem-macem kalau sekadar untuk foto-foto narsis, foto-foto pemandangan, atau foto-foto objek biasa. Sayang rasanya kamera secanggih dan semahal itu kalau tidak bisa digunakan secara optimal.
Lagi, saya berusaha meyakinkan diri bahwa fotografi bukan cuma tentang kamera yang keren, mahal, canggih, dan sebagainya. Masih banyak unsur dalam fotografi yang harus kita perhatikan: momen, komposisi, dan angle. Sebuah gambar harus punya cerita, cerita yang lebih banyak daripada kata-kata. Nah, tiga poin di atas lah yang paling menentukan. Kamera keren tapi nggak dapat momen yang cuma sepersekian detik, ya percuma. Kamera keren, tapi si pemotret nggak paham pengaturan komposisi dan angle, ya percuma juga. Okelah, kamera saya memang cuma 2 jutaan harganya, dan nggak keren-keren amat, cuma saya mau membuktikan bahwa saya bisa memahami teknik dan konsep fotografi.
Akhirnya, pada saat pengumpulan tugas, beberapa kali fotoku masuk kategori 5 foto terbaik versi dosen. Katanya, angle dan komposisinya pas. Foto yang mampu bercerita. Dia tanya, “Kamu pakai kamera apa?” kujawab, “Kamera Sony, Pak.” Ia bertanya lagi, “Digital SLR?” saya tersenyum, “Digital iya pak, SLR bukan. Cuma kamera saku biasa,” kataku sambil menunjukkan si kamera mungil itu. Dosenku tersenyum. Saya juga teringat pernah ikut kuliah jurnalistik foto bersama Arbain Rambey, mantan redaktur foto Kompas. Dia bilang, “Bagus-tidaknya suatu foto tidak terletak pada bagus-tidaknya kamera yang digunakan. Foto yang bagus itu konsepnya sudah ada dari sini,” katanya sambil menunjuk kepala. Kata-kata itu saya ingat terus.
Setelah semester 3 berakhir, mata kuliah jurnalistik foto pun usai. Beberapa kawan yang memang berminat fotografi masih tampak akrab dengan kameranya itu. Mereka hunting momen-momen bagus. Saya juga ikut senang melihat hasil-hasil fotonya. Tapi beberapa kawan lain, mulai terlihat meninggalkan kamera SLR mereka. Bahkan seorang kawan pernah bilang, sekarang kameranya jamuran di lemari. Ya ampuuun, kamera 7 jutaan itu? Hiks, sayang banget...
Itu cerita tentang kamera. Ada juga cerita lainnya, masih tentang kecanggihan teknologi. Kali ini agak menyebalkan. Tentang BB.
Beberapa hari yang lalu, pukul 9 pagi saya tiba di kampus. Ada kuliah. Saya biasa aja, wong yang saya tahu jadwalnya memang pukul 9 kok. sampai di depan ruangan, saya lihat pintu kelas sudah tertutup. Naluri, kawan saya, terlihat berdiri gelisah di depan pintu sambil mainin BB-nya. “Eh Ken, lo telat juga? Duh, gue telat bangun nih. Nggak boleh masuk.” Saya bingung, “Bukannya emang jadwalnya jam 9 ya?” Naluri bilang, “Enggak, semalam memang ada jarkom kok dari si ibu dosen via BBM (Blackberry Messenger), kalo hari ini masuk jam 8!” Whaaaat...?! BBM?! “Tapi gue nggak dapet jarkom!” saya mulai sewot. Ya iyalah, gue nggak punya BB! Nggak lama kemudian, Hani, Ami, Vinda, dan Agnes (semuanya adalah mahasiswa tanpa BB) datang dengan santai. “Tenang... masuknya jam 9 kan...” begitu mungkin mereka pikir.
Okelah, saya pikir, saya masih punya jatah bolos satu lagi untuk mata kuliah ini. eeeh nggak taunya, hari ini dihitung dua kali pertemuan, karena minggu depan nggak ada kuliah! Oh eff meeenn... jadilah saya dicoret dari mata kuliah itu karena absennya udah banyak banget. Kami masih mau coba ngomong sama dosen itu. Mudah-mudahan ia mau mengerti. Toh ini bukan salahku juga.
Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan atau meringankan pekerjaan manusia. Kalau konsep awalnya seperti itu, berarti sebetulnya kita (manusia) pun bisa hidup tanpa teknologi. Artinya ia bukanlah kebutuhan mendasar bagi manusia (ya iyalah). Tapi kemudian teknologi itu sendiri dapat menjadi bumerang jika sang manusia tidak bisa memanfaatkannya dengan baik dan bijak. Misalnya, manusia bisa jadi konsumtif sekali terhadap gadget-gadget dengan inovasi teknologi terbaru. Tiap ada yang lebih bagus, ganti ponsel. Tiap ada yang lebih canggih, ganti laptop. Daaaan...begitu seterusnya. Nah, kalau sudah begini kan, artinya perilaku si manusia itu sendiri yang malah dimanfaatkan oleh para produsen barang-barang itu.
Saya sendiri bukanlah seorang yang maniak gadget. Saya juga nggak update banget, nggak eksis banget dalam situs-situs jejaring sosial. Bukan karena saya nggak mampu beli, atau nggak gaoul, tapi ya... saya memang punya pertimbangan-pertimbangan tersendiri sebelum membeli suatu barang, atau sebelum memutuskan memasukkan informasi-informasi pribadi saya ke dalam suatu situs internet, yang saya sendiri tak pernah begitu paham sistemnya seperti apa. Yang jelas, saya ingin selalu berhati-hati.
Di balik gemerlap canggihnya teknologi, saya beberapa kali pernah mengalami hal yang dilematis, menyebalkan, ada juga yang membuat saya tersenyum pahit. Begini ceritanya.
Pada saat saya masih di semester 3 perkuliahan, saya mendapatkan mata kuliah Jurnalistik Foto. Kawan-kawan saya berbondong-bondong beli kamera Digital SLR. Macam-macam merknya. Mereka beli kamera yang harganya minimal 5 juta itu kayak beli kacang goreng aja, saya sampai melongo. Sementara saya cuma punya sebuah kamera saku digital biasa, merk Sony. Mupeng juga sih melihat kawan-kawan yang wara-wiri hunting foto dengan menggunakan kamera DSLR. Sedangkan saya? Hiks.
Sempat terpikir juga untuk minta dibelikan sama ortu. Kalau saya bilang, itu untuk kebutuhan mata kuliah Jurnalistik Foto, mereka pasti akan membelikan. Saya tahu itu, wong ortu saya juga nggak pelit kok sama anaknya. Tapi sebelum itu saya berpikir panjang, apakah saya benar-benar butuh kamera itu, atau sekadar kepengen? Saya harus bisa memikirkannya masak-masak, karena yang mau saya minta ini kamera seharga 7 jutaan, men! Bukan gorengan seribu tiga! Dan yang mau saya minta itu adalah sebuah gadget yang tergolong lebih canggih daripada kamera saku milik saya. Saya harus berpikir, apakah kelak saya akan bisa mengoperasikan semua fitur yang dimiliki kamera tersebut? Dan, apakah saya butuh dengan fitur-fitur canggih itu?
Setelah berpikir panjang, saya akhirnya meyakinkan diri, bahwa saya cuma kepengen, tapi belum butuh. Saya tidak yakin saya akan bisa mengoperasikan semua fitur canggih yang dimiliki kamera tersebut. Dan kalaupun bisa, saya tidak yakin akan bisa menggunakannya sesuai kebutuhan. Karena saya rasa, saya memang belum butuh pengaturan yang macem-macem kalau sekadar untuk foto-foto narsis, foto-foto pemandangan, atau foto-foto objek biasa. Sayang rasanya kamera secanggih dan semahal itu kalau tidak bisa digunakan secara optimal.
Lagi, saya berusaha meyakinkan diri bahwa fotografi bukan cuma tentang kamera yang keren, mahal, canggih, dan sebagainya. Masih banyak unsur dalam fotografi yang harus kita perhatikan: momen, komposisi, dan angle. Sebuah gambar harus punya cerita, cerita yang lebih banyak daripada kata-kata. Nah, tiga poin di atas lah yang paling menentukan. Kamera keren tapi nggak dapat momen yang cuma sepersekian detik, ya percuma. Kamera keren, tapi si pemotret nggak paham pengaturan komposisi dan angle, ya percuma juga. Okelah, kamera saya memang cuma 2 jutaan harganya, dan nggak keren-keren amat, cuma saya mau membuktikan bahwa saya bisa memahami teknik dan konsep fotografi.
Akhirnya, pada saat pengumpulan tugas, beberapa kali fotoku masuk kategori 5 foto terbaik versi dosen. Katanya, angle dan komposisinya pas. Foto yang mampu bercerita. Dia tanya, “Kamu pakai kamera apa?” kujawab, “Kamera Sony, Pak.” Ia bertanya lagi, “Digital SLR?” saya tersenyum, “Digital iya pak, SLR bukan. Cuma kamera saku biasa,” kataku sambil menunjukkan si kamera mungil itu. Dosenku tersenyum. Saya juga teringat pernah ikut kuliah jurnalistik foto bersama Arbain Rambey, mantan redaktur foto Kompas. Dia bilang, “Bagus-tidaknya suatu foto tidak terletak pada bagus-tidaknya kamera yang digunakan. Foto yang bagus itu konsepnya sudah ada dari sini,” katanya sambil menunjuk kepala. Kata-kata itu saya ingat terus.
Setelah semester 3 berakhir, mata kuliah jurnalistik foto pun usai. Beberapa kawan yang memang berminat fotografi masih tampak akrab dengan kameranya itu. Mereka hunting momen-momen bagus. Saya juga ikut senang melihat hasil-hasil fotonya. Tapi beberapa kawan lain, mulai terlihat meninggalkan kamera SLR mereka. Bahkan seorang kawan pernah bilang, sekarang kameranya jamuran di lemari. Ya ampuuun, kamera 7 jutaan itu? Hiks, sayang banget...
Itu cerita tentang kamera. Ada juga cerita lainnya, masih tentang kecanggihan teknologi. Kali ini agak menyebalkan. Tentang BB.
Beberapa hari yang lalu, pukul 9 pagi saya tiba di kampus. Ada kuliah. Saya biasa aja, wong yang saya tahu jadwalnya memang pukul 9 kok. sampai di depan ruangan, saya lihat pintu kelas sudah tertutup. Naluri, kawan saya, terlihat berdiri gelisah di depan pintu sambil mainin BB-nya. “Eh Ken, lo telat juga? Duh, gue telat bangun nih. Nggak boleh masuk.” Saya bingung, “Bukannya emang jadwalnya jam 9 ya?” Naluri bilang, “Enggak, semalam memang ada jarkom kok dari si ibu dosen via BBM (Blackberry Messenger), kalo hari ini masuk jam 8!” Whaaaat...?! BBM?! “Tapi gue nggak dapet jarkom!” saya mulai sewot. Ya iyalah, gue nggak punya BB! Nggak lama kemudian, Hani, Ami, Vinda, dan Agnes (semuanya adalah mahasiswa tanpa BB) datang dengan santai. “Tenang... masuknya jam 9 kan...” begitu mungkin mereka pikir.
Okelah, saya pikir, saya masih punya jatah bolos satu lagi untuk mata kuliah ini. eeeh nggak taunya, hari ini dihitung dua kali pertemuan, karena minggu depan nggak ada kuliah! Oh eff meeenn... jadilah saya dicoret dari mata kuliah itu karena absennya udah banyak banget. Kami masih mau coba ngomong sama dosen itu. Mudah-mudahan ia mau mengerti. Toh ini bukan salahku juga.
pertamax gan..
BalasHapussundul...huahahha...lucu ceritanya apalagi soal
cerita yg kamera jamuran itu... jleb banget,,hehehhe..ada soalnya di rumah...tapi kamera film sih...sisa kejayaan pradigital..