“The New Ruler of The World”

Sebelum membahas film ini, saya ingin sedikit bercerita. Saya tinggal di Kota Tangerang, sebuah kota yang selalu dibangga-banggakan sebagai salah satu pusat kegiatan industri terbesar di Indonesia. Saya mengalami sendiri bagaimana rasanya tinggal di kota industri ini. Setiap pukul 12 siang dan 4 sore, sejumlah ruas jalan selalu mengalami kemacetan, karena ribuan buruh keluar pabrik untuk beristirahat maupun pulang kerja.

Saya mengenal beberapa orang buruh, bahkan terdapat sejumlah sanak famili saya yang bekerja menjadi buruh. Salah satunya ialah Endang Fatmawati (29), kakak sepupu saya asal Klaten, Jawa Tengah yang mengadu nasib di Jakarta sejak tahun 1997. Semasa SMA, saya mengenal sosok Mbak Endang –begitu saya memanggilnya- sebagai murid yang cerdas dan berprestasi di sekolahnya. Setahun kemudian, ia berangkat ke Jakarta dan menetap di rumah saya.

Waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SD, sehingga memang masih banyak yang berusaha saya pahami. Setiap pagi, pagi-pagi sekali, saya terbangun ketika Mbak Endang membuka pintu rumah untuk berangkat kerja. Itu sekitar pukul 05.30 pagi. Mbak Endang pulang sore hari, sekitar pukul 17.30. Saya kerap bertanya, “Mbak masuk jam berapa? Ada istirahatnya nggak? Mbak kerjanya berdiri atau duduk?” Karena wajahnya selalu tampak begitu letih sesampainya di rumah. Mbak Endang bilang, ia masuk pukul 7, istirahat pukul 12, pulang pukul 4 sore, dan ia bekerja selama itu dalam keadaan berdiri! Apalagi kalau sedang mengejar ekspor, ia bisa lembur sampai pukul 9 malam. Hari Sabtu dan Minggu yang seharusnya libur pun, tak jarang ia masih masuk juga.

Sungguh tak terbayang oleh saya betapa letihnya ia. Sudah sedemikian diperas tenaganya, upah yang diterima sungguh tak sebanding. Pabrik tempat ia bekerja menggarap produk sepatu dengan merk terkenal: Adidas! Saya pernah iseng berkata, “Mbak, bawain aku sepatu Adidas-nya dong, sepasang aja!” Kemudian dengan lesu kakak saya itu berkata, “Teman Mbak pernah ada yang kedapatan membawa tali sepatu, ia langsung diberi hukuman, gajinya dikurangi beberapa hari.” Hanya TALI SEPATU, saudara-saudara!

Mbak Endang pernah juga membawa sepasang sepatu Adidas dari pabriknya untuk ayah saya. Tapi katanya, sepatu itu bukanlah produk kualitas terbaik, alias sedikit cacat. Jadi, hanya produk yang tidak lolos seleksi ekspor yang boleh dibawa pulang para buruh, itu pun pada waktu-waktu tertentu saja. Menjelang lebaran, misalnya.

Suatu hari saya berjalan-jalan ke Supermal Lippo Karawaci, saya iseng melihat-lihat sepatu bermerk, termasuk Adidas. Wah keren-keren sekali. Saya lihat bandrolnya, dan ternyata sepasang sepatu Adidas itu dihargai sampai hampir 1 juta rupiah! Kemudian saya teringat upah Mbak Endang dalam sebulan, yang pada waktu itu mungkin lebih kecil daripada harga sepasang sepatu itu. Padahal dalam sehari, dengan jam kerja yang ‘gila-gilaan’ tadi, Mbak Endang dan kawan-kawannya bisa menyelesaikan ratusan pasang sepatu mahal itu. Saya menelan ludah. Tak sampai hati saya membelinya.

Tak pelak, setelah menonton film dokumenter “The New Ruler of The World”, saya langsung teringat Mbak Endang, yang hingga kini masih banting tulang peras keringat sebagai buruh. Sudah lebih dari 10 tahun ia bekerja, tapi saya perhatikan, kesejahteraan keluarganya tak mengalami peningkatan berarti. Wajar saja, buruh bukanlah karier. Seorang buruh, akan terus jadi buruh. Tidak ada naik tingkat karier. Apalagi buruh yang telah berkeluarga, mengontrak rumah, ditambah harga berbagai barang kebutuhan pokok yang selalu menanjak. Untuk makan, memenuhi kebutuhan gizi keluarga saja masih pas-pasan.

Mungkin karena faktor kemiskinan dan angka pengangguran yang terus bertambah, sehingga para buruh seperti Mbak Endang mau bekerja apa saja, mau dibayar berapa saja. Perusahaan yang memperkerjakan mereka pun memanfaatkan hal ini tidak hanya untuk terus memeras tenaga mereka, tapi juga dengan terus menekan upah mereka. Hal ini jelas-jelas merupakan bentuk sistem kapitalisme yang menyengsarakan buruh. Mengapa orang-orang begitu bangga memujanya sebagai GLOBALISASI?

John Pilger sendiri dalam film dokumenter tersebut menyatakan bahwa globalisasi sama dengan pembunuhan massal terhadap jutaan orang, dalam hal ini buruh. Meskipun agak sedikit ekstrim, tapi pada kenyataannya memang negara-negara dunia ketiga terjebak dalam sistem yang membuat mereka tergantung kepada dunia barat. Inilah salah satu contoh nyata dari Teori Ketergantungan.

Suatu sistem di mana segelintir kelompok yang memiliki kekuatan finansial besar bisa mendominasi kelompok lainnya, merupakan salah satu bentuk globalisasi. Globalisasi diakui secara umum, bahwa negara-negara industri maju memperlakukan negara-negara satelit layaknya keset yang membersihkan kaki si empunya. Sehingga pendek kata, yang miskin semakin miskin, yang kaya pun semakin kaya.

Tepat seperti yantg dikatakan Andre Gunder Frank dalam bukunya Capitalism and Underdevelopment in Latin America, “Saya percaya, bersama Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakangan di masa sekarang.” Hal ini ditanggapi oleh Arif Budiman dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Menurutnya, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme.

Globalisasi yang menindas masyarakat negara-negara terbelakang juga terjadi di Indonesia. Namun saat ini setiap orang, termasuk para buruh, sudah tidak takut lagi berunjuk rasa. Pasca reformasi, kebebasan berbicara warga Indonesia mulai semakin terasa dan dihargai. Para buruh pun semakin sering berunjuk rasa menuntut hak-hak mereka. Hal ini menunjukkan betapa globalisasi (penindasan buruh) di Indonesia agaknya berjalan begitu mulus pada zaman Soeharto sehingga buruh-buruh itu sudah gerah setelah sekian lama menjadi keset bagi para kaum kapitalis.

Hal ini juga dibahas dalam dokumenter John Pilger, di mana Soeharto-lah yang dituding meminjam uang kepada IMF dan World Bank, yang berujung pada krisis moneter di Indonesia tahun 1997-1998. Pembangunan semu ini semakin menekan para buruh, ditandai dengan 70 juta rakyat Indonesia yang jatuh miskin. Negara-negara adidaya seperti Inggris dan Amerika Serikat yang membekingi IMF dan World Bank rupanya menganggap Indonesia sebagai lahan upeti terbesar di Asia. Rezim Soeharto pun tampaknya tak mau kalah dengan IMF dan World Bank. Selama 30 tahun, 1/3 pinjaman World Bank justru lari ke kantong-kantong kroni dan pejabat korup Soeharto.
Andre Gunder Frank dalam teorinya berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara-negara satelit (terbelakang). Paul Baran mendukung teori ini. Dalam rangka mencari keuntungan sebesar-besarnya, kaum borjuasi di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di sana (tuan tanah dan kaum pedagang).

Hal ini mengakibatkan munculnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Modal-modal asing dari perusahaan-perusahaan multinasional seperti Adidas, GAP, Old Navy, Reebok, dan sebagainya, disadari atau tidak, telah memperbudak bangsa kita. Mereka inilah yang menjadi penguasa baru dunia, The New Ruler of The World.

Bagaimana tidak? 200 perusahaan besar telah menguasai ¼ dari saham dunia. Ford pun kini menjadi lebih besar daripada Afrika Selatan. Inilah yang disebut dengan imperialisme jenis baru. Salah seorang Duta Besar Inggris menyatakan hal ini sebagai “tembakan kecil demi perubahan yang lebih baik”. ‘Tembakan kecil’ ini maksudnya tidak lain adalah pembantaian manusia (buruh). Ini merupakan bentuk sosialisme bagi si kaya, dan kapitalisme bagi si miskin.

Dalam keadaan seperti ini, menggalakkan pembangunan dengan memperkuat borjuasi di negara-negara satelit (seperti yang dilakukan Soeharto) merupakan usaha yang sia-sia, karena borjuasi tersebut hanya tergantung kapada modal asing. Muncul sebuah pertanyaan: mengapa pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa berhubungan dengan kekuatan asing? Sebenarnya bisa saja, namun hal ini sulit dilakukan.

Pertumbuhan ekonomi makro sebuah negara satelit (dalam hal ini keuntungan borjuasi lokal) akan lebih mudah dicapai kalau ekonomi negara tersebut dikaitkan dengan operasi modal asing. Selain itu, pasar dunia sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional sehingga jika negara satelit ingin mendapatkan pangsa pasar bagi produk mereka di pasar dunia, mereka harus berjuang mati-matian. Dan, belum tentu berhasil.

Inilah yang dibahas dalam Teori Ketergantungan, di mana negara-negara pinggiran begitu tergantung kepada pertumbuhan modal di negara-negara pusat. Butuh proses yang berat dan lama untuk bisa bebas dari belenggu ketergantungan ini. Blomstrom dan Hettne menyimpulkan beberapa hal tentang Teori Ketergantungan, yang intinya:
1. Keterbelakangan dipicu oleh faktor eksternal. Yang menjadi hambatan pembangunan bukanlah ketiadaan modal, melainkan pembagian kerja internasional.
2. Pembagian kerja internasional ini terbagi ke dalam dua kawasan, yakni pusat dan pinggiran. Surplus dari negara pinggiran mengalir ke pusat.
3. Akibat pengalihan surplus ini, negara-negara pinggiran kehilangan sumber utama yang dibutuhkan untuk pembangunannya. Pembangunan dan keterbelakangan merupakan akibat dari sebuah proses global, yakni sistem kapitalisme.
4. Teori Ketergantungan menganjurkan pemutusan hubungan dengan kapitalisme dunia, dan mulai menggerakkan pembangunan yang mandiri. Dibutuhkan perubahan politik yang revolusioner dan radikal, sehingga pembangunan akan terjadi melalui proses alamiah dalam masyarakat pinggiran.

Teori Ketergantungan ini sendiri mendapatkan tentangan dari Bill Warren. Menurutnya, negara-negara yang tergantung toh menunjukkan kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi dan proses industrialisasinya ke arah yang lebih mandiri. Bukti-bukti empiris yang dikumpulkannya menunjukkan bahwa prospek pembangunan kapitalis di negara-negara berkembang ternyata lebih baik.

Bukti-bukti empirik memperlihatkan bahwa setelah Perang Dunia ke-2, keterbelakangan adalah ilusi belaka. Bagi Warren, kapitalisme pasti akan berkembang di semua negara di dunia. Baru setelah mencapai titik jenuh, tahap perkembangan selanjutnya adalah sosialisme. Mungkin maksudnya sama seperti apa yang dikatakan seorang Duta Besar Inggris “tembakan kecil untuk menuju perubahan yang lebih baik.”

Tapi Teori Artikulasi yang dikembangkan oleh Claude Meillasoux dan Pierre Philippe Ray berpendapat lain lagi. Menurutnya, kapitalisme di negara-negara pinggiran karena adanya artikulasi unsur-unsur yang tidak efisien, banyak unsur penghambatnya. Kapitalisme yang dikembangkan secara murni pasti akan berhasil, tak peduli dia berkembang di negara pusat atau negara pinggiran. Muncul pertanyaan dalam benak saya, bagaimanakah bentuk sistem kapitalisme yang murni itu? Benarkah janjinya dalam menguatkan pembangunan akan berhasil? Haruskah ada “tumbal”-nya dulu?

Bagi saya, bangsa yang merdeka, bangsa yang maju tidak bisa dilihat dari aspek pembangunan fisik, baik secara politik maupun ekonominya saja. Satu hal yang paling penting, bangsa yang maju, manusianya juga harus maju! Bangsa yang merdeka manusianya juga harus merdeka! Apalah artinya gedung-gedung pencakar langit, hotel-hotel bintang lima, atau mall-mall besar, jika manusianya sendiri bahkan tidak bisa menikmati segala kemewahan itu. Apalah arti itu semua jika ternyata harus ada segelintir kaum buruh yang dijadikan keset kaki dalam pesta gengsi gede-gedean itu. Miris.

Tampaknya kita harus merujuk kepada bab pertama yang dibahas dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga-nya Arief Budiman. Dalam bab dasar tersebut disebutkan bahwa tolok ukur pembangunan yang berhasil bukan hanya dilihat dari segi tingkat produktivitas ekonomi suatu negara. Ada lima hal yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan: kekayaan rata-rata, pemerataan, kualitas kehidupan, kerusakan lingkungan, serta keadilan sosial dan kesinambungan.

Nah, masyarakat dengan jurang kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, apakah bisa disebut maju? Masyarakat dengan kualitas kehidupan dan pendidikan yang rendah, apakah sudah bisa disebut maju? Masyarakat yang tidak merasakan adanya keadilan sosial, apakah sudah bisa disebut maju? Kita tentu tidak bisa terkekeh-kekeh di atas tumpukan uang, sembari menutup mata, pura-pura tidak tahu bahwa di saat yang sama kita tengah menginjak-injak hak para buruh. Ya, bisa saja, seperti yang dikatakan Bill Warner, kapitalisme diperlukan untuk membangun sosialisme, sehingga perlu ‘tembakan kecil’ untuk menuju perubahan yang lebih baik. Tapi, sungguhkah kita sebagai manusia tega melakukannya? Mungkin terdengar agak klise. Tapi sungguh, saya tak habis pikir.

Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun