Apakah Ibu Bahagia?


Pernahkah kamu bertanya langsung pada ibumu, “Bu, apa yang ibu inginkan dariku sekarang?” atau “Apakah ibu bahagia dengan apa yang kulakukan saat ini?”

Kalau belum, coba tanya deh. Jawabannya sangat mungkin menguatkan, atau bahkan mengubah caramu memandang hidupmu saat ini.

Aku butuh waktu 22 tahun untuk mengesampingkan ego dan bertanya kepada ibu, apa yang ia inginkan dariku. Waktu itu aku masih mahasiswa tingkat akhir yang nyambi kerja sebagai reporter di sebuah biro harian ekonomi ternama. Lagi eneg-enegnya sama skripsi dan lagi seneng-senengnya sama kerjaan. Kerja itu enak, liputan, ketemu banyak orang, dapet uang gaji, dll. Skripsi buat apa? Selembar ijazah? Hmpf.

Ibuku sebenarnya mendukung saja aku bekerja. Ia juga tak pernah memberikan target kapan aku harus wisuda. Tapi ibu tetap sering bertanya, skripsinya udah sampe mana?

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bertanya langsung padanya.

“Ibu seneng nggak, aku kerja sekarang?”
“Seneng lah…”
“Ibu lebih pengen aku terusin kerja atau selesain kuliah?”
“Ya kalau bisa selesaikan dulu kuliahnya, sudah wisuda, dapat ijazah, kan insya Allah akan dapat pekerjaan yang jauh lebih baik.”
“Ibu pengen lihat aku wisuda ya?”
“Bukan gitu sih, Ibu cuma pengen kamu menyelesaikan apa yang udah kamu mulai. Sudah 4 tahun, tinggal skripsi, tanggung lho...”

Ibu ingin aku menyelesaikan kuliah.

Aku merenung, sudah 20 tahun lebih orangtuaku mengusahakan yang terbaik untuk membuatku bahagia, memenuhi semua keinginanku. Termasuk soal kuliah. Dulu aku yang pengen masuk Fikom Unpad, tapi mereka yang antar aku tes bolak-balik Tangerang-Bandung. Mereka yang membiayai semuanya, termasuk uang jajan bulanan. Semua itu adalah kebutuhan dan keinginanku, tetapi mereka yang berkorban. 

Aku nggak tau apakah aku masih punya waktu 20 tahun juga untuk membalasnya.

Sudah, cukup. Aku tak punya alasan lagi. Maka aku belajar mengesampingkan ego, kutinggalkan pekerjaan berprospek cerah yang sangat aku senangi itu. Aku berjuang menyelesaikan skripsiku, sendirian, dan cuma wajah kedua orang tuaku yang kubayangkan setiap kali aku begadang malam-malam. Aku ingin membahagiakan mereka.

Wisudaku

Sejak itulah setiap keputusan dalam hidupku selalu kuiringi dengan bertanya langsung, “Ibu senang nggak kalau aku begini?”

Bapakku sudah puluhan tahun bekerja di sebuah maskapai penerbangan ternama. Adalah sesuatu yang sangat wajar bagi kawan-kawan Bapak jika anaknya ikut diajak bekerja di situ. Aku sering ketemu om teman-teman Bapak, dan setelah mereka tahu aku jadi wartawan, biasanya langsung pada tanya, “Lho, kenapa nggak ikut Bapak aja? Atau kalo mau di tempat om, nanti om tanyain.”

Di sisi lain, aku memang sempet merasa nggak nyaman dengan tempat kerjaku. Rasanya adaaa aja yang pengen dikeluhkan.

Lalu beberapa hari yang lalu, aku bertanya lagi ke ibu, “Bu, apakah Ibu pengen aku kerja di tempat Bapak?”
Ibu agak kaget, terus bilang “Enggak kok. Sebenernya Ibu malah senang banget kamu kerja di tempatmu sekarang. Lingkungannya baik, kerjanya santai, dan kamu bisa belajar banyak. Ibu seneng!”
“Walaupun gajinya nggak sebesar di tempat Bapak? Walaupun nama perusahaannya nggak sekeren di tempat Bapak?”
Ibuku cuma tertawa. Itu pertanyaan yang tak perlu dijawab seorang Ibu.

Ya, bismillah. Aku akan jadi apapun yang kau inginkan, Bu.

Ibu tak pernah meminta banyak. Ibu tidak minta penghargaan, tidak minta gengsi, apalagi materi. Apa yang ia minta tak pernah macam-macam, hal-hal sederhana saja. Itu pun biasanya tidak dengan memaksa, yang nomor satu tetaplah kebahagiaan anaknya.

Masihkah berat bagi kita untuk mengesampingkan ego diri dan mulai bertanya, “Bu, bagaimana aku bisa membuatmu bahagia?”

Komentar

  1. Ah iken..
    Sama deh kayak mama aku.
    Waktu lg skripsi dan sambil kerja, mama aku juga bilang gitu
    "Skripsi selesaiin dulu, kerja bisa nanti kalau udah pegang ijazah", dan itu tuh yang bikin aku ngotot ikut sidang di Desember, dan akhirnya tepat 22 Desember, hari ibu hadiah besar untuk mama, aku sarjana. :D

    Oh lagi, dan ujungnya aku kluar jadi tempat kerja karena mama aku. Ego aku adalah jadi wartawan dan walaupun mama ikut ngedukung, tapi ini kayaknya saat untuk ngalahin ego sendiri dan bikin mama seneng. Kerja dengan jam kerja yang jelas, kayak kata mama "Mama cuma khawatir kamu jadi wartawan sering banget pulang liputan tengah malem, nggak aman buat anak perempuan."

    BalasHapus
  2. OM TANTE, KAPAN SAYA DIAJAK MUDIFAH BARENG IKEN LAGIII??!!!

    BalasHapus
  3. nanti kalau udah di darat ditunggu di rumah ya mbe

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Wied Harry Apriadji: Puasa itu Mengikuti Kesederhanaan Nabi

DNS Nawala, Pendekar Dunia Maya Indonesia

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Menyusui Pasca Operasi Payudara