Belajarlah dari Blitar!
Matahari mulai condong ke barat saat aku dan Uphay meninggalkan kompleks makam. Di antara sekian banyak pintu di kompleks makam ini, semua pengunjung tetap diarahkan ke satu pintu keluar yang berada di sebelah utara makam Soekarno. Nggak boleh keluar lewat pintu lain. Kenapa ya?
Nah, rupanya inilah cara pemerintah kota Blitar menata tempat pariwisata, sekaligus menghidupkan perekonomian masyarakatnya. Karena melalui pintu tersebut, sebelum keluar kita akan disambut oleh puluhan pedagang di pasar oleh-oleh yang berjejer rapi di sepanjang pintu keluar. Seperti pasar oleh-oleh yang ada di sepanjang jalan keluar dari Candi Borobudur di Magelang gitu deh. Ya, seperti itu bentuknya, namun barang-barang yang dijual memang jauh lebih sedikit dan lebih sederhana. Ada berbagai kerajinan kayu, kaos-kaos bergambar Soekarno, penganan khas, serta beragam batik. Potensi yang sederhana, namun dimaksimalkan.
Di ujung jalan, puluhan becak pariwisata sudah menunggu.
Wah… kupikir ini adalah contoh yang baik dari perencanaan sebuah kota. Di mana pengembangan sektor pariwisata dijalankan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pariwisata lancar, perekonomian rakyat juga berjalan dengan seimbang. Sehingga meski didatangi ratusan, mungkin ribuan turis setiap harinya, kota ini tetap tidak kehilangan identitas.
Aku dan Uphay kembali menaiki becak yang akan mengantar kami ke halte tempat menunggu bus arah Malang. Kami menikmati sore di Blitar yang indah dan nyaman dari atas becak. Tak banyak kendaraan bermotor, tak banyak polusi. Anak-anak kecil tampak bersepeda dengan riang di jalanan kota yang bersih dan rapi. Tampak beberapa petani juga mengayuh sepeda membawa karung-karung beras hasil panen.
Menariknya, para pengguna sepeda ini tetap taat peraturan lalu lintas lho! Kalau lampu lintas menyala merah, mereka serempak berhenti, meskipun arus kendaraan dari arah berlawanan sebetulnya tak terlalu ramai. Hebat ya! Beda sekali dengan di Jakarta, lampu merah di jalanan ramai sekalipun sering diterobos oleh para pengendara kendaraan bermotor!
Hmm… aku juga jadi teringat cerita Cak Ipung tentang kebersahajaan masyarakat Blitar. Cak Ipung kan asli Blitar. Katanya, kalau sawah milik keluarganya sudah panen, meski berlebih hasil panennya nggak untuk dijual. Lantas dikemanain? “Ya buat makan sendiri, dan bagi-bagi juga ke tetangga,” tuturnya. Cak Ipung juga punya 11 batang pohon rambutan di rumahnya sana, kalau lagi musim bisa sampai menggunung tuh rambutan. Itu juga untuk dimakan bersama-sama tetangga. Sebaliknya, kalau pohon jambu tetangga lagi berbuah lebat, semua pun akan menikmati.
Enak yah hidup kayak gitu. Kebersahajaan yang memupuk persaudaraan. Nggak seperti orang-orang di perkotaan yang cenderung individualis dan sibuk memperkaya diri sendiri.
Ah ya, banyak sekali yang bisa dipelajari dari kota kecil nan damai ini. Aku punya usul deh untuk para anggota DPR RI yang terhormat. Daripada buang-buang duit rakyat untuk ‘studi banding’ geje (gak jelas) ke Spanyol, Yunani, Amerika Serikat, dan Australia, mending ke sini aja deh. Ke Blitar.
Banyak loh yang bisa dipelajari di sini. Perhatikan bagaimana pemerintah setempat memaksimalkan segala potensi yang ada di daerahnya. Bagaimana roda perekonomian rakyat digerakkan demi kesejahteraan. Bagaimana transportasi tradisional seperti becak dan penganan sederhana seperti pecel justru dijadikan primadona. Dan lihat, bagaimana rakyat di sini amat menghargai sejarah.
Oh ya, kalau mau studi bener-bener ke sini, jangan naek pesawat atau mobil dinas Anda pak! Naek Matarmaja aja! Atau minimal naek Penataran deh dari Surabaya. Biar Anda-Anda ini jadi tau sendiri penderitaan rakyat di angkutan transportasi massal yang nggak keurus itu. Sekali-kali lah Pak, Bu, lihat dengar dan rasakan apa yang dirasakan oleh rakyat kecil setiap hari. Jangan sibuk ngototin gedung baru melulu.
Belajar tak mesti jauh ke luar negeri, Pak, Bu. Di dalam negeri sendiri pun sebenarnya masih banyak kok sistem yang sudah bagus. Blitar dan Solo contohnya, dua kota kecil menurut saya sudah mampu memaksimalkan segala potensi mereka. Bisa dipelajari dan dicontoh.
Denger usul saya ini ya para anggota dewan yang terhormat. Rasakanlah sensasi naik Matarmaja atau Penataran, lalu datang dan lihat sendiri Kota Blitar yang tentram. Sekalian ziarah dan minta maaf kalian sama Bung Karno, sudah menodai negeri yang beliau bangun ini dengan perilaku kalian yang selama ini nggak mencerminkan watak penyambung lidah rakyat. Mudah-mudahan bertaubatlah kalian setelah itu. Amin.
***
Nah, rupanya inilah cara pemerintah kota Blitar menata tempat pariwisata, sekaligus menghidupkan perekonomian masyarakatnya. Karena melalui pintu tersebut, sebelum keluar kita akan disambut oleh puluhan pedagang di pasar oleh-oleh yang berjejer rapi di sepanjang pintu keluar. Seperti pasar oleh-oleh yang ada di sepanjang jalan keluar dari Candi Borobudur di Magelang gitu deh. Ya, seperti itu bentuknya, namun barang-barang yang dijual memang jauh lebih sedikit dan lebih sederhana. Ada berbagai kerajinan kayu, kaos-kaos bergambar Soekarno, penganan khas, serta beragam batik. Potensi yang sederhana, namun dimaksimalkan.
Di ujung jalan, puluhan becak pariwisata sudah menunggu.
Wah… kupikir ini adalah contoh yang baik dari perencanaan sebuah kota. Di mana pengembangan sektor pariwisata dijalankan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pariwisata lancar, perekonomian rakyat juga berjalan dengan seimbang. Sehingga meski didatangi ratusan, mungkin ribuan turis setiap harinya, kota ini tetap tidak kehilangan identitas.
Aku dan Uphay kembali menaiki becak yang akan mengantar kami ke halte tempat menunggu bus arah Malang. Kami menikmati sore di Blitar yang indah dan nyaman dari atas becak. Tak banyak kendaraan bermotor, tak banyak polusi. Anak-anak kecil tampak bersepeda dengan riang di jalanan kota yang bersih dan rapi. Tampak beberapa petani juga mengayuh sepeda membawa karung-karung beras hasil panen.
Menariknya, para pengguna sepeda ini tetap taat peraturan lalu lintas lho! Kalau lampu lintas menyala merah, mereka serempak berhenti, meskipun arus kendaraan dari arah berlawanan sebetulnya tak terlalu ramai. Hebat ya! Beda sekali dengan di Jakarta, lampu merah di jalanan ramai sekalipun sering diterobos oleh para pengendara kendaraan bermotor!
Hmm… aku juga jadi teringat cerita Cak Ipung tentang kebersahajaan masyarakat Blitar. Cak Ipung kan asli Blitar. Katanya, kalau sawah milik keluarganya sudah panen, meski berlebih hasil panennya nggak untuk dijual. Lantas dikemanain? “Ya buat makan sendiri, dan bagi-bagi juga ke tetangga,” tuturnya. Cak Ipung juga punya 11 batang pohon rambutan di rumahnya sana, kalau lagi musim bisa sampai menggunung tuh rambutan. Itu juga untuk dimakan bersama-sama tetangga. Sebaliknya, kalau pohon jambu tetangga lagi berbuah lebat, semua pun akan menikmati.
Enak yah hidup kayak gitu. Kebersahajaan yang memupuk persaudaraan. Nggak seperti orang-orang di perkotaan yang cenderung individualis dan sibuk memperkaya diri sendiri.
Ah ya, banyak sekali yang bisa dipelajari dari kota kecil nan damai ini. Aku punya usul deh untuk para anggota DPR RI yang terhormat. Daripada buang-buang duit rakyat untuk ‘studi banding’ geje (gak jelas) ke Spanyol, Yunani, Amerika Serikat, dan Australia, mending ke sini aja deh. Ke Blitar.
Banyak loh yang bisa dipelajari di sini. Perhatikan bagaimana pemerintah setempat memaksimalkan segala potensi yang ada di daerahnya. Bagaimana roda perekonomian rakyat digerakkan demi kesejahteraan. Bagaimana transportasi tradisional seperti becak dan penganan sederhana seperti pecel justru dijadikan primadona. Dan lihat, bagaimana rakyat di sini amat menghargai sejarah.
Oh ya, kalau mau studi bener-bener ke sini, jangan naek pesawat atau mobil dinas Anda pak! Naek Matarmaja aja! Atau minimal naek Penataran deh dari Surabaya. Biar Anda-Anda ini jadi tau sendiri penderitaan rakyat di angkutan transportasi massal yang nggak keurus itu. Sekali-kali lah Pak, Bu, lihat dengar dan rasakan apa yang dirasakan oleh rakyat kecil setiap hari. Jangan sibuk ngototin gedung baru melulu.
Belajar tak mesti jauh ke luar negeri, Pak, Bu. Di dalam negeri sendiri pun sebenarnya masih banyak kok sistem yang sudah bagus. Blitar dan Solo contohnya, dua kota kecil menurut saya sudah mampu memaksimalkan segala potensi mereka. Bisa dipelajari dan dicontoh.
Denger usul saya ini ya para anggota dewan yang terhormat. Rasakanlah sensasi naik Matarmaja atau Penataran, lalu datang dan lihat sendiri Kota Blitar yang tentram. Sekalian ziarah dan minta maaf kalian sama Bung Karno, sudah menodai negeri yang beliau bangun ini dengan perilaku kalian yang selama ini nggak mencerminkan watak penyambung lidah rakyat. Mudah-mudahan bertaubatlah kalian setelah itu. Amin.
***
Komentar
Posting Komentar