Ali's Birth Story


Perempuan kerap diidentikkan sebagai makhluk lemah. Katanya laki-laki yang superior dan lebih kuat. Tapi setelah mengalami sendiri peristiwa hamil dan melahirkan, aku bisa bilang, bahwa setiap perempuan itu luar biasa. Me-manage berjuta rasa sakit, berdamai dengan tubuhnya sendiri dan berjuang bertahan demi mengantarkan sebuah kehidupan baru. Labor might be the most powerful experience a woman could have.
                Aku sudah cuti sejak 16 Mei, dan pulang ke rumah ibu di Tangerang. Abang pulang setiap Jumat sore dan balik ke Jakarta lagi Senin pagi. Buatku yang biasa beraktivitas, menunggu hari demi hari kelahiran si baby di rumah kayaknya lamaaa banget. Hamil tua tuh serba ngga enak rasanya. Gerah, sakit pinggang, sakit punggung, selangkangan, pipis melulu, payudara nyeri, huahhh you name it all! Galaunya nungguin bayi lahir tuh ternyata lebih daripada galau apapun. Apalagi kalau temen-temen seperhamilan satu per satu udah pada melahirkan. Trus orang-orang pada kepo nanya, “Ken udah lahiran belum?” atau “Kok Ken belum lahiran juga?” Hiks,, Emang sih berdasarkan HPHT, perkiraan si bayi lahir 26 Mei. Tapi berdasarkan USG, kata dokter HPL ku 2 Juni. Tetep ajah galauuu…
                Walaupun selama ini selalu cek kandungan rutin ke dokter (aku periksa di RS Evasari Rawamangun), tapi aku memang udah niat inginnya melahirkan di bidan dekat rumah yang direkomendasikan ibuku. Klinik Bidan Yohanna, bidan delima, hanya 5 menit naik motor dari rumahku. Kata ibu di sana bidannya sabar banget dan ibuku udah dua kali nemenin orang lahiran di sana. Aku ingin banget melahirkan normal, udah bulet tekad. Entah ya, kalau di RS tuh akunya parno duluan, hehe… Ngebayangin masuk ruangan bau obat, pake baju khusus, trus banyak lampu, trus sama dokter n perawat yang mungkin asing, trus ngga tau juga apakah ibu dan Abang boleh nemenin di dalam. Terus persepsi melahirkan di “rumah sakit” malah bikin sugesti negatif di otakku. Aku kan nggak sakit, aku cuma mau melahirkan. Lebay ya parnonya, hahaha… Intinya aku lebih percaya melahirkan di bidan. Beberapa kali kunjungan ke sana, aku langsung akrab sama Mbak bidan dan suasana klinik yang rumahan banget juga membuatku nyaman.

Rabu, 27 Mei 2015
Bangun tidur, aku menemukan bercak darah di sprei dan bajuku. Warnanya merah tua. Tapi aku belum mules, dan masih bisa beraktivitas seperti biasa. Barulah siang, aku mulai merasakan sensasi aneh di perutku. Kata orang, kontraksi rasanya seperti sakit mens, aku nggak pernah sakit mens jadi nggak tau. Pokoknya ngga enak, datang dan pergi makin sore makin terasa tapi masih bisa ku-handle.
                Sore, aku ke bidan. Masih fase awal banget katanya. Janin juga masih jauh di atas. Tapi semua OK, jadi aku dipersilakan pulang lagi. Disuruh sabar, katanya anak pertama biasanya agak lama dan itu sangat wajar. Baiklah…
                Malam harinya, kontraksi kian terasa menguat. Aku jalan kaki bolak balik depan-belakang rumah, kalau capek aku duduk di atas birthing ball sambil goyang inul. Kedua aktivitas ini memang disarankan untuk mempersingkat fase awal persalinan. Walaupun rasa sakit masih bisa kuatasi, duh itu rasanya selangkangan udah kayak mau jebol. Aku ngerasa banget si baby ngusel-ngusel. Jelas, aku nggak bisa tidur nyenyak malam itu. Rasanya nano-nano. Menjelang pagi baru bisa tidur itupun karena kecapekan.

Kamis, 28 Mei 2015
Kontraksi makin terasa tapi mau-mau enggak-enggak. Sering, lama, tapi belum sakit banget. Kata ibu, kalau mau lahir itu sakitnya sakit banget kamu nggak bakalan bisa ngomong atau makan atau ngapa-ngapain. Segitunya kah?? Hiks. Aku masih bisa makan, masih santai ngomong, masih bisa tidur, jadi kata ibu ya lakukanlah selagi bisa.
Flek darah makin banyak, semakin sore kontraksi semakin intens. Aku ke bidan lagi, saking penasaran. Dicek, baru mau pembukaan dua. Yampun Tuhan… satu hari satu pembukaan. Kata bidan, ke sini lagi kalau mulesnya udah 5 menit sekali atau jika ketuban pecah. Selama ketuban belum pecah, lebih baik kulewatkan di rumah sambil SABAR. Kata yang selalu diucapkan Mbak Bidan: SABAR. Baiklah. Hari itu juga aku menyadari kolostrum sudah menetes keluar dari payudaraku. Alhamdulillah, dek nih mimiknya udah siap, ayok kamu cepat keluar…
Alhamdulillah malam itu Abang pulang dan bilang, dia ambil cuti besok. Aku sangat bersyukur nggak harus melewati semuanya sendirian lagi karena malam itu kontraksi makin terasa mulai teratur, jedanya 10 menit sekali. Sakitnya masih bisa kuatasi dengan pernafasan perut. Tarik nafas dari hidung sampai perut terasa menggembung, lalu embuskan perlahan dari mulut sambil mengeluarkan suara “heeeeehh...” Kulakukan itu semua sambil meremas tangan Abang tentunya, haha… Sambil ngantuk-ngantuk, ia mencatat waktu kontraksiku. Bener-bener malam yang panjang. Kalau malam sebelumnya aku masih bisa solat tahajjud, malam ini udah nggak inget lagi. Lagipula, flek darahku sudah banyak dan aku tanya Ustz Herlini Amran, katanya aku sudah tidak wajib sholat.

Jumat, 29 Mei 2015
Aku agak drop hari ini. Udah ngga enak makan, ngga tidur semalaman. Mules? Jangan tanya, ya iyalah makin berasa! Ya Allah, aku udah mau nangis banget. Aku udah ngga bisa lagi jalan kaki atau duduk di birthing ball, cuma bisa tiduran sambil menikmati sensasi “gelombang cinta” ini. Hehe, iya, kontraksi ini kan datang akibat hormon cinta, hormon oksitosin, yang memicu rahim berkontraksi mengantarkan si dedek kian turun ke jalan lahir. Jadi sesakit apapun, kita sebut saja dia gelombang cinta, karena setiap gelombangnya insya Allah membawa kita kian dekat bertemu si kecil ^^
                Tapi aku ada feeling ngga enak. Aku masih merasakan gerakan janin yang aktif ngusel-ngusel. Tapi di sela dia ngusel-ngusel itu aku merasakan gerakan yang tidak biasa. Dudut. Dudut. Dudut. Gitu. Kayak yang nyangkut sesuatu atau apalah ya, pokoknya feeling-ku ngga enak.  Aku memejamkan mata, dan tiba-tiba kok aku teringat tali pusat. Waduh, apa iya si dedek susah turun karena tersangkut tali pusat? Huaaa…
                Aku selalu percaya bahwa tubuhku dan janin adalah kesatuan yang bisa saling mendengarkan dan merasakan. Jadi aku mencoba rileks dan berkomunikasi dengan janinku,”Dek, ayo Mama udah nggak sabar ingin ketemu kamu, insya Allah Mama siap. Terus turun ya, banyak yang udah nunggu kamu. Nih Ayah juga sudah pulang. Hati-hati ya dek terlilit tali pusat. Pelan-pelan aja, insya Allah Mama sabar…” Sambil ku visualisasikan si dedek dan tali pusatnya. “Tali pusat, kamu kan temennya dedek selama di dalam, baik-baik ya, aku titip tolong jaga si dedek dan antarkan dia ke jalan lahir. Mari kita bekerja sama yaa…”
                Kurasa kondisiku semakin drop di tengah kontraksi yang semakin huwow. Sore hari, aku muntah byorrr banyak banget di kasur. Habis deh makananku di dalam. Aku banyak-banyak minum air zamzam aja, kayaknya cuma itu yang masih terasa enak buatku. Ba’da maghrib, aku ke bidan lagi. Udah lemes, nggak bisa senyum, males ngomong, cuma bisa meringis. Tekanan darahku rendah, aku diminta makan selagi bisa, minum susu, dan aku dikasih obat anti mual. Dicek, baru pembukaan tiga. Aku nanya setengah memohon, Mbak bisa nggak diinduksi aja? Aku udah lemes banget…
                “Mbak Ken boleh kalau mau nginap di sini biar nggak bolak-balik ke rumah. Tapi Mbak nggak akan kita apa-apain. Diinduksi itu sakit loh. Semuanya bagus kok Mbak, detak jantung dedeknya masih normal, ketuban belum pecah, sabar aja ya itu dedeknya masih cari jalan. Sekarang mending Mbak pulang aja dulu, takut malah nggak nyaman di sini,”
                Walaupun sebenarnya di birth plan aku ingin persalinan normal tanpa intervensi apapun, tapi rasa sakit yang udah hari ketiga ini bener-bener membuatku goyah. Kayaknya kalau aku di RS dan ditawarin induksi atau sesar sekalipun, aku pasti mau. Idealisme ilang, yang ada hanyalah ingin semua rasa sakit cepat berakhir.  
                Bener aja, malam itu mules kian menjadi-jadi. Lewat tengah malam, aku nggak bisa lagi bicara. Sakit banget, ya perut, ya punggung. Ah luar biasa pokoknya. Setiap kontraksi berlangsung selama 5 menit, tapi dengan jeda 7 menit. Kata bidan aku baru ke sana kalau jedanya sudah 5 menit. Ya Allah! Aku masih berusaha keras mengatur nafas, supaya nggak fokus ke rasa sakitnya. Tetap dengan metode yang sama, pernafasan perut hirup dari hidung, keluarkan lewat mulut sambil bersuara “heeeehhh…”
                Sambil meremas tangan Abang, aku udah basah berkeringat. Alhamdulillah aku nggak sampai heboh nyakar-nyakar dia sih, hehe, kan katanya banyak yang begitu untuk mengekspresikan rasa sakit yang saking-saking. Mungkin juga karena aku sadar, aku udah nggak makan bener, energiku sedikit sedangkan aku tau persalinan semakin dekat, jadi aku sebisa mungkin hemat tenaga. Kalau sakit banget, aku lebih sering minta dielus-elus rambutnya atau diciumin, dan itu sangat-sangat-sangat membantuku melewati rasa sakit. Transfer energi positif yang saling menguatkan.  

Sabtu, 30 Mei 2015 
Jam 2 dini hari, aku udah nggak tahan sakitnya, meski kontraksi masih berjeda 7 menit tapi durasinya juga makin panjang, entah udah nggak ngitung lagi, mungkin 10 menit setiap kontraksi. Akhirnya ibu bangunin Niko, karena Bapak kerja malam. Niko sebenernya belum lancar bawa mobil, pake acara lupa lepas rem tangan segala, mati mesin berkali-kali, trus ada dahan pohon di kanan kiri diterabas aja sama dia saking nervous. Dek, pelan-pelan aja! “Mbak iken sih begitu!” Dia menyalahkan gue yang sedang mengerang-erang kesakitan.
                Sampai di bidan, ternyata aku sudah mau pembukaan 4. “Paling cepat subuh, sekarang istirahat aja dulu ya Mbak.” Turun dari tempat tidur, byooorrr aku muntah lagi, udah muntah kuning karena memang aku udah nggak makan apa-apa. “Abang, aku bisa nggak ya, aku lemas…” Kepercayaan diriku mulai menurun. Tapi ya gitu, suamiku selalu menguatkan karena dia tau betapa aku sangat ingin bisa melahirkan normal. Jauh-jauh hari saat bikin birth plan, aku memang udah berpesan ke dia, kalau aku mulai goyah, tolong kuatkan. Dan kalau aku udah nggak bisa berpikir lagi, semua keputusan ada di Abang, Abang yang paling tau kemauanku. Kayak adegannya Dumbledore waktu mau minum air dari cawan Horcrux. Dia pesen ke Harry, apapun yang terjadi, biarpun menyiksa, walaupun dia memohon kayak gimana, dia harus tetep minum airnya sampai habis. Gitu juga aku ke suamiku.
                Menit ke menit terasa lamaaaa sekali, kontraksi seolah datang tanpa jeda. Aku mulai kehilangan konsentrasi ngatur nafas. Abang membimbingku. Sempat sekali, aku kesal dan saking sakitnya, aku mukul dia tapi langsung ditegur sama ibu, nggak boleh begitu. Aku pun langsung eling dan minta dicium. Hadeh nggak keruan.
                Jam 4, aku ngerasa pengen pup. Bukan pengen pup biasa, ini tuh kayak sakit diare parah, mulesnya sampai melilit, rasanya bawah pengen jebol. Aku pengen ngeden, bu… Ibu bangunin bidan, dicek ternyata pembukaan 6. Ya Allah, 4 lagi menuju lengkap,, sampai kapan ini. Aku dipindah ke ruang bersalin, bidan masang infus, cairan IV karena aku sudah lemes banget dan ketuban sudah dikit banget walau belum pecah. Dan yang paling menyiksa adalah aku sudah sangat ingin ngeden tapi belum boleh lha wong belum pembukaan lengkap. Dibimbing Abang yang berada di samping kiriku dan nggak pernah kulepas tangannya, aku berusaha keras fokus atur nafas. Bunyinya udah nggak karuan deh. So primal. Selama active labor itu, aku cuma minum sebotol air zamzam pake sedotan. Ibuku di sebelah kanan, ngelus2 punggungku yang sakit luar biasa. Bidan standby di sebelah ibu untuk memantau perkembanganku.
                Jam 6, bukaan lengkap! Ya Allah! Finally! “Mbak Ken, dedeknya udah usaha semalaman sekarang tinggal Mbak Ken-nya. Kita di sini cuma bantu, tapi sekarang bener-bener usahanya Mbak sendiri ya,” kata Bidan Riska, yang menemaniku bersalin malam itu. Dia seumuran denganku, belum menikah tapi sabar banget n baik. Nggak lama, Bidan Yohanna pun datang. Bidan senior ini umurnya kira-kira 50-60 tahun, wajahnya khas orang Timur. Aku dibimbing cari posisi ngeden yang paling enak. Setengah duduk, aku pegang pergelangan kakiku sendiri. “Jangan merem ya, lihat ke perut, lihat perutnya ngempes. Ambil nafas dari hidung, trus kumpulkan tenaga buat dorong perut. Inget jangan merem!”
                One two three, push! Tiga kali ngeden, crowning! “Stop Mbak Ken, jangan ngeden dulu, tahan ya tahan,” Aku tahu banget Bidan Yohanna berusaha setenang mungkin saat dia bilang pelan ke anak-anak didiknya, “Ini ada lilitan tali pusat kencang di leher, nggak papa, jangan panik, kita keluarkan pelan-pelan yang penting ibunya rileks. Sebentar ya Mbak Ken…” Sementara itu ibu dan Abang udah mau pingsan ngeliatnya, hahaha…
                Tuh kan, feeling-ku bener, dudut dudut yang kurasakan itu memang bayiku tersangkut tali pusat. Mungkin juga itu salah satu alasan mengapa dia lama banget turun ke jalan lahir. Nggak lama, Bidan Yohanna bilang, “Mbak Ken, kumpulkan tenaga ya. Ini sekali ngeden harus keluar dedeknya. Yok, tarik nafas,” Aku nyedot air zamzamku, dan FFIUUUUHHH…!! Seketika bidan langsung ngangkat makhluk kebiruan yang langsung nangis kenceng. Abang langsung menjatuhkan kepala, kurasa dia bener-bener lemes, hihiy… Ibuku gak berenti2 nyebut Allah.
                Setelah dikeringkan sebentar, dikasih topi, dedek langsung diletakkan di atas dadaku untuk IMD. Tepat pukul 6.30 pagi dia lahir. Aku masih nggak percaya, ya Allah begini toh rupanya makhluk yang selama ini jedak jeduk di perutku. Plasenta pun dikeluarkan, kata Abang plasentaku besar banget, hahaha… Ya iyalah makan enak terus. Air ketuban bener-bener tinggal dikit, untunglah persalinan berjalan lancar ga pake lama lagi. Setelah plasenta keluar, tibalah saat yang paling menyebalkan, dijahit! Iya, aku memang di episiotomy, karena dedek terlilit tali pusat kenceng di leher sehingga ia harus dilahirkan cepat. Kata orang nggak berasa, ih apa-apaan angger weh nyeri! Tapi ya emang sih, rasa sakit seperti apapun rasanya bisa ku handle, dan nggak ada apa-apanya dibanding mules tiga hari yang dahsyat. Tiap merasakan sakit saat dijahit, aku mengalihkan perhatian ke makhluk kecil yang uget-uget di dadaku. Kayaknya mirip aku nih semua-muanya, hehe… Abang mencium keningku lega. Bidan bahkan memuji, “Suaminya hebat ya, suami siaga banget nemenin terus…” :-*
                Sukses IMD, sukses dijahit, si dedek segera diangkat sama bu bidan untuk ditimbang dan dikasih salep mata. Habis itu dibajuin n dibedong, nggak pakai dimandiin. Baru pas sorenya dia dimandiin. Bapakku baru pulang kerja, habis masuk malam, dia datang dan menciumku, selamat yaa… Hehe. Dia yang mengazankan Ali. Lalu aku diminta bangun pelan-pelan, ditanya apakah pusing, berkunang-kunang, lemas. I said, I am totally fine. Aku merasa sangat sehat. Aku pun turun dari tempat tidur dan jalan ke kamar perawatan sendiri, hehe…
                Sampai di kamar perawatan, aku langsung MAKAN! Gile boookk gue udah berapa hari nggak menikmati makan, saat itu kulahap semua roti, susu, teh manis, telor, nasi goreng, bengbeng, pisang, duh nggak inget lagi deh apa aja yang gue telen dan itu semua rasanya ENAK BANGET. Habis itu, nerima telepon dari saudara yang ngucapin selamat, terus langsung TIDUR. Lemas coy, abis gaspol. Si dedek tidur dengan damainya di box. Kami berdua kelelahan. Keesokan paginya, setelah diperiksa semua sama bidan and she said we’re OK, kami dijemput pulang. Semua-mua biayanya cuma 2,7 juta. Aku nginep di kamar kelas satu, makanannya enak-enak banget, cemilannya juga, dikasih bekal pembalut, pampers, udah mana bidannya bener-bener baik dan melayani banget. Alhamdulillah menurutku itu udah murah banget. Alhamdulillah ya Allah, bener-bener bersyukur bisa melahirkan normal.

***

Aku amaze sama diriku sendiri, udah mules tiga hari, muntah-muntah, tekanan darah rendah (tekanan darahku selama hamil gak pernah lebih dari 110/60), nggak makan apa-apa tapi aku masih bisa push bayi seberat 3,150 gram dan panjang 49 cm tanpa epidural, tanpa intervensi berlebihan. Air zamzam tuh emang mukjizat, jelang persalinan minum banyak-banyak deh. Ada temenku, saking ingin melahirkan normal tapi nggak tahan sakitnya, dia sampai dikasih morfin, ada juga yang dikasih gas apa itu yang bikin orang senang. Tapi kurasa Abang adalah morfinku *tsah ilah* beneran deh. Saranku, kalaulagi sakit banget, hematlah tenaga dengan tidak berteriak atau mukul/nyakar. Minta dielus rambutnya, dicium, dipeluk sama suamimu, itulah penghilang sakit yang sangat ampuh.
                Ibuku juga, aku sangat bersyukur punya ibu pinter yang mau terus belajar. Dari jauh-jauh hari, dia membaca buku-bukuku tentang hamil, IMD, ASI, bayi, sehingga dia tau mana yang mitos mana yang enggak. Dia ngasihtau aku begini-begitu, perpaduan antara pengalamannya dengan apa yang dia baca. Orang-orang bilang apa, aku cuma dengerin ibuku. Karena aku tau dia selalu benar. Dia selalu ngasih sugesti positif yang membuatku semangat.

                Here he is, Abraham Ali Ararya. Abraham itu dari aku, bapak dari tiga agama samawi. Lagipula sedari di dalam kandungan, dia selalu merespon aktif setiap kali kuperdengarkan surah Ibrahim. Ali, itu nama request dari ibu, dia suka sama Ali bin Abi Thalib. Anak kecil pertama yang masuk Islam. Suami yang penyayang, sahabat setia, petarung tangguh, pemuda yang santun, pintar, gerbangnya pengetahuan. Ararya, pemberian ayahnya. Dari bahasa Sanskrit, artinya orang yang disegani.  Suatu saat dia akan mencari tahu jati dirinya, bermula dari makna namanya. Dan aku ingin dia menemukan kisah-kisah seru di balik nama yang kami berikan untuknya. Tahun lalu, kami menikah tanggal 24 Mei, dan Ali hadir sebagai kado istimewa dari Allah di ulang tahun pertama pernikahan kami. Welcome to the world, boy!

Komentar

Baca juga...

Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Wied Harry Apriadji: Puasa itu Mengikuti Kesederhanaan Nabi

DNS Nawala, Pendekar Dunia Maya Indonesia

Merdeka dengan Hijab

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit