Hijab, Jilbab, Kerudung, apapun namanya

Hari ini temenku ada yang baru aja melepaskan jilbabnya. Dia juga sebenarnya belum lama sih pakai jilbab, baru beberapa bulan. Dalam salah satu tulisannya, ia mengaku gagal menyiapkan diri dan hati untuk berjilbab. Saya pribadi sangat menghargai keberaniannya untuk mengikuti kata hatinya, dan keberaniannya dalam menghadapi pandangan orang setelah ia buka jilbab. Ya, tahu sendiri lah masyarakat kita macam apa. Sedikit-sedikit dikomentarin, sedikit-sedikit digosipin. Saya yakin, hampir setiap perempuan berjilbab pasti pernah merasakan keraguan, kejenuhan dalam memakai jilbab. Biar sedikit, tapi pasti pernah. Dan saya menghargai kawan saya ini dalam membuat keputusan yang berani.

Sebelum membicarakan jilbab lebih jauh, saya ingin menyamakan persepsi dulu. Jilbab yang saya maksud di sini adalah kain penutup kepala yang dikenakan perempuan muslimah. Banyak variasi mengenakan jilbab, tapi umumnya jilbab digunakan untuk menutupi rambut, kepala, dan diuraikan sampai menutupi leher dan dada. Bahasa islami-nya, menutup aurat.

Memang sebetulnya kalau mau benar-benar pakai jilbab, banyak konsekuensinya. Karena ketika kita sudah memakainya, jilbab itu secara otomatis menjadi identitas diri sebagai seorang muslimah. Tanpa lihat KTP, orang bisa tahu kita perempuan muslim hanya dengan melihat kita mengenakan jilbab. Dengan begitu, orang akan segera mengidentikkan kita dengan sifat-sifat dan perilaku islami. Misalnya, perempuan berjilbab tak lazim bicara atau ketawa keras-keras, perempuan berjilbab tidak pacaran, perempuan berjilbab tidak merokok, perempuan berjilbab rajin solat, dan begitu seterusnya.

Yah tidak salah juga sih pandangan seperti itu. Dan tidak salah juga orang yang mencoba mengenakan jilbab untuk meredam perilakunya yang selama ini mungkin dirasa kurang islami. Dengan mengenakan jilbab, ia merasa ada “polisi moral” yang secara tidak langsung melarangnya untuk melakukan hal-hal di luar batas keislaman.

Saya pikir ada dua pendapat perihal masalah pemakaian jilbab pada perempuan muslimah. Pertama, pendapat yang mengatakan, “Apa yang menghalangimu untuk segera berjilbab? Itu sudah tertulis jelas dalam Al-Qur’an sebagai perintah Allah untuk kaum perempuan. Pakai saja dulu, kalau sudah pakai jilbab, insya Allah kau akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan hidayah (baca: memperbaiki perilaku, dari yang kurang islami menuju perilaku islami)...”

Kedua, pendapat yang mengatakan, “Kalau belum siap, lebih baik tidak usah memakai jilbab terlebih dahulu. Karena mengenakan jilbab sesungguhnya adalah sebuah keputusan besar, tidak bisa main-main. Sebelum mengenakan jilbab di kepala, lebih baik benahi dulu hati... Menjadi muslimah bukan hanya soal jilbab.”

Anda lebih setuju yang mana?

Menurut saya, pendapat pertama dapat menjurus kepada perilaku trial and error. Artinya, kita coba mengenakan jilbab dulu ah... eh tau-tau setelah beberapa bulan kita merasa tidak nyaman, lalu kita copot jilbab itu. Lalu, apa yang salah dengan trial dan error ini? Menurut saya pribadi, tidak ada. Tapi sekali lagi, seperti kata temen saya, “WE LIVE IN SOCIETY THAT HAVE STRONG OPINION ABOUT EVERYTHING”... Jadi yah, siap-siap aja sama omongan orang sekalinya kita udah lepas jilbab.

Saya lebih setuju dengan pendapat kedua. Karena bagi saya, menjadi muslimah bukan hanya soal mengenakan jilbab. Beberapa orang mengatakan kalau jilbab adalah budaya bangsa Arab, bukan perintah agama Islam. Bagi orang Melayu, penutup kepala perempuan lazim disebut kerudung. Itu loh, seperti yang dikenakan oleh Yenny Wahid. Menurut saya, yang dimaksud dengan menutup aurat pada perempuan bukan hanya dengan memakai pakaian yang tertutup rapat, dari kepala hingga kaki. Menutup aurat adalah menjaga diri. Ya menjaga perilaku, berbusana sewajarnya, bertutur kata santun... Hal-hal itu lebih penting daripada sekadar mengenakan penutup kepala. Jadi menurut saya, mau pakai jilbab atau kerudungkah, atau pashmina, atau nggak pakai penutup kepala apapun, selama seorang perempuan bisa menunjukkan sifat-sifat dan perilaku yang sesuai ajaran Rasulullah SAW dan bertindak sesuai petunjuk dari Allah SWT, ia tetap seorang muslimah. The straight to wear the hijab is first given from Allah, but after that you have to fight for yourself.

Nah loh... kalau Ken Andari sendiri bagaimana?

Habitus. Saya tidak ingin munafik. Dasarnya memang itu saja. Aturan => paksaan => kebiasaan. lalu jadi habitus. Tapi setelah beberapa tahun berlalu, apakah masih betah pakai jilbab? Well... sejujurnya sih saya bosan. Dan mulai mempertanyakan lagi, kenapa ya saya pakai jilbab? Haruskah saya pakai jilbab? Bolehkah saya buka jilbab?

Saat ini, saya sedang dalam tahap kebosanan itu. Namun hingga kini, toh saya masih mengenakan jilbab. Saya belum seberani teman saya tadi, yang begitu merasa terkekangnya sehingga ia benar-benar ingin lepas dari jilbabnya. Belum ada momentum yang memaksa saya bertindak demikian. Andai saja kau tahu rasanya pakai jilbab tanpa didasari oleh keputusan dan konsep diri yang matang. Mau dipakai, jenuh. Karena tidak didasari niat yang kuat di awalnya. Mau dilepas, canggung. Diri sendiri canggung (pengaruh kebiasaan berjilbab sebelumnya), orang lain pun akan canggung menerima kita setelah melepas jilbab nanti.

Jujur saja, saya sering iri lihat cewek-cewek yang bisa gaya macem-macem, lucu-lucu. Rambut dikuncir, dijepit, atau pakai topi, gonta-ganti model rambut... Pakai kaos/atasan berbagai model, pakai rok lucu-lucu, jeans, legging, stocking... yah pengen aja gitu sesekali bisa gaya seperti itu. Saya sampai pernah berujar, kalau nanti saya punya anak perempuan, saya nggak akan mengharuskan dia pakai jilbab kecuali sampai dia benar-benar yakin akan niatnya, dan tidak melepaskannya lagi. Saya pingin dandanin anak perempuan saya dengan pakaian lucu-lucu, rambut yang dikuncir, topi, rok warna-warni... hal-hal yang tidak pernah saya pakai di masa remaja saya.

Jadi di satu sisi sebenarnya saya jenuh pakai jilbab. Tapi di sisi lain, saya harus mengakui bahwa saya belum berani untuk melepasnya. Saya masih terus mencari cara agar saya tidak bosan terhadap jilbab saya. Saya ganti jins saya dengan rok panjang yang lucu-lucu dan warna-warni. Saya menambahkan aksesoris seperti syal atau selendang. Saya ganti jilbab dengan pashmina. Saya ubah cara saya mengenakan jilbab. Ya, mudah-mudahan saja tidak sampai melepas. Kalaupun suatu saat saya sampai pada titik di mana saya merasa harus lepas dari jilbab saya, pastilah itu sebuah keputusan yang besar. Keputusan yang pastinya telah saya pikirkan matang-matang. Tapi tidak untuk saat ini.

Komentar

  1. Duhai ukhty....
    Mengapa 10 tahun pakai jilbab hanya karena peraturan dari pesantren dulu?
    Mengapa pakai jilbab bukan karena Allah? Bukankah Allah yang memerintahkan ukhty menutup kepala hingga menjulur ke dada? Jilbab bukan perintah pesantren...

    Tahukah ukhty, bahwa sholat itu wajib? jilbab itu juga wajib? Manusia bisa bosan itu pasti, karena ia bernafsu, tapi bukankah Allah menyuruh kita bersabar dan bermujahadah dalam hidup kita?

    Sayang sekali jika kita menjalankan syari'at Allah tapi bukan karena Allah, Ulama' sepakat amal tsb tidak akan mendapat pahala. Seharusnya ukhty telah meraih pahala selama 10 tahun karena telah menegakkan syari'at Allah selama itu dengan ikhlas karena ALlah. Tapi ternyata tidak, karena ukhty tidak ikhlas...

    Mengapa iri melihat cewek2 yang mengurai rambutnya macam-macam? Apakah mereka terlihat lebih baik dan lebih mulia? jika mereka terlihat lebih hina, mengapa ukhty iri?

    Para pria juga sebenarnya jijik melihat wanita2 pengumbar aurat, namun terkadang mereka pun tidak dapat menahan nafsunya... tapi jika ditanya hati nurani mereka, para pria pasti menolak untuk hidup berdampingan dengan wanita2 pengumbar aurat. Percayalah...

    BalasHapus
  2. Terima kasih saudariku atas perhatian dan komentarnya di blog ini. Ya memang di blog ini saya menuangkan isi pikiran saya, sejujur-jujurnya. Saya masih belajar, dan akan terus belajar. Proses pembelajaran tersebut saya lewati dengan berbagai cara: bertanya, membaca, bahkan trial and error. Yang jelas, saya tidak bisa belajar hanya dengan diam.

    Artinya, menurut saya wajar saja ketika seseorang (siapapun itu) mempertanyakan hal-hal yang sebelumnya ia yakini. Selama orang tersebut tidak cepat berpuas, saya kira ia akan menemukan hal terbaik.

    Saya juga tidak mau mengategorikan "wanita baik" atau "wanita pengumbar aurat" hanya dengan melihat pakaiannya saja. Apalagi kalau bicara soal pahala, waaah...itu sudah urusan Tuhan :)
    Jangankan hanya penilaian dari pakaian, seringkali keyakinan seseorang pun tak bisa menjamin ia baik atau tidak bagi orang lain.

    Intinya, saya masih akan terus belajar. Membaca, bertanya, mungkin juga trial and error. Semuanya agar saya berpikir, tentunya dengan pikiran yang terbuka. Terima kasih banyak ukhti atas komentarnya, mari kita berbagi ilmu dan pengalaman :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurutku....Orang yang merasa bodoh lebih baik dr pd yg merasa pintar.ihdinasshirotholmustaqiim.ya Allah.amin

      Hapus
  3. ane tunggu penampilan baru ente, pake jilbab yg dimodelin atau duuna himar sekalian, ehehehe

    BalasHapus
  4. Hmmm.... Rasul menyuruh kita mencari ilmu setinggi2nya, dan itu berarti termasuk dalam mencari ilmu Agama. Kurangnya pengetahuan tentang agama bisa mendasari seseorang untuk gampang atau bahkan kepikiran untuk meninggalkan perintah agama..

    Menurut saya sih, terlepas dari keinginan mbak untuk membuka kerudung (bukan jilbab, karna jilbab dan kerudung berbeda) saran saya adalah carilah ilmu sebanyak2nya dulu tentang perintah Allah satu ini, jejalkan hingga terpatri di dalam kepala bahwa Allah telah menunjukkan kasih sayangnya untuk melindungi wanita.. InsyaAllah kalau kita memang berkeinginan untuk memperkuat iman dengan cara mencari ilmu agama setinggi2nya, maka meninggalkan perintah Allah bener2 bakal jadi hal yang menakutkan..

    Sama seperti sebuah idealisme, hanya orang bodoh yang memiliki idealisme tanpa ilmu.. jadiiii... belajar bareng2 dulu yuk biar keputusan apapun yang kita ambil tidak hanya berdasarkan 'keinginan' saja..

    BalasHapus
  5. artikel yang menarik mbak Ken, dan malah saya sudah mencobanya. Saya berjilbab atas keputusan sendiri kemudian ada masa-masa dimana saya mempertimbangkan kembali keputusan saya kemudian saya melepasnya. Saat itu saya berpikir jilbab yang menjadi baku di tempat kerja sebenarnya bukan jilbab karena masih memerlihatkan bentuk leher (jilbab harus dimasukkkan ke dalam baju tidak boleh dijuntaikan ke dada), bukankah hijab yang benar harusnya tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali. Akhirnya disanalah seorang perempuan berjilbabpun harus menentukan gaya/style apa yang nyaman dia kenakan dihubungkan dengan keimanan dan keyakinannya. Dan memang benar setelah saya lepas, komentar bertubi tubi berdatangan dari teman2, dari rekan kerja karena saya seorang PNS, keluarga suami dll. Tapi dari situ memberikan pelajaran berharga: Pertama, komentar negatif justru datang dari orang orang yang tidak mengenal saya secara dekat, sedangkan pasangan dan teman teman dekat melihat diri saya apa adanya dengan atau tanpa jilbab. Sekarang saya merasa lebih nyaman berjilbab. Komentar pun datang lagi bertubi tubi saat saya berjilbab kembali. Kadang saya tidak berjilbab waktu ke pasar atau warung dekat rumah atau sedang menyapu di teras. Kedua jilbab bukanlah indikator utama menunjukkan karakter seseorang, lebih baik seorang perempuan mengenakan jilbab saat dia merasa sudah dewasa dalam mengambil keputusan. Ada banyak teman saya yang mengenakan jilbab pada saat saat tertentu saja. Bahkan ada waria yang memakai jilbab. Hal ini menciptakan ambiguitas dan akhirnya kembali pada pribadi masing masing mengenai konsistensi yang dia yakini.

    BalasHapus
  6. semoga kita ditunjukkan jalan kebenaran...

    BalasHapus
  7. Orang yang baik dalam agama akan memeroleh pasangan yang baik pula agamanya, insyaALLOH. Kalau tidak mematuhi agama jangan berharap akan dipinang oleh orang yang patuh beragama. It's so simple...

    BalasHapus
  8. perbedaan dalam islam adalah fitrah mbak ken,, dan saya harap meskipun berbeda pandangan tidak lantas membuat sesama saudara menjadi bermusuhan,, saya hanya memberi masukan coba cari ilmu yang lebih banyak lagi, dan tanyakan pada hati yang paling dalam , bermunajat pada ALlah, karena terkadang bisakan2 itu ada yang datangnya dari syetan..

    semoga mbak menemukan jawaban yang dapat membuat hati mbak mantap dalam syariat aamiin :D

    BalasHapus
  9. Naudzubillah min dzalik, semoga Allah selalu menjaga kita semua untuk teguh menjalankan syari'at-Nya...آمِينَ ياَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ..begitu banyak syubhat yg dilancarkan oleh syaitan agar kita menjauh dari syari'at :'(

    BalasHapus
  10. Wanita berjilbab belum tentu sholehah tapi wanita sholehah pasti berjilbab.

    Jilbab itu aturan yang wajib dari Allah dan Allah Maha Mengetahui yg terBAIK bagi hambaNya. Menurut saya akhlak dan jilbab itu tidak bisa saling dihubungkan, maksudnya dg berjilbab bisa membentengi diri atau istilah menjilbabi hati dulu. Berjilbab dan berakhlak baik harus bersamaan. Itu hanyalah statement yg seolah berjilbab atau memperbaiki akhlak itu adalah pilihan padahal keduanya harus beriringan.

    Kalau misalnya merasa bosan baiknya lebih mendekatkan diri pada Allah, perbaiki sholat karna sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Banyak bergaul dg orang shalih yg bisa memberi nasihat. Membaca buku2 islam dan siroh Nabi juga baca Al Qur'an. Terutama ingat mati, ingat bahwa wanita yg kelihatan auratnya tidak akan mencium bau surga.
    Futur itu biasa, iman itu naik dan turun tapi bagaimana caranya saat futur pun tetap memegang teguh sunnah.

    Wallahu'alam. Mohon maaf apabila ada salah kata
    Mari saling mendoakan agar kita diberikan keteguhan hati

    BalasHapus
  11. wanita muslimah itu sudah pasti berjilbab yang sesuai syar'i. argumen anda tadi itu karena bisikan syetan yang terkutuk yang setiap saat membisikan kepada semua wanita muslim supaya ragu akan kepatutan/kepatuhan/kewajiban berhijab(jilbab), Al-Qur'an dan Hadist sudah menerangkan dengan gamblang akan keharusan berhijab.
    sekian dan terima kasih :)

    BalasHapus
  12. ini gue juga ada kisah nyata tentang "wanita yang melepas jilbabnya"

    http://freenotesss.blogspot.com/2013/07/ada-teman-yang-melepas-kerudungnya.html

    BalasHapus
  13. Tulisan di artikel blog ini mewakili suara hati saya banget, karena sy berjilbab juga gak full, ketika ada tamu saya gak pake jilbab, duduk di teras, nyapu di halaman, atau olahraga lompat tali di teras pun sy gak berjilbab. Kemudian, jujur saja cukup susah kerja ketika pakai jilbab karena jilbab harus dimasukkan (udah pasti gak sesuai ketentuan, karena baju seragam dapet dari kantor), lebih sulit ketika mau wudhu (apalagi mau pakai jilbab ala hijaber) banyak lapisan dan banyak pakai jarum di jilbabnya, rencana saya malahan hanya ingin pakai jilbab ala yeni wahid, yg sesekali dapat sy lepas (karena sy pengen masuk pramugari) jadi galau sy karena jilbab. bener juga tuh mba Ken Andari, sy malahan ntar kalau punya anak gak mau paksain anak sy untuk berjilbab. yg penting sopan dan bisa imenjaga diri gak kaya org yang berjilbab gaul tapi pacaran, bahkan maaf hamil diluar nikah, pernah jg saya liyat org yang berjilbab tapi belahan bokongya kelihatan (maaf) dan sy juga pernah lihat perempuan berjilbab panjang, tapi duduk berduaan dg cowok dan kemudian tangan cowok itu melingkar di pinggang si cewek dan ditutupi dengan jilbab panjang si cewek. Sekarang sy merasanya jilbab seperti hanya simbol agama bukan lagi pelindung dari hawa nafsu laki2 karena banyak jg yg berjilbab tapi membiarkan tangan laki-laki mengelilingi tubuhnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. UPDATE: http://kenandari.blogspot.co.id/2015/09/merdeka-dengan-hijab.html

      Hapus
  14. jadi bingung mba, apakah jilbab itu perintah atau hanya bagian dari budaya saja?

    BalasHapus
    Balasan
    1. UPDATE: http://kenandari.blogspot.co.id/2015/09/merdeka-dengan-hijab.html

      Hapus
  15. UPDATE: http://kenandari.blogspot.co.id/2015/09/merdeka-dengan-hijab.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Benda-benda Kesayanganku...

Pantai Penggajawa, Sebuah Ironi

(Pindang) Palembang, Aku Datang!

Komunitas Reptil-X: “Reptil ini Hewan Eksotis...”