Mengapa Perempuan Suka Saling Menyakiti dengan Lisannya?

Sebenarnya ini sebuah cerita yg memalukan, membuatku malu bahkan untuk bercerita ke suamiku. Membuatku malu terhadap tubuhku. Sudah berlalu beberapa lama tapi masih teringat menyakitkan. Di sini, aku memutuskan menyembuhkan diri dengan cara lama, menulis. Aku biasanya sembuh dengan berbagi kisah sekaligus merefleksikan diri. 

Beberapa waktu lalu, tetangga dekatku hajatan. Semua ibu RT jadi panitia, pakai baju seragam. Tapi karena aku punya bayi, jadi si empunya hajat memaklumiku dan tidak melibatkan aku dalam kepanitiaan. Aku menghormati beliau dengan berusaha datang ke akad nikah pagi-pagi, walau hanya bertiga dengan anak-anak. Bapak ibu, adik, dan suamiku tak ada di rumah. Tidak mudah bagiku untuk bersolek, bahkan pakai baju pun digelendotin. Udah rapih pun masih harus nyebokin. Aku memakai gamis, kerudung simpel, dan high heels, lalu menggendong Aidan dan menuntun Ali ke tempat acara.

Ibu-ibu panitia memintaku untuk memfoto mereka beberapa kali. Aku melakukannya sambil menggendong Aidan karena dia gak mau dilepas. Setelah itu, tiba-tiba seorang ibu bermulut pedas memanggilku. 

Yaaa beliau memang dikenal begitu. Tetangga lama, yang selalu kuhindari ketemu karena mulutnya sering pedes banget. Ku masih ingat kata2 menyakitkan yang dia ucapkan saat menjengukku usai melahirkan Ali 5 tahun lalu. Tapi kali ini aku ga bisa menghindar karena dia langsung menggandengku ke kursi di pojokan. "Ken sini deh! Sini ibu bilangin!" Semua ibu panitia yang masih di situ stlh kufoto, ngeliatin. Ada apa? Ada apa? 

Bahkan stlh ku duduk di pojokan, mereka masih ngeliatin, diapain aku sm ibu ini. Aku udah prediksi, this can't be good.

Tau gak, ibu itu ngmg apa? 

"Nih, ibu kasitau ya. Biar kamu juga bagus. Jadi keren. Nih.... Kamu kan dateng udah pake baju bagus, make up, naahh.. Pake beha nya yg bener juga dong, yang bagus...! Kamu kan masih muda. Anak baru dua. Aset dijaga. Kan sayang kalo udh pake baju bagus2 tapi ininya melorot. Jangan kaya emak2 banget lah. Ganti dulu lah beha nya. Nanti kalo udah sampe rumah, ya pake yg biasa juga gapapa. Tapi kalo ke acara gini, pake yang bagus lah.. Harus tetep keliatan bagus di depan laki." 

Apanya yang harus tetep keliatan bagus depan laki? Payudara gw? Laki siapa? Laki gw ngga ada... Laki orang? Ngapa payudara gw harus keliatan seksi depan laki orang? Pfffff.

Itu kalimat yang langsung terlintas di kepala ku. Tapi aku tahan. Males manjang2in sama orang kaya begini. Iya2 aja dan masih panjang ceramahnya aku udah mau nangis, mau pulang, mau ditelan bumi rasanya. Malu! Orang2 ngeliatin aku penasaran, ngapain di acara nikahan nan bergembira orang diomongin di pojok berdua? Ya Allahu Akbar... Ada yah yang merhatiin aku sampai segitunya?

Kerudungku kupanjangkan menutup dada, wallahi gak ada niat buat nunjukin bentuk dada dengan pakai push up bra. Mungkin terangkat karena aku menggendong Aidan. Mungkin karena faktor bahan gamisnya juga yang... Ya Allah apakah aku kurang bisa memantaskan diri? Apa aku terlalu cuek sama penampilan? Aku udah usaha terlihat pantas dan bagus, datang bersama anak-anakku, menyempatkan diri, kenapa aku jadi dipermalukan begini dengan hal sepele yang bahkan aku tak berniat menunjukkannya sedikitpun?!

Setelah org itu ngomong dan pergi meninggalkan aku yang masih terduduk nahan tangis dan berusaha manage muka, ibu-ibu nyamperin aku, pd nanya ada apa sih ken?? Kok kayanya serius bgt sampe dibawa ke pojok. Kubilang aja,  dikasitau bajunya ada yang nyangkut. Ohhh.. soalnya tadi dia selesai difoto tadi dia ngomong, "Si Ken kaya emak2 amat sih pakeannya badannya ga dijaga, masih muda juga, gw bilangin ah ga betah ngeliatnya" Takutnya Ken dibilangin macem2, gitu.

Orang sampe bersimpati loh sama gw. Setelah mendengar itu, ku semakin nyesek karena ternyata dia sudah njeplak di depan banyak orang sebelum sok2 ngajak aku ngomong empat mata. Tapi ya udahlah saking sakitnya gatau mau ngomong apa lagi, aku sampe ngebatin, ya Allah Engkau Maha Tahu...

Allah yang tahu beberapa bulan ke belakang aku sedang mengalami gejolak mental sampai aku keluar dari semua grup pertemanan online, off social media. Aku banyak berkomunikasi dengan suamiku, membenahi diri, berefleksi. Salah satu hal, aku kehilangan kepercayaan diri akibat bentuk tubuhku. Dua kali hamil melahirkan dan dua kali menyusui, tubuhku kembang kempis seperti balon. Aku berganti-ganti ukuran pakaian. Suamiku bilang, payudara dan rahim, lemak dalam tubuhmu, semua telah dipergunakan sebagaimana mestinya. Payudaramu untuk menyusui, bukan untuk ditunjukkan ke orang. Tentu aja kendor. Perutmu adalah tempat rahim, 2 kali kamu membesarkan bayi di situ. Tentu aja bergelambir. Lemak2mu adalah cara tubuhmu menyimpan cadangan energi, kamu lebih tau lah daripada aku. Bukan sekali dua kali, aku sering diingatkan akan hal itu sama dia, karena sering juga aku benci melihatnya, melihat diriku sendiri.

Perkataan ibu itu seperti melemparkan batu ke kaca yang sudah retak. Dia gak tahu dan mungkin emang gak mau tahu betapa ku sedang berjuang menerima diri, dan apa dampak perkataannya pada diriku. 

Aku sampai mengonfirmasi ke salah satu tetangga paling dekat denganku, yang juga ada di situ, kebetulan dia bertanya juga apa yang sudah dikatakan ibu tadi kepadaku. Apakah bra-ku kelihatan melorot banget, Tante? Masya Allah, engga Ken. Gak ada yang ngeh ke situ. Kan kamu pake kerudung panjang. Tante malah ngebatin kamu cakep amat. Biasa ngeliat dasteran, sekarang beda banget ngeliatnya. Kenapa dia bisa ngeliat ke situ-situ ya?

Entahlah, padahal ia juga seorang perempuan. Seorang ibu. Punya anak. Dan gak perfect2 amat lah. Nobodys perfect though. Terus kenapa dia kok bisa-bisanya fokus ke minus se-minor itu pada diriku di tengah suasana yang happy, ceria, lagi foto bareng lho. Banyak makanan terhidang, banyak sanak saudara menyapa. Aku juga, pakai kerudung warna emas dengan gamis batik hitam, winged eyeliner dan lipstik merah bata, kelom kayu warna kuning, aku menggendong Aidan yang lucu gak berhenti ngemil kue, of all things, kenapa yang dia lihat dadaku yang melorot, yang kututupi dengan kerudung terjulur? Masya Allah, alangkah awasnya mata itu. 

Padahal banyak hal lain yang lebih menyenangkan untuk dilihat, dirasakan dan disyukuri, diapresiasi. Tapi ia sangat terganggu pada pemandangan ku yang minor itu, sampai-sampai tidak betah untuk menahan ngomong sama aku. Langsung di saat itu juga, di tempat itu juga, tanpa dimanis-manisin tanpa dipikirin. 

Hati bagaikan cermin. Kaca jendela jiwa. Kalau ia kotor, keruh, maka pada apapun, dimanapun, di suasana yang menyenangkan pun dan pada orang sebaik apapun, ia akan selalu dapat melihat kekurangan. Matanya awas terhadap kejelekan. Hatinya tidak tenang, selalu ada hal yang mengganggu baginya dan tidak bisa ia tahan untuk mengatakannya walau harus mengorbankan perasaan orang lain. 

Tekanan sosial serta penghakiman tentang penampilan, bentuk tubuh, dan berat badan ideal perempuan sebetulnya banyak datang dari perempuan juga. Padahal setiap perempuan sama-sama pernah mengalami betapa sulitnya menata kepercayaan diri, betapa sulitnya menerima keadaan tubuh yang kembang kempis usai melahirkan, perempuan pun seringkali paling keras terhadap diri sendiri, lalu mengapa masih harus saling menyakiti?

***

Sebuah hadis mengisahkan para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya perempuan itu rajin shalat, rajin sedekah, rajin puasa. Namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi saw. berkomentar, “Dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal jarang berpuasa sunah, jarang melaksanakan shalat sunah, dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju. Namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah mengatakan, “Dia ahli surga.” (HR Ahmad). 

Rasul dalam banyak hadis tidak berhenti untuk memperingati sahabat-sahabat dan umatnya agar menjaga ucapan dan apapun yang dikeluarkan dari lisan mereka. "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam."

Aku teringat perkataan salah satu ustadzahku di pengajian ibu-ibu. "Kalau ada keinginan kita belum terwujud, anak kita belum nikah-nikah, kita belum punya cucu udah lama nunggu, istighfar. Minta maaf sama orang tua, sama tetangga, sama siapapun yang mungkin pernah kita sakiti. Jangan-jangan mereka menjadi penghalang doa kita," 

Tante ku itu juga bilang, bukan aku saja yang pernah disakiti. Sepertinya hampir semua orang di RT sini pernah menerima komentar pedasnya. Waktu habis melahirkan Ali, semua ibu RT menjenguk. Membawa kado, mengucapkan selamat. Bersukacita. Tapi ibu itu datang dengan bibir nyinyir mengomentari korset, payudara, bahkan cara dudukku dan hubungannya dengan bayiku. Sampai hari ini aku masih ingat betapa menyakitkan kata-katanya. Hingga ketika aku melahirkan Aidan 3 tahun kemudian, aku menolak keluar sampai suamiku meyakinkan aku bahwa tidak ada ibu itu di antara para tamu. Segitu traumanya. 

Di antara semua ibu RT yang baik, cuma dia yang aku malesin. Bahkan jika aku lagi di depan rumah, jemur bayi, main sama anak, kemudian dia lewat, aku akan lansung masuk. Karena emang hampir dipastikan ada aja yang dikomentarinya, dan seringkali hal-hal yang tidak kita sangka. "Kalo bukan gue siapa lagi coba yang ngasitau gitu ke elu!" Katanya suatu kali. Padahal aku sama sekali tidak minta nasehat ataupun perhatiannya.

Kata Yahya bin Mu’adz, "Hati itu seperti periuk dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang berbicara. Karena sesungguhnya, lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya." 

***

Komentar

Baca juga...

Menuju Kelimutu, Perjalanan Penuh Liku

Benda-benda Kesayanganku...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Teknik Penulisan Berita Langsung dan Berita Khas

Jejak Pancasila di Bawah Pohon Sukun