Misteri Lukisan yang Berdetak!

Matahari tepat berada di atas kepala saat aku dan Uphay menginjakkan kaki di stasiun Blitar. Kami langsung disambut hangat oleh abang-abang becak yang menawarkan diri mengantar kami berwisata di kota kecil ini. Tanpa banyak basa-basi, kami pun langsung memilih satu becak untuk kami naiki berdua.

“Mau ke mana mbak?” tanya si bapak pengayuh becak.
“Ngg… mau ke makam Bung Karno sih pak sebenernya, tapi laper nih,”
“Oh, mbak-nya mau makan dulu? Di jalan sebelum makam banyak kok warung makan, di alun-alun juga banyak. Mbak-nya mau makan apa?” si bapak sudah mirip tour-guide saja, hihi…
“Pecel lah Pak…”
“Ooo…nggih, nanti saya kasih tau warung pecel yang enak…”

Wuuaaahh… pecel Blitar! Siapa tak kenal penganan yang sudah terkenal itu! Beberapa bulan yang lalu aku sempat dioleh-olehi sambel pecel oleh kawanku yang asli Blitar, namanya Saiful Munir. Aku memanggilnya Cak Ipung. Sambel pecel buatan ibunya Cak Ipung langsung dari Blitar, dan itu enak bangeeeett… Pengen mampir bilang terima kasih sama ibunya, tapi maluuu… hehehe. Lain waktu aja kalo sama kamu yo Cak!

Ini kali pertama aku datang ke Blitar, dan buatku, Blitar begitu mengesankan. Semata karena kebersahajaannya. Yap, ini kota kecil yang amat damai, tentram, apik… intinya: ngangenin. Tak heran Bung Karno saja begitu mencintai kota kelahirannya ini. Bapak pengayuh becak juga beberapa kali berkata dengan bangganya, “Woo…saya ini asli mBlitar dek!” (pakek awalan “M” di depannya). Dalam hati aku berkata, “Wah, pantas aja Cak Ipung selalu kangen pulang!”

Tak ada mobil angkot di Blitar. Yang ada, ya becak ini. Kalo di Jakarta dan di Tangerang mah, becak bukannya dimanfaatin malah digusur. Di Blitar, becak diberdayakan sebagai angkutan pariwisata. Berwisata di kota Blitar memang rasanya paling pas naik becak. Biar kita bisa duduk santai, melihat-lihat, dan menikmati damainya kota ini. Selain itu, pengayuh becak yang hampir semuanya adalah warga asli Blitar juga sekaligus berperan sebagai tour-guide. Seperti bapak pengayuh becak ini, yang sedang menunjukkan berbagai kuliner khas Blitar dekat alun-alun. Ada soto, nasi pecel, rawon, terus es apa gitu… banyak deh. Bikin ngiler.

“Kak, tau nggak, di Blitar ini jumlah minimarket atau pasar modern dibatasi loh jumlahnya. Jadi roda perekonomian rakyat memang benar-benar digerakkan. Keren yah!” kata Uphay.

Ohh…pantesan dari tadi aku nggak ngeliat Circle K atau Seven Eleven gitu. Yang banyak adalah koperasi, toko kelontong, warung oleh-oleh, pokoknya pasar tradisional deh. Ngg…kayaknya mall juga nggak ada deh. Tapi rental PS2 udah banyak kok! Hihihi… ini nih, bibit-bibit hedonisme :p

Nah, kompleks makam sudah mulai kelihatan. Benar juga kata si bapak, sepanjang jalan menuju kompleks makam Bung Karno banyak warung makan, warung oleh-oleh, dan juga sentra kerajinan. Si bapak menurunkan kami di sebuah warung pecel yang atas rekomendasinya –terkenal enak di Blitar.

Setelah makan nasi pecel yang beneran enak dan murah banget, kami pun menyusuri jalan menuju kompleks makam Bung Karno, yang merupakan salah satu ikon pariwisata Kota Blitar. Bangunannya terkesan bersahaja, namun tetap kharismatik, sesuai citra Bung Karno. Arsitekturnya pun dibuat menawan oleh tim arsitek yang diketuai oleh Pribadi Widodo dan Baskoro Tedjo dari Institut Teknologi Bandung. Ya, Bung Karno sendiri ‘kan memang seorang insinyur lulusan ITB! Kompleks makam ini bergaya minimalis modern yang berpadu dengan unsur-unsur khas Indonesia, terutama Jawa dan Bali. Ya, sesuai dengan darah yang mengalir dalam tubuh Sang Proklamator.

Berikut beberapa fotonya:












Hari itu kompleks makam tampak ramai sekali dengan pengunjung. Selain makam, di dalam kompleks ini juga terdapat masjid, museum, dan perpustakaan.

Ada satu hal yang menahanku untuk berlama-lama di museum: lukisan yang berdetak! Iya, jadi ada sebuah lukisan besar Soekarno yang dipajang dekat pintu masuk, menggambarkan Soekarno sedang berdiri tegap dengan jas kebanggaan sambil memegang keris pusakanya. Dan, kalau kau perhatikan lebih jeli, dada sebelah kiri dari lukisan Soekarno itu bergerak-gerak mirip detak jantung! Aslina!

Aku memang sudah diberitahu Uphay sebelumnya, tapi aku nggak percaya sebelum lihat sendiri. Dan setelah lihat sendiri, memang betul sih kayak bergerak-gerak gitu. Ngg…mirip detak jantung, tapi aku belum percaya. Aku muter-muter lihat sebelah kanan, kiri, depan, dan belakang lukisan untuk mencari sebab musabab fenomena ini. Pasti ada alasan logisnya!

Waktu itu aku berpikir, hmm… ini hanyalah efek dari sugesti pikiran aku dan juga para pengunjung lain yang terlanjur tersugesti sejak awal bahwa lukisan itu bergerak. Aku tanya ke salah seorang penjaga museum itu. Tapi dia malah jawab, “Itu sesuatu yang nggak boleh diomongin Mbak…”

Ah masa sih…

Sebentar deh… aku balik lagi lihat lukisan itu. Berusaha meyakinkan pikiranku bahwa itu hanyalah lukisan biasa. Ngg…tapi tetep aja sih, memang bergerak dan tampak seperti jantung yang berdetak. Aku coba tanya orang di perpustakaan deh, siapa tau aja dia punya pandangan yang lebih luas. Si mas librarian tersenyum melihat aku dan Uphay yang penasaran. Terus katanya, “Bukan lukisannya yang ajaib, tapi memang pelukisnya yang hebat!”

Lukisan itu dibuat oleh IB Said, salah seorang seniman dari Bandung, pada tahun 2001. Ya, IB Said memang salah seorang pelukis ternama. Pelukis yang hebat tentu sudah tahu segala hal tentang lukisan, mulai dari cat yang digunakan, warna, komposisi gambar, kanvas, penampang, dan efek yang bisa ditimbulkan dari kombinasi teknik-teknik tertentu itu.

Ketika kamu membentangkan sebuah kain yang berukuran besar, pastilah bagian tengah kain itu akan bergerak, lantaran diterpa udara. Begitupun halnya dengan lukisan yang dilukis di atas kain kanvas, dipajang di atas penampang tipis, dibentangkan dalam sebuah pigura, lalu ditempatkan di sebuah ruangan ber-AC (apalagi di dekat pintu masuk), pastilah penampang itu akan bergerak!

Aku sudah buktikan, bahwa tidak hanya lukisan itu yang bergerak. Lukisan-lukisan lain di dalam ruangan itu pun bagian tengahnya, setelah diperhatikan, memang bergerak. Lebih tepatnya, agak berkibar-kibar gitu deh. Ya, itu adalah efek dari penampang yang dibentangkan. Kalian perhatiin deh lukisan lain di ruangan itu, sebetulnya bergerak-gerak juga. Memang betul apa yang dikatakan oleh mas librarian, yang hebat adalah sang pelukis, IB Said! Yang tahu betul bagaimana cara menghidupkan sebuah lukisan.

Lah kok gerakannya mirip detak jantung? Menurutku, itu adalah efek dari pikiran kita yang sudah terlanjur tersugesti bahwa lukisan itu ‘hidup’ dan bisa berdetak. Jangan diremehkan loh kekuatan pikiran dan imajinasi kita. Efeknya bisa sangat luar biasa terhadap panca indera.

Aku sendiri yang sudah coba mensugestikan lagi bahwa lukisan itu hanyalah lukisan biasa yang dibuat secara luar biasa, melihat sebetulnya ritme gerakannya nggak mirip-mirip amat kok dengan detak jantung, agak nggak beraturan juga. Yah…ini sih hasil pemikiranku aja, kalau dirimu masih percaya khodam Bung Karno-lah yang menghidupkan lukisan itu, ya semua kembali kepada diri masing-masing. Toh, lukisan itu pun telah menjadi magnet tersendiri buat semua orang yang penasaran ingin lihat.

Nb: sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar di dalam museum, jadi aku nggak bisa tunjukkan fotonya kepada kalian. Jadi, lihat sendiri aja ke sana dan tuntaskan rasa penasaran kalian ya!

Komentar

  1. ternyata lukisannya kena AC ya? hi3. gak jadi misteri lagi dongs. aku belum pernah ke blitar nih, jadi pengen ke sana. *moga2 dapat undangan liputan. wakakakakak.

    btw, kamu ternyata rajin ngeblog juga ya? tulisanmu lumayan ken. personal dan menyenangkan. *halah.

    BalasHapus
  2. rayuan haris memang langsung ke jantung sang gadis ha ha ha

    emang kenapa gak boleh dipotret??

    BalasHapus
  3. eh, anonim ini siapa sih? mas lison ya?
    iya, ini salah satu caraku utk mengurai benang kusut dan jutaan tanda tanya di dalam otak, hehe.

    ya iyalaaaahh... dipoles di Gatra 3 bulan gt lohh, gmn gak oke?! haha

    nggak tau kenapa, tapi memang peraturannya begitu. nggak boleh dipotret.

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Kaleidoskop Indonesia 2008

Mengintip Lahan Dakwah di Pulau Nanga

Kepingan Sejarah di Bumi Sriwijaya

Ibu, Jangan Diam Saja! (Menyikapi Bullying terhadap Anak)

Doa