"Menangkap" Kompeni di Gedung Sate

Ceritanya semalem aku buka yutub dan tiba-tiba ngeliat rekomendasi video terbaru Jurnalrisa X Kisah Tanah Jawa. Dulu pas awal-awal banget aku masih suka ngikutin konten mereka, tapi lama-lama ya skip aja. Kalau nonton Jurnalrisa tuh buat aku nostalgia aja siy sama Bandung. Sedangkan KTJ memberikanku banyak perspektif berbeda tentang menalar dunia tak kasat mata. 

Konten terbaru mereka yaitu menelusuri Gedung Sate. Duh! Jadi keinget sesuatu!

***

Aku bukan tipe orang yang mudah percaya peristiwa-peristiwa mistis, tetapi aku percaya makhluk gaib itu ada. Bapak pernah menjelaskan padaku, makhluk tak kasat mata dan manusia berada pada frekuensi radio yang berbeda, sehingga kecil kemungkinan kita berinteraksi. Beberapa penjelasan Om Hao, salah satunya tentang "residual energy" , juga pernah Bapak jelaskan kepadaku. Sangat logis dan masuk di akal, hanya memang penalaran kita terbatas. Jadi, aku tidak selalu melihatnya sebagai sesuatu yang menakutkan atau dramatis, aku tahu mereka ada, tetapi kita beda alam, jadi ya, masing-masing aja tapi tetap saling menghormati sebagai ciptaan Tuhan. 

Kecuali setan atau iblis ya, itu mah emang jelas-jelas musuh. 

Jadi, dulu semasa jadi mahasiswa di Bandung tuh aku tergabung dalam komunitas pecinta sejarah, dan khususnya, gedung-gedung tua di Bandung. Setiap Minggu pagi kami jalan kaki keliling kota, mendatangi gedung-gedung tersebut, belajar sejarahnya, dan mengamati arsitekturnya. It was so much fun! Aku yakin jalan-jalannya sekarang makin seru karena sudah banyak bangunan dan cagar budaya Bandung yang dipugar semenjak Ridwan Kamil menjabat walikota. Pada masa itu, kisaran 2007-2012 ya, beberapa kali Kang Emil sebagai arsitek dan tokoh muda Bandung memang sempat jalan dan ngobrol bareng komunitas kami. 

Kebanggaanku selama mukim di Bandung bukan karena telah mencicipi segala pojok kulinernya atau belanja murahnya. Tetapi, bahwa aku pernah masuk ke dalam gedung-gedung bersejarah Kota Bandung (bahkan hingga ke ruang bawah tanah!) dan mempelajari sejarahnya. Beberapa yang pernah kumasuki di antaranya Gedung Merdeka (Societeit Concordia) dan (eks-penjara) bawah tanahnya, gedung De Vries di seberang Gedung Merdeka, bahkan aku sempat bikin tugas peliputan tentang dugaan terowongan bawah tanah gedung ini yang kabarnya menyambung hingga ke ruang konferensi utama di Gedung Merdeka. Aku juga pernah masuk ke Hotel Savoy Homann, Hotel Grand Preanger, Gedung Sate dan Museum Pos di ruang bawah tanah serta Museum Geografi. Apa lagi ya, lupa. Di Sumedang, aku juga pernah menelusuri sisa-sisa sejarah di Museum Prabu Geusan Ulun, Cadas Pangeran, dan Situs Gunung Kunci. 

Tidak mudah untuk mendapatkan akses ke gedung cagar budaya seperti itu. Tetapi karena aku mendatanginya bersama komunitas, serta izin sebagai mahasiswa jurnalistik untuk membuat tugas peliputan, aku merasa pengalaman-pengalaman di atas merupakan suatu privilege yang belum tentu didapatkan oleh orang lain. 

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika aku berkesempatan masuk meliput Festival Film Indonesia 2008 yang digelar di Gedung Sate, Bandung. Aku masuk bersama jurnalis lain, memotret para pesohor, ikutan makan-makan, dan numpang pipis. Kapan lagi ya khannnnn...

Sahabatku, Dewi, minta fotoin dengan latar belakang pilar-pilar megah Gedung Sate. Aku mengarahkannya ke salah satu lorong sepi, yang tidak digunakan untuk lalu lalang, supaya jangan sampai ada orang lewat yang photobombed kita pas lagi berpose. Waktu itu motoinnya masih pake hp jadul 144p tea ning, dan hasilnya...



Aku zoom berkali-kali. Siapa nih lewat?! Aku rada perfeksionis gengs, kalau soal ngambil foto. Aku selalu memastikan gak ada yang mengganggu hasil fotoku. Aku yakin 100 persen gak ada orang lewat pada saat aku klik. Itu lorong sepi yang memang tidak digunakan dalam acara. Terus itu siapa??

Wi, tadi nggak ada orang lewat kan? / Nggak ada, Ken / Ini apa ya wi?

Dewi langsung melotot, Ken ini kok kayak...

"KOMPENI!" Kami berbisik berbarengan, kaget dan masih nggak percaya. Seketika foto itu membuat heboh di antara kami. Semua orang yang mengikuti kemeriahan acara itu, yang berada di ruangan itu, sama-sama tahu bahwa lorong itu tidak digunakan dan betul-betul tidak ada yang lewat. 

Dewi meng-upload foto tersebut di facebook dan kami bisa melihat lebih jelas ketika membuka facebook lewat PC. Tampak cukup jelas, seseorang yang tengah melintas sekilas, tetapi tidak ada bayangannya. Lalu, kalau kita ingat seragam kompeni Belanda pada masa itu, kurang lebih seperti ini: 



Dan, kalau gambaran di episode Jurnalrisa itu, begini:


Panik ga panik ga. 

Engga sih. Kita tahu mereka ada di sana jauh sebelum kita. Sejak dulu, Gedung Sate merupakan bangunan ikonik kebanggaan yang digunakan sebagai pusat pemerintahan. Pastilah banyak orang Belanda/ Kompeni yang berlalu lalang di sini selama puluhan tahun lamanya, hingga Jepang datang dan mengusir mereka. Masuk akal jika kita menganggapnya sebagai residual energy, yang secara tak sengaja tertangkap lagi oleh kamera. 

Satu hal yang aku kagumi dari Om Hao dari Kisah Tanah Jawa bukanlah ketika dia bicara tentang yang mistis-mistis, tetapi pengetahuan sejarahnya yang mumpuni, terutama di bidang arsitektur dan perkeretaapian. Aku tahu karena Ali minat banget sama kereta api dan Om Hao selalu ada dalam diskusi-diskusi jalur kereta api masa lampau. Itu keren banget. Dipadukan dengan kemampuan alami berinteraksi dengan peristiwa masa lalu, I really think that was amazing. Alangkah luar biasa bisa melihat apa yang terjadi di suatu tempat bersejarah, dengan pandangan yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, bahkan berkomunikasi dengan orang dari masa lalu. Tidak masuk akal orang awam, tetapi bukankah sejak dulu manusia selalu berusaha menemukan cara untuk time travel?
  
Aku tidak punya pengalaman melihat makhluk tak kasat mata, kecuali pada foto ini yang tampak begitu jelas, tak sengaja aku abadikan. Tetapi, ketika mendatangi tempat-tempat bersejarah seperti itu, tidak dipungkiri seringkali ada sensasi-sensasi yang kita rasakan. Aku ingat betul pada saat aku masuk ke ruangan tempat disimpannya kereta kencana Naga Paksi, entah mengapa, kami seketika terdiam dan sungkan berkata-kata. Ada suatu aura agung yang kami rasakan, sehingga kami otomatis berucap, "Punten..." sembari menundukkan kepala. Di ruang gamelan, tercium semerbak aroma khas yang entah dari mana. 

Pada saat kami menelusuri ruangan bawah tanah Gedung Merdeka, ada sensasi sesak dan rasa sedih yang membuat ingin menangis. Kami tidak sanggup berlama-lama di sana karena rasanya untuk bernafas semakin tidak enak. Padahal, jelas ruangan bawah tanah itu sekarang sudah bersih, dicat putih, beberapa jendelanya juga dibuka. Tidak tampak sisa-sisa penyekapan atau penyiksaan, engga lah. Ruangan itu terawat dengan baik dan bersih. Tetapi, perasaan suram ketika memasukinya tetap tidak bisa kami singkirkan. 

Di Gunung Kunci, kami melihat betul beton-beton besar sisa benteng yang runtuh berkeping-keping. Pada saat itu, tahun 2010, situs bersejarah Gunung Kunci serupa hutan yang sama sekali tidak terawat, aku bertanya-tanya apakah keadaannya masih sama persis dengan tahun 1942 ketika Jepang membombardir tempat ini, tidak ada yang diubah atau dipindah. Kalau iya, waduh. Hahahaha.

Yang jelas, ketika kami masuk menelusuri terowongan-terowongan sempit nan berkelok-kelok, kami juga merasakan banyak rasa tidak nyaman. Sesak, tentu saja. Karena tempat itu minim sirkulasi udara dan cahaya. Tetapi ada banyak perasaan negatif yang tidak bisa dijelaskan. Terbayang, tempat ini dulunya dipenuhi genangan darah dan serdadu yang terjebak dibombardir. 

Aku rindu banget masa-masa itu, menelusuri museum dan gedung-gedung bersejarah. Rindu masa di mana keingintahuan membuncah bebas, dan langkah kaki ringan menjelajah. Aku berusaha menumbuhkan kecintaan akan sejarah pada anak-anakku, sehingga kelak kami bisa jadi teman seperjalanan yang menyenangkan, dengan banyak diskusi dan petualangan. Potret kompeni di Gedung Sate menjadi salah satu kisah menarik yang selalu mengingatkanku bahwa sebuah gedung lebih dari sekadar susunan beton. Seringkali ia menyimpan jejak-jejak masa lampau, baik yang bisa kita nalar dalam sejarah maupun hal-hal yang seolah menampakkan dirinya begitu saja, yang membuat kita semakin mengagumi betapa semesta dapat bekerja di luar akal kita. 

Komentar

Baca juga...

Lelucon yang Tidak Lucu

Melintas Garis Wallace

Perempuan Sempurna

Pantai Penggajawa, Sebuah Ironi

Boybands & Me