Postingan

Menampilkan postingan dengan label Marriage

Tahun Ketujuh Pernikahan: Belajar Mencintai

Gambar
Tahun ini, pernikahan kami memasuki tahun ketujuh. Waktu berlalu begitu cepat, apalagi dengan adanya anak-anak. Perhatian kami sepenuhnya tertuju pada mereka, sehingga tak jarang lupa merawat cinta kami berdua. Dalam beberapa tahun terakhir, peran kami berubah dari pasangan menjadi orangtua, dari kekasih menjadi Ayah-Mama. Aku ingin kami selalu mengingat dan menemukan alasan untuk saling mencintai satu sama lain, bukan relasi yang tercipta sekadar akibat peran dan tugas bersama sebagai orang tua.   Ada orang yang menikah karena membayangkan pasangannya itu dapat menjadi ayah atau ibu yang baik bagi anak-anaknya. Memang salah satu tujuan menikah adalah memiliki keturunan. Tetapi suamiku menikahiku bukan karena itu. Sekarang sedang ramai ya, bahasan soal keputusan untuk tidak memiliki anak. Perbincangan seperti itu juga ada di masa awal pernikahanku. Dia memutuskan menikah ya karena ingin hidup denganku, tidak usah punya anak juga tidak apa-apa. Aku butuh waktu beberapa bulan un...

Menyapih Aidan

Menyusui menjadi momen membangun ikatan antara ibu dan anak. Tidak semudah kelihatannya, menyusui juga punya banyak tantangan. Puting lecet, payudara bengkak, kalau soal bentuk udah jangan ditanya. Semakin besar si anak bisa menyusu dengan berbagai gaya. Ngeri-ngeri sedap.      Aku menyusui Ali sampai usianya 30 bulan. Ya, molor banget memang. Proses nyapihnya maju mundur. Bahkan dia sudah lebih dulu lulus toilet training dan bisa naik sepeda roda dua sebelum berhasil disapih. Semata karena aku nggak tega, dan semakin besar, semakin susah dibilangin, semakin berat digendong. Sehingga seringnya aku mengambil jalan mudah: susui lagi. Gitu aja terus, walaupun sounding -nya udah dari lama, tapi nggak berhasil-berhasil karena aku nggak tega. Atau capek.      Setelah akhirnya bisa disapih, aku langsung ngetawain diri sendiri dan bilang, “Kenapa gak dari dulu aja?” Haha. Ya karena ternyata enak banget udah disapih tuh. Bisa tidur sendiri tanpa dikelonin. Kit...

Problema Tahun Kelima

Romantisisme menggambarkan pernikahan sebagai akhir dari kisah indah “…and they lived happily ever after…” seolah pergulatan dan segala nestapa berhenti di sana. Padahal, realitanya pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang tentu saja akan penuh liku. “Hell is other people”  - Jean Paul Sartre - Teringat masa-masa paling indah saat menjadi anak kosan, hidup di dalam satu kamar punya sendirian, mau naro baju di mana, bangun jam berapa, di kamar mandi berapa lama, seharian nonton pilem aja ga ngapa-ngapain juga terserah. Bebash.  Setelah menikah, ada orang lain yang masuk dalam kehidupanmu. Mengubah prioritasmu. Membuatmu tidak punya waktu untuk dirimu sendiri. Suami, anak satu, anak dua. Mereka semua hadir dan memaksamu bertumbuh, mau tidak mau, siap tidak siap. Is it a good thing? YES ! But it is never easy.  Alih-alih romantisisme “…happily ever after… just the two of us…” yang lebih relevan adalah kata-katanya Patkai: “Begitulah Cinta… deritanya tiada akh...

Patriarki Sehari-hari~

Aku belom pernah nulis ya tentang kampung halaman suamiku, di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Itu jauuuuh banget. Dari Makassar masih harus naik bus 12 jam. Pertama kali ke sana waktu lebaran 2014, dua bulan setelah kami menikah. Seru sih, mengunjungi tempat baru, mengenal budaya baru. Aku suka alamnya, orang-orangnya, kulinernya. Tapi ada satu hal yang aku gak suka banget di sini: budaya patriarkinya. Terasa banget tiap lebaran, saat kita saling silaturahmi ke rumah kerabat satu kampung. Dan suasana yang di setting hampir selalu sama: orang lelaki duduk di sofa, ruang tamu. Dengan sajian kue-kue di toples cantik, es sirup, ngobrol sambil merokok. Kaum perempuan bersama anak-anak kecil diarahkan ke ruang belakang alias dapur, duduk lesehan di atas karpet, dengan kue-kue yang tersaji di atas piring, air putih di gelas kemasan plastik, sambil sesekali dipanggil suami yang minta diambilin onoh-inih. Ambilin asbak lah. Bikinin kopi lah. Nyiapin makan. Kobokan. Kobokan meeennn... Oh wow. Ku ...

Masa Kehamilan yang Kurindukan

Gambar
Kalo ngeliatin makhluk kecil yang uget-uget di gendonganku ini, aku masih suka ga percaya bahwa 3 bulan lalu dia keluar dari dalam perutku. Sekarang aku sangat menikmati masa indah menjadi ibu. Tapi kalau diingat-ingat, masa hamil menyenangkan juga, kadang kurindukan. Mengapa?   Ketika semua orang berusaha memenuhi apapun keinginanmu. Hehe… Yang namanya hamil pasti ngidam dong. Kalaupun kamu nggak ngidam-ngidam amat, saranku manfaatkanlah masa ini untuk mengungkapkan apapun yang kamu inginkan. Pingin kelapa muda … Pingin dipijitin … Pingin ketemu sama … (ups!) Atau tengah malam, Abang lapar, mau makan bala-bala … Abang buatin es teh manis … Atau sekadar menggumam iseng, kayaknya enak banget ya makan rujak, lalu beberapa jam kemudian, jeng jeng jeng, sepiring rujak segar sudah tersedia di atas mejamu! Dari siapa? Ya siapa aja bisa, hihi… You can eat whatever you want. Selama tidak berlebihan dan tidak membahayakan kesehatan kandungan, you can eat whatever y...

Ali's Birth Story

Gambar
Perempuan kerap diidentikkan sebagai makhluk lemah. Katanya laki-laki yang superior dan lebih kuat. Tapi setelah mengalami sendiri peristiwa hamil dan melahirkan, aku bisa bilang, bahwa setiap perempuan itu luar biasa. Me- manage berjuta rasa sakit, berdamai dengan tubuhnya sendiri dan berjuang bertahan demi mengantarkan sebuah kehidupan baru. Labor might be the most powerful experience a woman could have.                 Aku sudah cuti sejak 16 Mei, dan pulang ke rumah ibu di Tangerang. Abang pulang setiap Jumat sore dan balik ke Jakarta lagi Senin pagi. Buatku yang biasa beraktivitas, menunggu hari demi hari kelahiran si baby di rumah kayaknya lamaaa banget. Hamil tua tuh serba ngga enak rasanya. Gerah, sakit pinggang, sakit punggung, selangkangan, pipis melulu, payudara nyeri, huahhh you name it all! Galaunya nungguin bayi lahir tuh ternyata lebih daripada galau apapun. Apalagi kalau temen-temen se...

Pelajaran Setelah Menikah (3) Tentang Berbagi Peran

Gambar
Sejak sebelum menikah, aku sudah punya kriteria lelaki yang bakal jadi suamiku. Nomor satu, TIDAK PATRIARKIS. Ini sangat penting buatku, tipikal perempuan yang punya self-esteem tinggi. Dulu, kalau jalan sama cowok aku sering bayar makananku sendiri, aku buka pintuku sendiri, dan aku nggak masalah kalau nggak dianter pulang. I can do it all by myself. Makanya aku enggak banget sama cowok yang pikirannya sempit, yang buat dia kerjaan istri tuh sebatas dapur-sumur-kasur; aku pergi pagi pulang malam, buatkan aku kopi pagi-pagi dan pijitin aku di malam hari. Terus yang nuntut aku harus hamil dan punya anak. Kalo nggak bisa ngasih anak, minta poligami. Beuh. Minta digampol. Alhamdulillah Abangku nggak gitu. Itulah kenapa aku memilihnya jadi suamiku  Saat ini aku masih bekerja jadi wartawan, sesuatu yang sangat aku sukai. Abang tau aku enjoy sama kerjaanku, jadi dia nggak pernah menyinggung aku untuk berhenti kerja dan jadi full time wife yang ngurus rumah. Dia bahkan ...

Pelajaran Setelah Menikah (2) Tentang Memahami Kebiasaan

Gambar
Siapapun yang sudah lama mengenalku, pasti tau kalo aku orang yang sangat ceroboh. Brak bruk brak bruk asal naro. Terus pas butuh nyari-nyari. Lupa naro di mana. Pegang apa-apa jatoh. Krompyang ! Bener-bener nggak telaten. Aku juga cuek banget dan nggak peka sama hal-hal kecil. Mirip sifat cowok. Semua itu nggak pernah aku pikirin selama aku hidup sendiri. Mo lemari berantakan kayak apa kek, mo buku bertebaran di mana-mana, kasur ga pernah dirapiin, bangun siang, who cares? Paling kalo udah gak betah baru deh beberes. Lalu sekarang aku hidup sama Abang yang orangnya lumayan detail dan rapi. Suatu hari dia pulang lebih dulu daripada aku. Buku-buku yang berantakan udah diberesin. Di samping pintu dia pasang gantungan, juga tempat sepatu. Aku masuk lepas sepatu, naro tas asal, lalu bruk! Tengkurep di kasur. Tunduh. Lalu aku dipanggil, “Dek sini deh. Tiap pulang kerja sepatunya masukin ke kardusnya, trus taro di sini. Ini gantungan buat tas dan jaket. Harus dibiasain, jadi rapi te...