Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja
Akhir-akhir ini di kalangan anak muda muncul sebuah cara baru dalam berbahasa tulisan, yang lebih dikenal dengan istilah “bahasa alay”. Bahasa alay muncul dan berkembang seiring dengan pesatnya penggunaan teknologi komunikasi dan situs-situs jejaring sosial.
Bahasa alay ini mengingatkan kita pada saat maraknya bahasa gaul. Bahasa gaul adalah dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk pergaulan (KBBI, 2008: 116). Bahasa gaul identik dengan bahasa percakapan (lisan).
Kemudian kini hadir istilah “bahasa alay”. Kata “alay” bisa diartikan sebagai anak layangan, anak lebay (berlebihan), dan sebagainya. Istilah ini hadir setelah di facebook semakin marak penggunaan bahasa tulis yang tak sesuai kaidah bahasa Indonesia oleh remaja. Hingga kini belum ada definisi yang pasti tentang istilah ini, namun bahasa ini kerap dipakai untuk menunjuk bahasa tulis. Dalam bahasa alay bukan bunyi yang dipentingkan tapi variasi tulisan.
Kemunculan bahasa alay ini awalnya memang bukan di facebook, melainkan ditandai dengan maraknya penggunaan singkatan dalam mengirim pesan pendek atau SMS (short message service). Misalnya, “u gi di humz gk?” yang berarti “kamu lagi di rumah nggak?”, atau “aq lum mam” yang berarti “aku belum makan”. Tujuan awalnya adalah untuk mengirimkan pesan yang singkat, padat, dan dapat menekan biaya.
Namun seiring semakin banyaknya pengguna bahasa alay, variasi bahasa ini pun semakin banyak dan berani. Mulai dari penulisan yang menggunakan huruf besar kecil (sEpErTi iNi), sampai ke kombinasi angka, huruf, dan simbol-simbol lain (5ep3rt! In1). Kata-kata dalam bahasa alay tidak mempunyai standar yang pasti, tergantung mood atau teknik si pembuat kata.
Peranan Media Komunikasi
Menjamurnya internet dan situs-situs jejaring sosial juga berdampak signifikan terhadap perkembangan bahasa alay. Penikmat situs-situs jejaring sosial yang kebanyakan adalah remaja, menjadi agen dalam menyebarkan pertukaran bahasa alay. Tulisan seorang remaja di situs jejaring sosial yang menggunakan bahasa ini, akan dilihat dan bisa jadi ditiru oleh ribuan remaja lain.
Saking dahsyatnya penyebaran penggunaan bahasa alay, di internet saat ini bahkan sudah tersedia sebuah situs yang disebut dengan “alay generator”. Yaitu sebuah situs yang bisa menerjemahkan penulisan bahasa Indonesia yang benar ke dalam penulisan ala bahasa alay. Bahkan situs ini juga dapat diunduh lewat telepon seluler.
Sebetulnya bahasa yang menyimpang dari bahasa baku seperti ini, tidak hanya ada di Indonesia. Di luar negeri, bahasa alay lebih dikenal dengan leet speaking atau L337. Bahasa ini berisi tentang berbagai macam kombinasi karakter dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan sandi. Leet sangat populer sekitar tahun 1980.
Leet berasal dari kata "elite". Awalnya, Leet speaking digunakan oleh para hacker dan gamer online. Hacker menggunakan Leet speaking ini untuk berkomunikasi dengan hacker lain. Tujuannya, agar kerahasiaan pesan bisa terjaga, karena tidak setiap orang bisa membacanya.
Penggunaan leet ini awalnya untuk mengelabuhi teks filter yang ada di IRC yang digunakan untuk menyaring kata-kata kotor dan porno. Contoh bahasa leet “joo” artinya you, “the” jadi t3h dan masih banyak lagi.
Mengapa Remaja?
Ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu identitas dan pengakuan. Penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa jadi pembentukan kedua hal di atas. Menurut Derrida bahasa merupakan penginterpretasian sebuah tanda. Bahasa merupakan simbol utama yang diproduksi dan dikonsumsi manusia. Bahasa merupakan muara dari imajinasi, pemikiran, bahkan konsep realitas dunia.
Menurut Lina Meilinawati, pengamat bahasa dari Fakultas Sastra Indonesia Unpad, ada dua hal alasan utama remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri (alay), “Pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Yang kedua, ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan,” jelasnya. Artinya, remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula.
Lina mengungkapkan, remaja sebagai kelompok usia yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa tulis di facebook. Ada semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup (lifestyle) mereka.
Remaja yang masih labil dan gemar meniru, sangat mudah tertular dan memilih menggunakan bahasa ini daripada menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Apalagi ada anggapan bahwa bahasa ini adalah bahasa gaul, sehingga orang yang tidak menggunakannya akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno,” ujar dosen Fakultas Sastra Unpad ini.
Menurut Owen (dalam Papalia: 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metafora, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat, bahkan perasaan mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul atau bahasa alay.
Indra Sarathan, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran berpendapat, munculnya fenomena bahasa alay di kalangan generasi muda adalah sebuah bentuk pemberontakan. Pemberontakan hanya akan terjadi jika ada sesuatu yang salah. Lalu apa yang salah?
“Bukan karena bahasa Indonesia yang kaku, melainkan metode pembelajaran di kelas yang mungkin kaku. Padahal tata bahasa Indonesia termasuk yang fleksibel dan mudah dipelajari,” ujarnya.
Sobana Hardjasaputra dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Bahasa Nasional yang Belum Menasional” menyebutkan sejumlah hal yang menyebabkan bahasa Indonesia bisa semakin “tidak menasional”, di antaranya pengaruh bahasa media massa dan “bahasa gaul” bagi kalangan remaja.
Oleh karena terbiasa menggunakan “bahasa gaul”, dalam pembicaraan formal pun para remaja lupa untuk berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Inilah yang gawat. Selain itu, pengaruh budaya Barat yang sulit dibendung, akibat perkembangan teknologi juga akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang semakin tidak merakyat.
Fenomena lain ditunjukkan pada saat ujian negara atau ujian nasional. Bahkan pada UN April lalu, banyak siswa SMP dan SMA jatuh nilainya pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, bagaimana jadinya bahasa Indonesia nanti di tangan mereka? Mereka saat ini pun lebih suka menggunakan bahasa gaul atau bahasa alay yang jauh melenceng dari kaidah bahasa Indonesia.
Bahasa Alay versus Bahasa Indonesia
Kurangnya pemahaman remaja akan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar serta minimnya kesadaran mereka dalam menggunakannya, sedikit-banyak akan berdampak terhadap eksistensi bahasa Indonesia, khususnya yang formal. Masih banyak orang Indonesia yang cenderung tak peduli dengan pentingnya bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.
Berdasarkan sumber kutipan dari http://mgmpbismp.co.cc/2009/06/17/pembusukan-penggunaan-bahasa-indonesia/, kerusakan bahasa bisa disebabkan oleh tiga hal yaitu: pertama, pembusukan yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Kedua, pembusukan yang dilakukan oleh kaum elite di berbagai lapis dan kini yang seharusnya menjadi anutan sosial dalam berbahasa. Ketiga, pembusukan akibat merebaknya gejala tuturan Indonesian-English.
Hal ini berkaitan dengan hasil studi Lina Meilinawati yang menemukan beberapa kecenderungan dalam bahasa tulis alay. Pertama, ada penyingkatan dengan penghilangan huruf vokal, contoh “Gk tau tuh.tp bisa jd jg”. Kedua, penulisan huruf kapital yang tidak semestinya, contoh “hrZ dOnk Bro..” Ketiga, penulisan huruf dan tanda baca yang berlebihan, contohnya “muaachhh,, wkwkwkkwk!!” Keempat, ada penulisan angka dalam kata, contohnya “nah 9t dunk5”. Penulisan berdasarkan kesamaan bunyi, contohnya “hmm gpp jugga sichh, hhoho.”
Nah, mungkin bisa ditambah juga dengan penulisan kata bahasa Inggris yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya. Contoh: “Thx bgdzz yuaa..” atau “u ada d humz gag?” atau “gut nait...naiz dlimzz beibh.” Soal media massa sebagai panutan utama bagi bahasa Indonesia yang baik dan benar, itu sudah pasti. Karena seperti dikatakan tokoh bahasa kita Remy Sylado, media massa adalah guru pertama masyarakat dalam belajar bahasa Indonesia. Bukan guru, bukan sarjana bahasa.
Perusak atau Sekedar Variasi?
David Crystal dalam bukunya Texting: The Gr8 Db8, mencoba menjawab kenapa orang gemar mengirim pesan pendek dengan cara menyingkat-nyingkat tulisan. Menurutnya, orang suka menulis demikian karena menganggapnya sebagai sebuah permainan kreativitas.
Ia juga mengatakan bahwa penggunaan singkatan bukan hanya ada sejak zaman telepon genggam ataupun jejaring sosial. Dalam surat resmi pun dari dulu sudah ada inisial ”A.S.A.P” (sesegera mungkin), ”R.S.V.P” (mohon jawaban), atau ”cc” (tembusan).
Meski begitu, David Crystal yang juga seorang linguis profesional mengaku tidak cemas dengan fenomena perubahan penulisan bahasa ini. Sebab, kata Crystal, fenomena ini tak lebih dari sekedar percik buih dalam samudra bahasa. Lagi pula, sejak dulu manusia memang senang bermain-main dengan bahasa, dan sampai sekarang kita masih bisa saling berkomunikasi dengan baik.
Indra Sarathan juga berpendapat, fenomena ini tak perlu dikhawatirkan. Karena menurutnya, bahasa alay adalah bahasa bagi komunitas alay. Jangan ditempatkan sebagai bagian dari bahasa Indonesia. “Bahasa alay adalah bahasa alay, bukan bagian dari bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia yang salah. Bahasa alay berkembang tanpa terikat dengan bahasa Indonesia,” jelasnya. Karena bukan bahasa Indonesia, tentu saja bahasa alay tidak perlu mengikuti kaidah bahasa Indonesia serta tidak digunakan dalam tulisan formal, artikel ilmiah dan tulisan publik. Bahasa alay hanya untuk lingkungannya sendiri.
Fenomena penggunaan bahasa gaul atau bahasa alay dalam masyarakat sebenarnya sah-sah saja jika digunakan sesuai dengan porsinya dan tepat sasaran. Masalahnya sekarang, penggunaan bahasa gaul atau bahasa alay yang populer dikalangan remaja merusak tatanan dan mengancam eksistensi bahasa Indonesia di masa mendatang. Mereka lebih suka menggunakan bahasa gaul yang bebas dan tidak mempunyai aturan daripada menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa alay ini mengingatkan kita pada saat maraknya bahasa gaul. Bahasa gaul adalah dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk pergaulan (KBBI, 2008: 116). Bahasa gaul identik dengan bahasa percakapan (lisan).
Kemudian kini hadir istilah “bahasa alay”. Kata “alay” bisa diartikan sebagai anak layangan, anak lebay (berlebihan), dan sebagainya. Istilah ini hadir setelah di facebook semakin marak penggunaan bahasa tulis yang tak sesuai kaidah bahasa Indonesia oleh remaja. Hingga kini belum ada definisi yang pasti tentang istilah ini, namun bahasa ini kerap dipakai untuk menunjuk bahasa tulis. Dalam bahasa alay bukan bunyi yang dipentingkan tapi variasi tulisan.
Kemunculan bahasa alay ini awalnya memang bukan di facebook, melainkan ditandai dengan maraknya penggunaan singkatan dalam mengirim pesan pendek atau SMS (short message service). Misalnya, “u gi di humz gk?” yang berarti “kamu lagi di rumah nggak?”, atau “aq lum mam” yang berarti “aku belum makan”. Tujuan awalnya adalah untuk mengirimkan pesan yang singkat, padat, dan dapat menekan biaya.
Namun seiring semakin banyaknya pengguna bahasa alay, variasi bahasa ini pun semakin banyak dan berani. Mulai dari penulisan yang menggunakan huruf besar kecil (sEpErTi iNi), sampai ke kombinasi angka, huruf, dan simbol-simbol lain (5ep3rt! In1). Kata-kata dalam bahasa alay tidak mempunyai standar yang pasti, tergantung mood atau teknik si pembuat kata.
Peranan Media Komunikasi
Menjamurnya internet dan situs-situs jejaring sosial juga berdampak signifikan terhadap perkembangan bahasa alay. Penikmat situs-situs jejaring sosial yang kebanyakan adalah remaja, menjadi agen dalam menyebarkan pertukaran bahasa alay. Tulisan seorang remaja di situs jejaring sosial yang menggunakan bahasa ini, akan dilihat dan bisa jadi ditiru oleh ribuan remaja lain.
Saking dahsyatnya penyebaran penggunaan bahasa alay, di internet saat ini bahkan sudah tersedia sebuah situs yang disebut dengan “alay generator”. Yaitu sebuah situs yang bisa menerjemahkan penulisan bahasa Indonesia yang benar ke dalam penulisan ala bahasa alay. Bahkan situs ini juga dapat diunduh lewat telepon seluler.
Sebetulnya bahasa yang menyimpang dari bahasa baku seperti ini, tidak hanya ada di Indonesia. Di luar negeri, bahasa alay lebih dikenal dengan leet speaking atau L337. Bahasa ini berisi tentang berbagai macam kombinasi karakter dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan sandi. Leet sangat populer sekitar tahun 1980.
Leet berasal dari kata "elite". Awalnya, Leet speaking digunakan oleh para hacker dan gamer online. Hacker menggunakan Leet speaking ini untuk berkomunikasi dengan hacker lain. Tujuannya, agar kerahasiaan pesan bisa terjaga, karena tidak setiap orang bisa membacanya.
Penggunaan leet ini awalnya untuk mengelabuhi teks filter yang ada di IRC yang digunakan untuk menyaring kata-kata kotor dan porno. Contoh bahasa leet “joo” artinya you, “the” jadi t3h dan masih banyak lagi.
Mengapa Remaja?
Ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu identitas dan pengakuan. Penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa jadi pembentukan kedua hal di atas. Menurut Derrida bahasa merupakan penginterpretasian sebuah tanda. Bahasa merupakan simbol utama yang diproduksi dan dikonsumsi manusia. Bahasa merupakan muara dari imajinasi, pemikiran, bahkan konsep realitas dunia.
Menurut Lina Meilinawati, pengamat bahasa dari Fakultas Sastra Indonesia Unpad, ada dua hal alasan utama remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri (alay), “Pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Yang kedua, ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan,” jelasnya. Artinya, remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula.
Lina mengungkapkan, remaja sebagai kelompok usia yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa tulis di facebook. Ada semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup (lifestyle) mereka.
Remaja yang masih labil dan gemar meniru, sangat mudah tertular dan memilih menggunakan bahasa ini daripada menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Apalagi ada anggapan bahwa bahasa ini adalah bahasa gaul, sehingga orang yang tidak menggunakannya akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno,” ujar dosen Fakultas Sastra Unpad ini.
Menurut Owen (dalam Papalia: 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metafora, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat, bahkan perasaan mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul atau bahasa alay.
Indra Sarathan, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran berpendapat, munculnya fenomena bahasa alay di kalangan generasi muda adalah sebuah bentuk pemberontakan. Pemberontakan hanya akan terjadi jika ada sesuatu yang salah. Lalu apa yang salah?
“Bukan karena bahasa Indonesia yang kaku, melainkan metode pembelajaran di kelas yang mungkin kaku. Padahal tata bahasa Indonesia termasuk yang fleksibel dan mudah dipelajari,” ujarnya.
Sobana Hardjasaputra dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Bahasa Nasional yang Belum Menasional” menyebutkan sejumlah hal yang menyebabkan bahasa Indonesia bisa semakin “tidak menasional”, di antaranya pengaruh bahasa media massa dan “bahasa gaul” bagi kalangan remaja.
Oleh karena terbiasa menggunakan “bahasa gaul”, dalam pembicaraan formal pun para remaja lupa untuk berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Inilah yang gawat. Selain itu, pengaruh budaya Barat yang sulit dibendung, akibat perkembangan teknologi juga akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang semakin tidak merakyat.
Fenomena lain ditunjukkan pada saat ujian negara atau ujian nasional. Bahkan pada UN April lalu, banyak siswa SMP dan SMA jatuh nilainya pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, bagaimana jadinya bahasa Indonesia nanti di tangan mereka? Mereka saat ini pun lebih suka menggunakan bahasa gaul atau bahasa alay yang jauh melenceng dari kaidah bahasa Indonesia.
Bahasa Alay versus Bahasa Indonesia
Kurangnya pemahaman remaja akan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar serta minimnya kesadaran mereka dalam menggunakannya, sedikit-banyak akan berdampak terhadap eksistensi bahasa Indonesia, khususnya yang formal. Masih banyak orang Indonesia yang cenderung tak peduli dengan pentingnya bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.
Berdasarkan sumber kutipan dari http://mgmpbismp.co.cc/2009/06/17/pembusukan-penggunaan-bahasa-indonesia/, kerusakan bahasa bisa disebabkan oleh tiga hal yaitu: pertama, pembusukan yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Kedua, pembusukan yang dilakukan oleh kaum elite di berbagai lapis dan kini yang seharusnya menjadi anutan sosial dalam berbahasa. Ketiga, pembusukan akibat merebaknya gejala tuturan Indonesian-English.
Hal ini berkaitan dengan hasil studi Lina Meilinawati yang menemukan beberapa kecenderungan dalam bahasa tulis alay. Pertama, ada penyingkatan dengan penghilangan huruf vokal, contoh “Gk tau tuh.tp bisa jd jg”. Kedua, penulisan huruf kapital yang tidak semestinya, contoh “hrZ dOnk Bro..” Ketiga, penulisan huruf dan tanda baca yang berlebihan, contohnya “muaachhh,, wkwkwkkwk!!” Keempat, ada penulisan angka dalam kata, contohnya “nah 9t dunk5”. Penulisan berdasarkan kesamaan bunyi, contohnya “hmm gpp jugga sichh, hhoho.”
Nah, mungkin bisa ditambah juga dengan penulisan kata bahasa Inggris yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya. Contoh: “Thx bgdzz yuaa..” atau “u ada d humz gag?” atau “gut nait...naiz dlimzz beibh.” Soal media massa sebagai panutan utama bagi bahasa Indonesia yang baik dan benar, itu sudah pasti. Karena seperti dikatakan tokoh bahasa kita Remy Sylado, media massa adalah guru pertama masyarakat dalam belajar bahasa Indonesia. Bukan guru, bukan sarjana bahasa.
Perusak atau Sekedar Variasi?
David Crystal dalam bukunya Texting: The Gr8 Db8, mencoba menjawab kenapa orang gemar mengirim pesan pendek dengan cara menyingkat-nyingkat tulisan. Menurutnya, orang suka menulis demikian karena menganggapnya sebagai sebuah permainan kreativitas.
Ia juga mengatakan bahwa penggunaan singkatan bukan hanya ada sejak zaman telepon genggam ataupun jejaring sosial. Dalam surat resmi pun dari dulu sudah ada inisial ”A.S.A.P” (sesegera mungkin), ”R.S.V.P” (mohon jawaban), atau ”cc” (tembusan).
Meski begitu, David Crystal yang juga seorang linguis profesional mengaku tidak cemas dengan fenomena perubahan penulisan bahasa ini. Sebab, kata Crystal, fenomena ini tak lebih dari sekedar percik buih dalam samudra bahasa. Lagi pula, sejak dulu manusia memang senang bermain-main dengan bahasa, dan sampai sekarang kita masih bisa saling berkomunikasi dengan baik.
Indra Sarathan juga berpendapat, fenomena ini tak perlu dikhawatirkan. Karena menurutnya, bahasa alay adalah bahasa bagi komunitas alay. Jangan ditempatkan sebagai bagian dari bahasa Indonesia. “Bahasa alay adalah bahasa alay, bukan bagian dari bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia yang salah. Bahasa alay berkembang tanpa terikat dengan bahasa Indonesia,” jelasnya. Karena bukan bahasa Indonesia, tentu saja bahasa alay tidak perlu mengikuti kaidah bahasa Indonesia serta tidak digunakan dalam tulisan formal, artikel ilmiah dan tulisan publik. Bahasa alay hanya untuk lingkungannya sendiri.
Fenomena penggunaan bahasa gaul atau bahasa alay dalam masyarakat sebenarnya sah-sah saja jika digunakan sesuai dengan porsinya dan tepat sasaran. Masalahnya sekarang, penggunaan bahasa gaul atau bahasa alay yang populer dikalangan remaja merusak tatanan dan mengancam eksistensi bahasa Indonesia di masa mendatang. Mereka lebih suka menggunakan bahasa gaul yang bebas dan tidak mempunyai aturan daripada menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
bagus tulisannya
BalasHapus