Bertahan di Penataran

22 April 2011

Jam dinding masih menunjukkan pukul 4.30 pagi, tapi aku sudah bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Hari ini aku akan jalan-jalan ke Blitar sama kawanku Uphay. Ziarah ke makam Bung Karno, proklamator kita.

Si Uphay masih tertidur dengan buku Gandhi dan stabilo di sisinya. Ckckck… udah warna-warni aja tuh buku. Oooiiii…banguuuunnn… kita ditungguin Bung Karno!

Stasiun udah ramai aja sama orang-orang yang antri di loket. Kereta Penataran di jadwalnya sih tertulis akan datang pukul 7.30 pagi. Perjalanan ke Blitar akan memakan waktu 3 jam.

Kami nunggu kereta di peron 4 sambil ngobrol-ngobrol. Masih tentang berbagai macam permasalahan bangsa dan negara. Ya ampun Phay, gue belom sarapan ini…ntar jadi laper. Tapi emang seru banget sih obrolannya, ke sana ke mari ibarat menelusuri gumpalan benang kusut yang nggak tau di mana ujungnya, hehehe…

Sejujurnya aku kangen sekali masa-masa diskusi seperti ini. Dulu aku biasa berdiskusi dengan Ami, Hani, dan Dewi, sahabat-sahabatku yang cerdas luar biasa. Sejak Ami dan Hani menikah, dan Dewi sibuk kerja dan pindah kosan, aku jarang lagi memberikan nutrisi untuk otakku. Jadi, meskipun aku rada pusing diajak ngomongin beginian, terima kasih Phay, udah mengingatkanku akan semangatku dulu, yang hampir saja pudar. “Apatis sih boleh aja, asal jangan sampai jadi fatalis, Kak!” katanya.

Obrolan kita seru banget sampe nggak sadar berapa banyak waktu yang sudah terlewatkan. Astaga, jarum sudah menunjukkan pukul 9 tapi si Penataran belom dateng juga! Berarti udah hampir 2 jam kita nunggu. Katanya masih terhenti di stasiun Bangil. “Lamski Lambretta ya cyiiinn…”

Dan diskusi pun berlanjut membicarakan kebobrokan fasilitas publik di negara ini. Sistem transportasi massal yang nggak becus kayak gini sangat berpengaruh terhadap produktivitas roda perekonomian rakyat. Coba bayangkan, berapa banyak waktu dan kesempatan yang mungkin saja terbuang dalam kurun waktu 2 jam ini? Seharusnya kita sudah bisa melakukan hal lain ketimbang duduk bengong nungguin kereta datang.

Akhirnya si Penataran dateng juga. Masya Alloh, penuh banget… Jujur saja, ini pengalaman pertamaku naik kereta ekonomi seperti ini. Kalau di Jakarta kan ada KRL Jakarta-Bogor, menurutku segitu aja udah parah ya, dan di Penataran ini sepertinya lebih parah lagi!

“Kak, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari naik kereta ekonomi. Pelajaran pertama adalah, bagaimana bersaing masuk ke dalam kereta dengan segitu banyak orang yang mengantri. Pelajaran kedua, adalah mencari posisi dan yang lebih penting, mempertahankan pijakan kita di antara puluhan pedagang asongan yang lewat bolak-balik. Pelajaran ketiga, adalah bagaimana turun dari kereta, berdesakan sama orang-orang yang mau naik,” kata Uphay.

Dan beneran lah, pelajaran pertama aja udah susah banget! Itu kereta sumpah penuhnya kayak apa tau, ratusan orang dijejali dalam gerbong sempit. Aku berusaha melangkah masuk ke dalam, didorong-dorong orang dari belakang yang sudah berdesakan ingin mendapat tempat.

Ya Alloh, orang-orang banyak yang jongkok dan ndelosor di bawah. Ada mbah-mbah, sampai dedek bayi yang masih merah. Punten… Nun sewu bu…berulang kata maaf aku ucapkan saat melewati mereka. Ya Alloh, maaf… maaf banget aku beberapa kali melangkahi orang-orang yang duduk di bawah itu. Gerbongnya juga sempit dan kotor banget, manusia, barang dagangan, tas, dan sampah bercampur jadi satu.

Sampai di tengah gerbong, kami berdua dapat posisi berdiri yang aman. Kereta mulai bergerak, dan pelajaran kedua pun dimulai. Pedagang asongan, pengamen, tukang bersih-bersih lewat nggak berhenti-berhenti. Uphay tersenyum, “Inget kak, pelajaran kedua!” sebelumnya aku nggak pernah membayangkan hal ini. Bagaimana ratusan orang, mulai dari dedek bayi sampai mbah-mbah yang udah tua, berjejalan di gerbong yang sempit, kotor, dan ekstra panas ini. Dan di tengah suasana yang sempit dan gerah, kita tetap harus rela berbagi tempat dan jalan untuk para pengamen, pedagang asongan, dan tukang bersih-bersih yang terus bersemangat mengais rezeki.

“Yah ginilah Kak, kereta rakyat…”

Aku masih speechless. Uphay tersenyum saja.

Luar biasa orang-orang ini. Aku saja yang baru pertama kali dan baru 15 menit di kereta, rasanya sudah pengen turun lagi. Coba bayangkan bagaimana orang yang harus naik kereta ini setiap hari, pulang-pergi? Bayangkan bagaimana dengan orang yang sudah berdiri sejak stasiun Surabaya?

Di tengah suasana yang semrawut dan bising itu, aku teringat kembali obrolanku dengan Uphay tentang kebobrokan pemimpin bangsa ini. Orang-orang yang mengaku anggota dewan perwakilan rakyat yang ngotot dibikinin gedung baru seharga 1,1 triliun. Yang plesiran ke luar negeri. Ya Alloh, nggak punya hati amat sih mereka… Penderitaan rakyat segininya, apa mereka nggak pernah tau ya? Rasanya hati ini diiris-iris. Diam-diam aku merasa ingin menangis.

“Phay, aku pernah naik KRL Ekonomi Jakarta-Bogor, tapi nggak separah ini,”
“Yah, ini mah belum ada apa-apanya Kak!”
“What could be worse than this?”
“Matarmaja! Juara dah tuh!”

Sampai sekarang aku belum bisa membayangkan seperti apa suasana di kereta Matarmaja itu. Apa yang bisa lebih parah daripada ini.

Di stasiun Kepanjen, beberapa orang turun. Aku dan Uphay pun dapat tempat duduk, meskipun hanya setengah pantat duduknya. Nggak berapa lama, ada seorang ibu dengan bawaan yang banyak, dan menggendong seorang bayi perempuan yang tertidur pulas. Aku dan Uphay buru-buru berdiri menawarkan tempat duduk kami. Si Ibu tersenyum, mengucapkan terima kasih. Tapi ia tetap mau berbagi sedikit tempat duduk untuk kami.

Aku memperhatikan adik bayi di gendongannya. Mungkin usianya baru 6 bulan. Pulas sekali tidurnya, meski dengan keringat dan kulit memerah kepanasan. Sudahlah dik, tidur saja. Biar kau nyaman di mimpi indahmu. Si ibu tak henti-henti mengipasi anaknya.

Tak berapa lama kemudian, bayi itu bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan melihat sekeliling. Ah, adik bayi yang cantik sekali! Uphay langsung tersenyum dan menyapa adik bayi yang baru bangun itu. Eh, tanpa disangka-sangka, si adik bayi langsung tertawa senang disapa Uphay. Matanya yang lentik berbinar-binar menggemaskan.

Ya Tuhan… adik bayi itu saja masih bisa tertawa di tengah kesumpekan ini. Malu rasanya jika aku masih mengeluh.

Panas di dalam kereta semakin menyengat. Pasti matahari sekarang sudah ada di atas kepala. Aku melihat jam tanganku. Hampir pukul 12 siang. Laju kereta melambat perlahan hingga akhirnya berhenti tepat di Stasiun Blitar. Yak, selamat datang di Blitar. Dan, pelajaran ketiga pun dimulai: bagaimana turun dari kereta Penataran ini, berdesakan dengan lainnya yang mau turun, juga yang tak sabar mau naik. Huffftt...

***

Komentar

Baca juga...

Kaleidoskop Indonesia 2008

Mengintip Lahan Dakwah di Pulau Nanga

Kepingan Sejarah di Bumi Sriwijaya

Ibu, Jangan Diam Saja! (Menyikapi Bullying terhadap Anak)

Doa