Senyuman untuk Petugas Gerbang Tol
Pernahkah kamu membayangkan bagaimana rasanya duduk berjam-jam di dalam sebuah ruangan yang sempit, di tengah deru kendaraan, sendirian? Pasti gerah, bosan, pegel, pusing kepala... ya, siapa yang tak pernah lewat jalan tol? Siapa yang tak pernah bayar atau ambil karcis di gerbangnya?
Kita semua pasti sudah ribuan kali melakukan hal itu. Lewat gerbang tol, berhenti untuk bayar atau ambil karcis dari petugas, dan wusss... ngebut lagi. Pernahkah kita menyadari, setidaknya, bahwa ada seorang petugas, seorang manusia di sana, di dalam loket kecil itu? Bahwa yang memberikan tiket itu adalah seseorang seperti kita yang punya wajah, perasaan, dan perut? Sepertinya tak semua orang menyadari. Tapi Bapak saya berbeda. Salah satu yang saya sukai darinya adalah tentang hal-hal kecil yang ia lakukan, namun besar maknanya bagi orang lain. Seperti juga hal kecil yang selalu ia lakukan kepada para petugas pintu gerbang tol: tersenyum dan menyapa.
Setiap melewati pintu gerbang tol, Bapak dengan wajah dan senyum yang jenaka, selalu menyapa ramah petugas yang duduk di sana. Tak jarang Bapak juga melontarkan lelucon sederhana yang bisa membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak layaknya kawan yang sudah lama kenal. Yang tak pernah ketinggalan, Bapak selalu menyapa nama petugas tersebut, yang terpampang di kaca loket. “Selamat pagi Mas Haryanto! Sudah makan, Mas?” atau “Assalamualaikum, Mbak Siti! Jangan melamun aja, Mbak! Hehe...” Tak pelak, mereka tertawa senang mendengar teguran Bapak saya.
Lucunya, pernah juga Bapak udah dengan semangat ‘45 menyapa petugas yang di papan namanya tertulis “KHAERUDDIN”, tapi ternyata yang ada di dalamnya justru seorang Mbak berkerudung. “Assalamualaikum, Mbak Khaeruddin!” Lho?! Hahaha! Ibu, saya, dan adik tentu saja ketawa ngakak, sementara si “Mbak Khaeruddin” tersipu malu. “Saya lagi gantiin Mas Khaeruddin, Pak.” “Oh kirain namanya beneran Mbak Khaeruddin... Hehehe!”
Kebiasaan itu masih dilakukan Bapak sampai sekarang, malah kini banyak petugas gerbang tol yang duluan menyapanya. Padahal Bapak juga kayaknya udah lupa kalau dulu ia pernah menyapa Mas atau Mbak itu, tapi ya tetap saja senang, dikenal oleh orang yang tidak kita kenal, hahaha! Saya membayangkan kalau saya jadi petugas gerbang tol itu, pasti akan senang sekali. Di antara ribuan pengemudi mobil yang mungkin tak menyadari bahwa ada seorang manusia di sana, kemudian ada seorang pengemudi yang datang dengan senyum dan sapaannya. Layaknya setetes embun di tengah padang pasir, hehehe... Walau kadang konyol, setidaknya Bapak saya menganggap para petugas gerbang tol itu ada, sebagai manusia, bukannya sebagai sebuah robot atau mesin yang tinggal dipencet tombol, ambil tiketnya. Bapak saya mengakui eksistensi mereka sebagai seseorang yang punya hati, punya perasaan. Bapak saya menghargai keberadaan mereka, hanya dengan hal paling sepele sekaligus paling bermakna: senyuman.
Dalam keluarga, saya memang dididik untuk tidak meremehkan hal-hal kecil, apalagi senyuman. Bapak selalu mengingatkan saya untuk tersenyum, kepada orang-orang yang tidak dikenal sekalipun. Tukang siomay, pemulung, nenek-nenek pemanggul kayu bakar, anak kecil, semuanya! Bagi saya, kalau saya lagi badmood dan tiba-tiba seseorang (apalagi yang tidak saya kenal) tersenyum tulus kepada saya, bisa dipastikan beban saya akan terasa berkurang. The power of smile, saya sudah tidak meragukan itu.
Ada juga misalnya saat Ibu saya ingin menyumbang untuk anak-anak sebuah kampung yang cukup terpencil di daerah Pandeglang. Ibu saya mikir, apa lagi yang harus disumbangkan, ya? Baju, seragam sekolah, sepatu, alhamdulillah sudah banyak yang ngasih. Kemudian Ibu teringat satu hal: celana dalam! Ya, itu dia! Kalau kamu ke kampung-kampung terpencil, coba deh perhatikan celana dalam yang dikenakan anak-anak kecilnya. Kebanyakan sudah kumal, kotor, kedodoran, nggak nyaman lah pokoknya. Jelek-jelek lagi. Padahal tentu kita semua tahu, celana dalam itu ‘kan kita pakai setiap hari, dan berfungsi melindungi bagian tubuh kita yang cukup sensitif. Harus selalu bersih, harus nyaman, tidak boleh lembab. Kalau banyak kuman di selangkangan, tentu banyak penyakit nantinya.
Akhirnya jadilah Ibu pergi ke pasar membeli berbagai macam model celana dalam dan kaos dalam. Warna-warni, banyak rendanya. Pokoknya lucu-lucu deh. Dan ketika anak-anak kampung itu menerima celana dalam-celana dalam mereka, waaaa mereka senang sekali! Ada yang langsung dipakai, nggak mau dicopot-copot. Ada juga yang maunya pake celana dalam aja, nggak mau pake baju lagi. Waduuh gawat juga ya, hihihi. Senang juga melihat anak-anak itu sekarang udah pake celana dalam yang bagus, warna-warni, nggak kumal dan kedodoran lagi. Orang-orang senengnya membeli makanan, baju mahal-mahal, tapi sedikit sekali yang inget bahwa pakaian yang paling deket nempel dengan kulit kita adalah celana dalam dan kutang, dan betapa kenyamanan pakaian dalam sangat penting adanya. Begitulah, betapa hal-hal kecil yang penting ternyata sering luput dari perhatian kita. Saya sangat beruntung dibesarkan dalam keluarga yang selalu menghargai hal-hal kecil itu.
Kita semua pasti sudah ribuan kali melakukan hal itu. Lewat gerbang tol, berhenti untuk bayar atau ambil karcis dari petugas, dan wusss... ngebut lagi. Pernahkah kita menyadari, setidaknya, bahwa ada seorang petugas, seorang manusia di sana, di dalam loket kecil itu? Bahwa yang memberikan tiket itu adalah seseorang seperti kita yang punya wajah, perasaan, dan perut? Sepertinya tak semua orang menyadari. Tapi Bapak saya berbeda. Salah satu yang saya sukai darinya adalah tentang hal-hal kecil yang ia lakukan, namun besar maknanya bagi orang lain. Seperti juga hal kecil yang selalu ia lakukan kepada para petugas pintu gerbang tol: tersenyum dan menyapa.
Setiap melewati pintu gerbang tol, Bapak dengan wajah dan senyum yang jenaka, selalu menyapa ramah petugas yang duduk di sana. Tak jarang Bapak juga melontarkan lelucon sederhana yang bisa membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak layaknya kawan yang sudah lama kenal. Yang tak pernah ketinggalan, Bapak selalu menyapa nama petugas tersebut, yang terpampang di kaca loket. “Selamat pagi Mas Haryanto! Sudah makan, Mas?” atau “Assalamualaikum, Mbak Siti! Jangan melamun aja, Mbak! Hehe...” Tak pelak, mereka tertawa senang mendengar teguran Bapak saya.
Lucunya, pernah juga Bapak udah dengan semangat ‘45 menyapa petugas yang di papan namanya tertulis “KHAERUDDIN”, tapi ternyata yang ada di dalamnya justru seorang Mbak berkerudung. “Assalamualaikum, Mbak Khaeruddin!” Lho?! Hahaha! Ibu, saya, dan adik tentu saja ketawa ngakak, sementara si “Mbak Khaeruddin” tersipu malu. “Saya lagi gantiin Mas Khaeruddin, Pak.” “Oh kirain namanya beneran Mbak Khaeruddin... Hehehe!”
Kebiasaan itu masih dilakukan Bapak sampai sekarang, malah kini banyak petugas gerbang tol yang duluan menyapanya. Padahal Bapak juga kayaknya udah lupa kalau dulu ia pernah menyapa Mas atau Mbak itu, tapi ya tetap saja senang, dikenal oleh orang yang tidak kita kenal, hahaha! Saya membayangkan kalau saya jadi petugas gerbang tol itu, pasti akan senang sekali. Di antara ribuan pengemudi mobil yang mungkin tak menyadari bahwa ada seorang manusia di sana, kemudian ada seorang pengemudi yang datang dengan senyum dan sapaannya. Layaknya setetes embun di tengah padang pasir, hehehe... Walau kadang konyol, setidaknya Bapak saya menganggap para petugas gerbang tol itu ada, sebagai manusia, bukannya sebagai sebuah robot atau mesin yang tinggal dipencet tombol, ambil tiketnya. Bapak saya mengakui eksistensi mereka sebagai seseorang yang punya hati, punya perasaan. Bapak saya menghargai keberadaan mereka, hanya dengan hal paling sepele sekaligus paling bermakna: senyuman.
Dalam keluarga, saya memang dididik untuk tidak meremehkan hal-hal kecil, apalagi senyuman. Bapak selalu mengingatkan saya untuk tersenyum, kepada orang-orang yang tidak dikenal sekalipun. Tukang siomay, pemulung, nenek-nenek pemanggul kayu bakar, anak kecil, semuanya! Bagi saya, kalau saya lagi badmood dan tiba-tiba seseorang (apalagi yang tidak saya kenal) tersenyum tulus kepada saya, bisa dipastikan beban saya akan terasa berkurang. The power of smile, saya sudah tidak meragukan itu.
Ada juga misalnya saat Ibu saya ingin menyumbang untuk anak-anak sebuah kampung yang cukup terpencil di daerah Pandeglang. Ibu saya mikir, apa lagi yang harus disumbangkan, ya? Baju, seragam sekolah, sepatu, alhamdulillah sudah banyak yang ngasih. Kemudian Ibu teringat satu hal: celana dalam! Ya, itu dia! Kalau kamu ke kampung-kampung terpencil, coba deh perhatikan celana dalam yang dikenakan anak-anak kecilnya. Kebanyakan sudah kumal, kotor, kedodoran, nggak nyaman lah pokoknya. Jelek-jelek lagi. Padahal tentu kita semua tahu, celana dalam itu ‘kan kita pakai setiap hari, dan berfungsi melindungi bagian tubuh kita yang cukup sensitif. Harus selalu bersih, harus nyaman, tidak boleh lembab. Kalau banyak kuman di selangkangan, tentu banyak penyakit nantinya.
Akhirnya jadilah Ibu pergi ke pasar membeli berbagai macam model celana dalam dan kaos dalam. Warna-warni, banyak rendanya. Pokoknya lucu-lucu deh. Dan ketika anak-anak kampung itu menerima celana dalam-celana dalam mereka, waaaa mereka senang sekali! Ada yang langsung dipakai, nggak mau dicopot-copot. Ada juga yang maunya pake celana dalam aja, nggak mau pake baju lagi. Waduuh gawat juga ya, hihihi. Senang juga melihat anak-anak itu sekarang udah pake celana dalam yang bagus, warna-warni, nggak kumal dan kedodoran lagi. Orang-orang senengnya membeli makanan, baju mahal-mahal, tapi sedikit sekali yang inget bahwa pakaian yang paling deket nempel dengan kulit kita adalah celana dalam dan kutang, dan betapa kenyamanan pakaian dalam sangat penting adanya. Begitulah, betapa hal-hal kecil yang penting ternyata sering luput dari perhatian kita. Saya sangat beruntung dibesarkan dalam keluarga yang selalu menghargai hal-hal kecil itu.
Komentar
Posting Komentar