Membangun Indonesia dengan Kemerdekaan Pers
Indonesia adalah salah satu negara yang terbilang unik, di mana konsep kebangsaannya dibangun di atas tradisi cetak, alias dunia pers dan surat kabar. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar founding fathers kita adalah para penulis handal. Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Rasuna Said, Dr. Soetomo, dan tokoh bangsa lain, juga menjadi pemimpin surat kabar. Surat kabar dan pers ini digunakan untuk menyampaikan ide-ide mereka tentang kemerdekaan dan pembelaan terhadap rakyat yang ditindas pemerintahan kolonial.
Sejak dulu, efektivitas pers sebagai alat propaganda memang sudah tidak diragukan lagi. Tentu kita tahu propaganda yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) lewat salah satu majalahnya, Lekra yang laku keras saat itu. Tapi tentu saja bukan hanya PKI yang punya media. Salah satunya adalah “Soenda Berita”, sebuah surat kabar yang didirikan, dibiayai, dipertahankan oleh seorang pribumi, Tirtoadhisoerjo. Kemudian banyak bermunculan ide pergerakan kebangsaan yang disalurkan melalui tulisan-tulisan yang membakar semangat anak bangsa di berbagai media massa.
Salah satu surat kabar yang cukup terkenal dan bisa bertahan lama adalah Medan Prijaji. Surat kabar ini juga dirintis oleh Tirtoadhisoerjo. Meskipun namanya “Medan Prijaji”, surat kabar ini boleh dibaca semua orang, bukan hanya untuk mereka yang berasal dari kalangan bangsawan atau priyayi. Bahkan saat itu, Medan Prijaji menjual sahamnya kepada para pembaca, untuk menegaskan prinsip mereka, sebagai korannya rakyat. Dari sini, kita bisa melihat bahwa ungkapan bahwa pers merupakan “the fourth estate” dalam suatu negara tidaklah salah, bahkan pers bisa jadi suatu wujud kekuatan yang lebih besar lagi dalam suatu negara. Dikatakan, kita bisa membangun ideologi negara yang berawal dari idealisme pers dan kesamaan visi dalam menyejahterakan rakyat Indonesia.
Sebelum reformasi, keadaan dunia pers kita sangat jauh dari kebebasan. Baik penguasa Orde Lama maupun Orde Baru, keduanya takut terhadap kebebasan pers. Banyak alasannya, revolusi belum selesai-lah, menjaga stabilitas pembangunan-lah. Namun pasca reformasi, angin segar menyambut dunia pers kita. Salah satunya adalah dengan ditetapkannya UU No. 40 tahun 1999 yang merupakan salah satu indikasi bebasnya pers kita. Tapi apakah hal itu kemudian bisa dijadikan tolok ukur kemajuan pers kita? Kalau dinyatakan pers kita sudah maju, memangnya pers kita punya apa?
Dari sejak awal munculnya, tarik-menarik antara idealisme media massa dan komersialisme pasar memang tak ada habisnya. Karena ternyata lama kelamaan orang media itu sendiri menyadari, bahwa pers bukan sekadar ideologi, tapi juga pasar. Apalagi akhir-akhir ini, ketika pers semakin nyata menjelma menjadi sebuah industri, dimana berita dan khalayak menjadi komoditas yang bernilai dagang tinggi. Kebebasan pers banyak disalahartikan.
Hal ini diakibatkan oleh lemahnya regulasi atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap pers dan pasarnya. Hasilnya, pengertian kebebasan pers saat ini justru terkait dengan banyak kepentingan yang justru memenjarakan makna kebebasan itu sendiri. Kita selama ini masih banyak menuliskan apa yang dikatakan pemerintah. Kita belum bisa banyak menuliskan realita dan memaparkannya sebagai suatu ide yang mencerdaskan masyarakat. Dalam UU NO. 40 tahun 1999 itu juga ada sebuah kalimat yang tampaknya sedikit mengganggu prinsip idealisme pers, yaitu pers yang dinyatakan bisa berfungsi ekonomi.
Ini dia masalahnya, ketika orang-orang pebisnis melihat kesempatan emas di sini. Yang dkhawatirkan adalah, ketika fungsi konvensional pers terbawa fungsi ekonomi ini. Contohnya, banyak terbit pers kuning, atau tabloid gosip dan kriminal yang menjual mimpi dan kesengsaraan. Pers ini bukan kontrol sosial, atau alat mencerdaskan bangsa. Masyarakat kini sudah semakin pintar, mereka sendiri yang akan memberikan sanksi terhadap pers yang partisan. Toh buktinya, surat-surat kabar yang beridealisme tinggi tetap bertahan, bahkan telah memiliki pasarnya sendiri.
Guru besar sejarah Unpad, DR. Nina Herlina Lubis memberikan contoh yang apik mengenai keseimbangan yang baik antara ideologi dan permintaan pasar yang belum berjalan seimbang. Ia meneladani sosok Rosihan Anwar, yang sangat fleksibel dalam menentukan kebijakan pers yang dipimpinnya, di hadapan kuasa Orde Baru kala itu. Saat Mochtar Lubis memilih untuk mati demi mempertahankan idealismenya (Indonesia Raya), Rosihan Anwar masih bisa berbelok sedikit dan mengikuti aturan yang ada, untuk bisa bertahan dan menjadi lurus kembali.
Solusi yang dibutuhkan saat ini adalah tegasnya regulasi atau kebijakan dari pemerintah. Para insan pers juga seharusnya bisa lebih menghargai karya dan keutuhan konsep pers, yang menjadi simbol kebebasan. Dibutuhkan juga adanya pembinaan terhadap para wartawan maupun calon wartawan serta pers kuning, supaya media-media massa kita menjadi media yang sehat, mencerdaskan bangsa, serta tidak merusak idealisme dan makna kebebasan pers.
DR. Nina Lubis juga mengungkapkan, bahwa untuk menjadi idealis, wartawan harus digaji cukup, supaya ia tidak menerima uang dari sana-sini. Wartawan juga harus moderat. Pers harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, yang siap berjuang dari rakyat untuk rakyat. Wartawan bukanlah pekerjaan sampingan, ia harus punya ideologi yang kuat dan nyata.
Sejak dulu, efektivitas pers sebagai alat propaganda memang sudah tidak diragukan lagi. Tentu kita tahu propaganda yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) lewat salah satu majalahnya, Lekra yang laku keras saat itu. Tapi tentu saja bukan hanya PKI yang punya media. Salah satunya adalah “Soenda Berita”, sebuah surat kabar yang didirikan, dibiayai, dipertahankan oleh seorang pribumi, Tirtoadhisoerjo. Kemudian banyak bermunculan ide pergerakan kebangsaan yang disalurkan melalui tulisan-tulisan yang membakar semangat anak bangsa di berbagai media massa.
Salah satu surat kabar yang cukup terkenal dan bisa bertahan lama adalah Medan Prijaji. Surat kabar ini juga dirintis oleh Tirtoadhisoerjo. Meskipun namanya “Medan Prijaji”, surat kabar ini boleh dibaca semua orang, bukan hanya untuk mereka yang berasal dari kalangan bangsawan atau priyayi. Bahkan saat itu, Medan Prijaji menjual sahamnya kepada para pembaca, untuk menegaskan prinsip mereka, sebagai korannya rakyat. Dari sini, kita bisa melihat bahwa ungkapan bahwa pers merupakan “the fourth estate” dalam suatu negara tidaklah salah, bahkan pers bisa jadi suatu wujud kekuatan yang lebih besar lagi dalam suatu negara. Dikatakan, kita bisa membangun ideologi negara yang berawal dari idealisme pers dan kesamaan visi dalam menyejahterakan rakyat Indonesia.
Sebelum reformasi, keadaan dunia pers kita sangat jauh dari kebebasan. Baik penguasa Orde Lama maupun Orde Baru, keduanya takut terhadap kebebasan pers. Banyak alasannya, revolusi belum selesai-lah, menjaga stabilitas pembangunan-lah. Namun pasca reformasi, angin segar menyambut dunia pers kita. Salah satunya adalah dengan ditetapkannya UU No. 40 tahun 1999 yang merupakan salah satu indikasi bebasnya pers kita. Tapi apakah hal itu kemudian bisa dijadikan tolok ukur kemajuan pers kita? Kalau dinyatakan pers kita sudah maju, memangnya pers kita punya apa?
Dari sejak awal munculnya, tarik-menarik antara idealisme media massa dan komersialisme pasar memang tak ada habisnya. Karena ternyata lama kelamaan orang media itu sendiri menyadari, bahwa pers bukan sekadar ideologi, tapi juga pasar. Apalagi akhir-akhir ini, ketika pers semakin nyata menjelma menjadi sebuah industri, dimana berita dan khalayak menjadi komoditas yang bernilai dagang tinggi. Kebebasan pers banyak disalahartikan.
Hal ini diakibatkan oleh lemahnya regulasi atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap pers dan pasarnya. Hasilnya, pengertian kebebasan pers saat ini justru terkait dengan banyak kepentingan yang justru memenjarakan makna kebebasan itu sendiri. Kita selama ini masih banyak menuliskan apa yang dikatakan pemerintah. Kita belum bisa banyak menuliskan realita dan memaparkannya sebagai suatu ide yang mencerdaskan masyarakat. Dalam UU NO. 40 tahun 1999 itu juga ada sebuah kalimat yang tampaknya sedikit mengganggu prinsip idealisme pers, yaitu pers yang dinyatakan bisa berfungsi ekonomi.
Ini dia masalahnya, ketika orang-orang pebisnis melihat kesempatan emas di sini. Yang dkhawatirkan adalah, ketika fungsi konvensional pers terbawa fungsi ekonomi ini. Contohnya, banyak terbit pers kuning, atau tabloid gosip dan kriminal yang menjual mimpi dan kesengsaraan. Pers ini bukan kontrol sosial, atau alat mencerdaskan bangsa. Masyarakat kini sudah semakin pintar, mereka sendiri yang akan memberikan sanksi terhadap pers yang partisan. Toh buktinya, surat-surat kabar yang beridealisme tinggi tetap bertahan, bahkan telah memiliki pasarnya sendiri.
Guru besar sejarah Unpad, DR. Nina Herlina Lubis memberikan contoh yang apik mengenai keseimbangan yang baik antara ideologi dan permintaan pasar yang belum berjalan seimbang. Ia meneladani sosok Rosihan Anwar, yang sangat fleksibel dalam menentukan kebijakan pers yang dipimpinnya, di hadapan kuasa Orde Baru kala itu. Saat Mochtar Lubis memilih untuk mati demi mempertahankan idealismenya (Indonesia Raya), Rosihan Anwar masih bisa berbelok sedikit dan mengikuti aturan yang ada, untuk bisa bertahan dan menjadi lurus kembali.
Solusi yang dibutuhkan saat ini adalah tegasnya regulasi atau kebijakan dari pemerintah. Para insan pers juga seharusnya bisa lebih menghargai karya dan keutuhan konsep pers, yang menjadi simbol kebebasan. Dibutuhkan juga adanya pembinaan terhadap para wartawan maupun calon wartawan serta pers kuning, supaya media-media massa kita menjadi media yang sehat, mencerdaskan bangsa, serta tidak merusak idealisme dan makna kebebasan pers.
DR. Nina Lubis juga mengungkapkan, bahwa untuk menjadi idealis, wartawan harus digaji cukup, supaya ia tidak menerima uang dari sana-sini. Wartawan juga harus moderat. Pers harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, yang siap berjuang dari rakyat untuk rakyat. Wartawan bukanlah pekerjaan sampingan, ia harus punya ideologi yang kuat dan nyata.
Komentar
Posting Komentar