Pembelajaran Sastra untuk Sekolah Menengah
“Wahh... kagak tau dah yang kayak begituan mahh...”
Begitulah reaksi Fahmi (16), siswa kelas 1 SMA Pasundan Tanjungsari ketika ditanya soal karya-karya sastra Indonesia klasik seperti “Harimau Harimau’ Mochtar Lubis dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Ketika ditanya mengenai apa yang pelajari soal karya sastra di sekolah, ia dan kawannya serempak menjawab “Ya paling kayak puisi dan cerpen begitu kan? Belajarnya paling itu aja di sekolah.”
Pengetahuan remaja Indonesia saat ini mengenai karya-karya sastra, khususnya karya sastra Melayu klasik memang bisa dikatakan semakin minim. Mereka mungkin “pernah mendengar” istilah “angkatan 45” atau “Pujangga Baru”. Namun, mereka bisa jadi masih gelagapan ketika ditanya pendapat tentang karya H.B Jassin atau ketika diminta menceritakan kisah “Bumi Manusia” –nya Pramoedya Ananta Toer.
Hal seperti ini biasanya terjadi karena siswa di Indonesia tidak mendapatkan pelajaran sastra yang memadai saat di sekolah. Di samping masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, pengajaran sastra juga belum bisa dinikmati sepenuhnya oleh siswa. Sehingga nilai estetik dan puitik dalam sastra belum mampu membangun karakter siswa jadi lebih peka dan memiliki “rasa”.
Pengajaran sastra di kelas biasanya hanya terbatas pada menghafal nama-nama dan karya, kemudian siswa diminta untuk membuat karya sastra berupa puisi dan prosa. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk membaca dan menikmati karya sastra itu sendiri.
Ahmadun Yosi Herfanda (2007) dalam makalahnya menggambarkan kondisi terkini pengajaran sastra di sekolah. Menurutnya, pengajaran sastra di sekolah hingga kini belum maksimal. Hal ini jelas terlihat dari masih rendahnya apresiasi dan minat baca siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Pengetahuan mereka tentang sastra umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Mereka mungkin lebih kenal Pasha Ungu daripada Mochtar Lubis.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA/MA bertujuan agar siswa bisa menghargai dan menggunakan bahasa Indonesia. “Dan ada poin penting juga, pelajaran Bahasa Indonesia harus bisa membuat siswa menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Siswa juga harus menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia,” tambah Baban Banita, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unpad, saat ditanya pendapatnya mengenai pembelajaran sastra di sekolah menengah.
Sastra, Dihafal atau Dinikmati?
Kenyataannya kini di banyak sekolah menengah, pelajaran sastra masih diberikan pada siswa berupa hafalan. Sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Namun materi UN tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa soal yang berhubungan dengan sastra, namun soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan, tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan. Padahal menurut Baban, dalam belajar sastra yang paling penting adalah dengan membaca, menikmati, kemudian mengapresiasi. Apresiasi atau analisis dilakukan untuk melatih kekritisan. Dan untuk bisa menganalisis, tentu saja siswa harus membaca terlebih dahulu.
Baban menambahkan, “Ini dimungkinkan karena ada faktor guru juga. Kadang karena dianggap pelajaran mudah, guru-guru yang ditempatkan di pelajaran bahasa Indonesia, siapa saja bisa.” Ia berpendapat, kurikulum dari pemerintah sudah bagus, hanya ketika untuk dilaksanakan oleh guru, belum tentu ia bisa melaksanakan dengan metode yang benar. “Sebenarnya kompetensi guru-lah yang berpengaruh ke metode yang tidak tepat digunakan saat mengajar di kelas,” katanya.
Namun Sapardi Djoko Damono dalam sebuah tulisannya yang berjudul Sastra untuk Sekolah menyebutkan, pihak guru tak bisa selalu disalahkan. Menurutnya, justru sistem pendidikan, kurikulum-lah yang mematikan kreativitas. Ia menulis: Namun, yang menjadi permasalahan mendasar dalam sesungguhnya adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum pendidikan yang saat ini dianut tidak pernah memberikan ruang gerak yang leluasa pada pembelajaran sastra.
Sastra sebagai Hiburan
Baban Banita berpendapat, sastra bukanlah pelajaran yang berat. Ia justru mengandung banyak unsur hiburan yang jika digali dengan metode yang baik, siswa akan mudah tertarik. “Sastra itu bermanfaat, dan nikmat. Menghibur. Jadi misalnya siswa belajar apresiasi puisi, bisa kita bingkai dalam bentuk pementasan drama. Drama juga kan termasuk kajian sastra. Kalau begitu kan jadi lebih seru, siswa lebih menikmati,” ujarnya.
Sementara itu, Maryati (42), guru pengajar bahasa Indonesia di SMA Pasundan Tanjungsari mengatakan, siswanya mulai tertarik sastra manakala karya mereka seperti puisi atau cerpen dipublikasikan di majalah dinding (mading) sekolah. “Mereka banyak memanfaatkan mading untuk memajang puisi dan prosa yang mereka buat. Ini inisiatif dari siswa dan kami dorong juga. Biasanya dikordinir oleh OSIS. Dan alhamdulillah mading ini masih berjalan lancar hingga sekarang,” ujarnya bangga.
Selain itu, masih dalam rangka meningkatkan minat sastra kepada para siswanya, Wiwin mengatakan ia selalu berupaya mengikutsertakan siswanya jika ada lomba-lomba penulisan cerpen atau puisi. “Jika sudah punya prestasi, mudah-mudahan mereka semakin cinta kepada sastra Indonesia.”
Saat ini ia dan guru bahasa Indonesia lainnya sedang berusaha memperkenalkan apresiasi puisi dan pementasan drama kepada siswanya. “Apresiasi puisi dalam bentuk drama agak lebih sulit, makanya kami mulai dari kelas dulu. Kalau di kelas sudah lancar, baru rencananya akan membuat pementasan drama di sekolah.
Kepustakaan
Sementara itu, Wiwin (44), Wakil Kepala Sekolah sekaligus bagian kurikulum SMA PGRI Jatinangor mengatakan, sebenarnya kurikulum dari pemerintah sudah bagus. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, pengajaran sastra yang terhimpun dalam pelajaran bahasa Indonesia, menekankan pada materi membaca dan mengarang. Setiap siswa wajib membaca buku sastra sejenis novel, roman, cerpen, dan karya puisi lainnya, bukan sekadar membaca sinopsisinya. Kewajiban siswa itu dievaluasi oleh gurunya dengan memberikan tugas-tugas yang terkait dengan sastra.
Namun yang jadi masalah adalah manakala ketersediaan buku-buku tersebut di perpustakaan sekolah sangatlah minim. “Ini kan sekolah swasta, jadi tidak bisa mengandalkan sumbangan dari pemerintah. Kalau buku-buku sastra klasik, biasanya milik pribadi para guru. Siswa di sini bukan dari kalangan atas, jadi jangankan menyumbang buku, bayar bulanan pun sulit,” keluh Wiwin.
Ujian Nasional yang Jeblok
Bukankah sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional? Harusnya siswa Indonesia mendapatkan pengajaran yang memadai bukan, soal mata pelajaran yang diujikan secara nasional ini?
Ya, seharusnya seperti itu. Namun kalaupun pengajarannya sesuai, toh materi dan soal-soal UN masih tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa item soal yang berhubungan dengan sastra, namun lagi-lagi soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan. Belumdapat menguji kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan, nilai-nilai estetis dan seni tulis yang seharusnya dipahami siswa.
Tahun ini, hasil ujian nasional (unas) di berbagai kota di tanah air, jeblok karena bahasa Indonesia di semua jurusan. Ya IPA, IPS, bahkan jurusan bahasa. Nilai rata-rata Bahasa Indonesia untuk jurusan IPA 7,37. Nilai Bahasa Indonesia ini terendah dibandingkan pelajaran lain macam matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Inggris. Rata-rata unas IPS untuk Bahasa Indonesia 6,84. Untuk yang jurusan bahasa rata-rata Bahasa Indonesia 6,84.
Misalnya, dari Catatan Dinas Pendidikan Surabaya, dari 260 siswa SMA di kota ini yang mengulang UN, 110 diantaranya mengulang mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk SMK, dari sekitar 1300 siswa yang ujian ulangan, hampir 900 siswa atau hingga 70 persen diantaranya harus mengulang Bahasa Indonesia.
Hubungan bahasa dengan sastra Indonesia layaknya dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait, dan seharusnya tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Dalam dunia pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra diyakini mampu membangun karakter manusia. Meskipun masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, setidaknya sastra sudah diajarkan pada siswa di sekolah. Sayangnya kondisi pengajaran sastra masih jauh dari harapan.
Dalam pengajaran sastra, yang terpenting adalah kontak langsung antara siswa dan karya sastra. Kontak itu tidak bisa diwakili siapapun, tidak terkecuali guru. Tanpa adanya kesempatan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya, sebenarnya pengajaran sastra itu omong kosong saja. Namun, tidak berarti pengetahuan sastra sama sekali tidak ada manfaatnya. Berbagai konsep penting dalam sastra perlu ditanamkan untuk membantu siswa memahami dan menghayati karya sastra. Dan ditingkat akhir, ada baiknya dibekali juga dengan pengetahuan yang menyangkut sejarah dan perkembangan sastra. Pengetahuan itu perlu sebab pada hakikatnya hal itu merupakan bagian penting dari sejarah pemikiran bangsa.
Begitulah reaksi Fahmi (16), siswa kelas 1 SMA Pasundan Tanjungsari ketika ditanya soal karya-karya sastra Indonesia klasik seperti “Harimau Harimau’ Mochtar Lubis dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Ketika ditanya mengenai apa yang pelajari soal karya sastra di sekolah, ia dan kawannya serempak menjawab “Ya paling kayak puisi dan cerpen begitu kan? Belajarnya paling itu aja di sekolah.”
Pengetahuan remaja Indonesia saat ini mengenai karya-karya sastra, khususnya karya sastra Melayu klasik memang bisa dikatakan semakin minim. Mereka mungkin “pernah mendengar” istilah “angkatan 45” atau “Pujangga Baru”. Namun, mereka bisa jadi masih gelagapan ketika ditanya pendapat tentang karya H.B Jassin atau ketika diminta menceritakan kisah “Bumi Manusia” –nya Pramoedya Ananta Toer.
Hal seperti ini biasanya terjadi karena siswa di Indonesia tidak mendapatkan pelajaran sastra yang memadai saat di sekolah. Di samping masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, pengajaran sastra juga belum bisa dinikmati sepenuhnya oleh siswa. Sehingga nilai estetik dan puitik dalam sastra belum mampu membangun karakter siswa jadi lebih peka dan memiliki “rasa”.
Pengajaran sastra di kelas biasanya hanya terbatas pada menghafal nama-nama dan karya, kemudian siswa diminta untuk membuat karya sastra berupa puisi dan prosa. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk membaca dan menikmati karya sastra itu sendiri.
Ahmadun Yosi Herfanda (2007) dalam makalahnya menggambarkan kondisi terkini pengajaran sastra di sekolah. Menurutnya, pengajaran sastra di sekolah hingga kini belum maksimal. Hal ini jelas terlihat dari masih rendahnya apresiasi dan minat baca siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Pengetahuan mereka tentang sastra umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Mereka mungkin lebih kenal Pasha Ungu daripada Mochtar Lubis.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA/MA bertujuan agar siswa bisa menghargai dan menggunakan bahasa Indonesia. “Dan ada poin penting juga, pelajaran Bahasa Indonesia harus bisa membuat siswa menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Siswa juga harus menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia,” tambah Baban Banita, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unpad, saat ditanya pendapatnya mengenai pembelajaran sastra di sekolah menengah.
Sastra, Dihafal atau Dinikmati?
Kenyataannya kini di banyak sekolah menengah, pelajaran sastra masih diberikan pada siswa berupa hafalan. Sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Namun materi UN tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa soal yang berhubungan dengan sastra, namun soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan, tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan. Padahal menurut Baban, dalam belajar sastra yang paling penting adalah dengan membaca, menikmati, kemudian mengapresiasi. Apresiasi atau analisis dilakukan untuk melatih kekritisan. Dan untuk bisa menganalisis, tentu saja siswa harus membaca terlebih dahulu.
Baban menambahkan, “Ini dimungkinkan karena ada faktor guru juga. Kadang karena dianggap pelajaran mudah, guru-guru yang ditempatkan di pelajaran bahasa Indonesia, siapa saja bisa.” Ia berpendapat, kurikulum dari pemerintah sudah bagus, hanya ketika untuk dilaksanakan oleh guru, belum tentu ia bisa melaksanakan dengan metode yang benar. “Sebenarnya kompetensi guru-lah yang berpengaruh ke metode yang tidak tepat digunakan saat mengajar di kelas,” katanya.
Namun Sapardi Djoko Damono dalam sebuah tulisannya yang berjudul Sastra untuk Sekolah menyebutkan, pihak guru tak bisa selalu disalahkan. Menurutnya, justru sistem pendidikan, kurikulum-lah yang mematikan kreativitas. Ia menulis: Namun, yang menjadi permasalahan mendasar dalam sesungguhnya adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum pendidikan yang saat ini dianut tidak pernah memberikan ruang gerak yang leluasa pada pembelajaran sastra.
Sastra sebagai Hiburan
Baban Banita berpendapat, sastra bukanlah pelajaran yang berat. Ia justru mengandung banyak unsur hiburan yang jika digali dengan metode yang baik, siswa akan mudah tertarik. “Sastra itu bermanfaat, dan nikmat. Menghibur. Jadi misalnya siswa belajar apresiasi puisi, bisa kita bingkai dalam bentuk pementasan drama. Drama juga kan termasuk kajian sastra. Kalau begitu kan jadi lebih seru, siswa lebih menikmati,” ujarnya.
Sementara itu, Maryati (42), guru pengajar bahasa Indonesia di SMA Pasundan Tanjungsari mengatakan, siswanya mulai tertarik sastra manakala karya mereka seperti puisi atau cerpen dipublikasikan di majalah dinding (mading) sekolah. “Mereka banyak memanfaatkan mading untuk memajang puisi dan prosa yang mereka buat. Ini inisiatif dari siswa dan kami dorong juga. Biasanya dikordinir oleh OSIS. Dan alhamdulillah mading ini masih berjalan lancar hingga sekarang,” ujarnya bangga.
Selain itu, masih dalam rangka meningkatkan minat sastra kepada para siswanya, Wiwin mengatakan ia selalu berupaya mengikutsertakan siswanya jika ada lomba-lomba penulisan cerpen atau puisi. “Jika sudah punya prestasi, mudah-mudahan mereka semakin cinta kepada sastra Indonesia.”
Saat ini ia dan guru bahasa Indonesia lainnya sedang berusaha memperkenalkan apresiasi puisi dan pementasan drama kepada siswanya. “Apresiasi puisi dalam bentuk drama agak lebih sulit, makanya kami mulai dari kelas dulu. Kalau di kelas sudah lancar, baru rencananya akan membuat pementasan drama di sekolah.
Kepustakaan
Sementara itu, Wiwin (44), Wakil Kepala Sekolah sekaligus bagian kurikulum SMA PGRI Jatinangor mengatakan, sebenarnya kurikulum dari pemerintah sudah bagus. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, pengajaran sastra yang terhimpun dalam pelajaran bahasa Indonesia, menekankan pada materi membaca dan mengarang. Setiap siswa wajib membaca buku sastra sejenis novel, roman, cerpen, dan karya puisi lainnya, bukan sekadar membaca sinopsisinya. Kewajiban siswa itu dievaluasi oleh gurunya dengan memberikan tugas-tugas yang terkait dengan sastra.
Namun yang jadi masalah adalah manakala ketersediaan buku-buku tersebut di perpustakaan sekolah sangatlah minim. “Ini kan sekolah swasta, jadi tidak bisa mengandalkan sumbangan dari pemerintah. Kalau buku-buku sastra klasik, biasanya milik pribadi para guru. Siswa di sini bukan dari kalangan atas, jadi jangankan menyumbang buku, bayar bulanan pun sulit,” keluh Wiwin.
Ujian Nasional yang Jeblok
Bukankah sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional? Harusnya siswa Indonesia mendapatkan pengajaran yang memadai bukan, soal mata pelajaran yang diujikan secara nasional ini?
Ya, seharusnya seperti itu. Namun kalaupun pengajarannya sesuai, toh materi dan soal-soal UN masih tak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa item soal yang berhubungan dengan sastra, namun lagi-lagi soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan. Belumdapat menguji kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan, nilai-nilai estetis dan seni tulis yang seharusnya dipahami siswa.
Tahun ini, hasil ujian nasional (unas) di berbagai kota di tanah air, jeblok karena bahasa Indonesia di semua jurusan. Ya IPA, IPS, bahkan jurusan bahasa. Nilai rata-rata Bahasa Indonesia untuk jurusan IPA 7,37. Nilai Bahasa Indonesia ini terendah dibandingkan pelajaran lain macam matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Inggris. Rata-rata unas IPS untuk Bahasa Indonesia 6,84. Untuk yang jurusan bahasa rata-rata Bahasa Indonesia 6,84.
Misalnya, dari Catatan Dinas Pendidikan Surabaya, dari 260 siswa SMA di kota ini yang mengulang UN, 110 diantaranya mengulang mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk SMK, dari sekitar 1300 siswa yang ujian ulangan, hampir 900 siswa atau hingga 70 persen diantaranya harus mengulang Bahasa Indonesia.
Hubungan bahasa dengan sastra Indonesia layaknya dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait, dan seharusnya tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Dalam dunia pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra diyakini mampu membangun karakter manusia. Meskipun masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, setidaknya sastra sudah diajarkan pada siswa di sekolah. Sayangnya kondisi pengajaran sastra masih jauh dari harapan.
Dalam pengajaran sastra, yang terpenting adalah kontak langsung antara siswa dan karya sastra. Kontak itu tidak bisa diwakili siapapun, tidak terkecuali guru. Tanpa adanya kesempatan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya, sebenarnya pengajaran sastra itu omong kosong saja. Namun, tidak berarti pengetahuan sastra sama sekali tidak ada manfaatnya. Berbagai konsep penting dalam sastra perlu ditanamkan untuk membantu siswa memahami dan menghayati karya sastra. Dan ditingkat akhir, ada baiknya dibekali juga dengan pengetahuan yang menyangkut sejarah dan perkembangan sastra. Pengetahuan itu perlu sebab pada hakikatnya hal itu merupakan bagian penting dari sejarah pemikiran bangsa.
Komentar
Posting Komentar