Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

Belajarlah dari Blitar!

Gambar
Matahari mulai condong ke barat saat aku dan Uphay meninggalkan kompleks makam. Di antara sekian banyak pintu di kompleks makam ini, semua pengunjung tetap diarahkan ke satu pintu keluar yang berada di sebelah utara makam Soekarno. Nggak boleh keluar lewat pintu lain. Kenapa ya? Nah, rupanya inilah cara pemerintah kota Blitar menata tempat pariwisata, sekaligus menghidupkan perekonomian masyarakatnya. Karena melalui pintu tersebut, sebelum keluar kita akan disambut oleh puluhan pedagang di pasar oleh-oleh yang berjejer rapi di sepanjang pintu keluar. Seperti pasar oleh-oleh yang ada di sepanjang jalan keluar dari Candi Borobudur di Magelang gitu deh. Ya, seperti itu bentuknya, namun barang-barang yang dijual memang jauh lebih sedikit dan lebih sederhana. Ada berbagai kerajinan kayu, kaos-kaos bergambar Soekarno, penganan khas, serta beragam batik. Potensi yang sederhana, namun dimaksimalkan. Di ujung jalan, puluhan becak pariwisata sudah menunggu. Wah… kupikir ini adalah contoh yang ...

Soekarno, Terlalu Istimewa untuk Dilupakan

Gambar
Ken Andari masih melaporkan dari kompleks makam Bung Karno, Blitar. Tentu aku tidak lupa tujuan awalku datang ke tempat ini. Ziarah ke makam sang putra fajar. Aku menuju bangunan utama, yang tak lain adalah sebuah astono atau cungkup berbentuk joglo, rumah khas jawa, yang menaungi tiga buah makam. Pertama, makam sang ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai. Lalu ada pula makam sang ayah, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Keduanya mengapit makam utama yang bertuliskan: Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Suasana makam hari itu ramai sekali. Mungkin karena memang akhir pekan. Mulai dari anak-anak usia sekolah dasar sampai kakek-nenek yang sudah berjalan membungkuk, semua duduk bersila melantunkan doa dan ayat-ayat suci. Aku turut duduk di antara mereka. Aku perhatikan wajah-wajah para peziarah itu. Ada yang terlihat cuek, tapi tak sedikit pula yang tampak sangat khusyuk melantunkan ayat-ayat suci, sampai air matanya hampir berurai. Entah karena apa. Mungkin semata terhanyut...

Misteri Lukisan yang Berdetak!

Gambar
Matahari tepat berada di atas kepala saat aku dan Uphay menginjakkan kaki di stasiun Blitar. Kami langsung disambut hangat oleh abang-abang becak yang menawarkan diri mengantar kami berwisata di kota kecil ini. Tanpa banyak basa-basi, kami pun langsung memilih satu becak untuk kami naiki berdua. “Mau ke mana mbak?” tanya si bapak pengayuh becak. “Ngg… mau ke makam Bung Karno sih pak sebenernya, tapi laper nih,” “Oh, mbak-nya mau makan dulu? Di jalan sebelum makam banyak kok warung makan, di alun-alun juga banyak. Mbak-nya mau makan apa?” si bapak sudah mirip tour-guide saja, hihi… “Pecel lah Pak…” “Ooo…nggih, nanti saya kasih tau warung pecel yang enak…” Wuuaaahh… pecel Blitar! Siapa tak kenal penganan yang sudah terkenal itu! Beberapa bulan yang lalu aku sempat dioleh-olehi sambel pecel oleh kawanku yang asli Blitar, namanya Saiful Munir. Aku memanggilnya Cak Ipung. Sambel pecel buatan ibunya Cak Ipung langsung dari Blitar, dan itu enak bangeeeett… Pengen mampir bilang terima kasih sa...

Bertahan di Penataran

22 April 2011 Jam dinding masih menunjukkan pukul 4.30 pagi, tapi aku sudah bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Hari ini aku akan jalan-jalan ke Blitar sama kawanku Uphay. Ziarah ke makam Bung Karno, proklamator kita. Si Uphay masih tertidur dengan buku Gandhi dan stabilo di sisinya. Ckckck… udah warna-warni aja tuh buku. Oooiiii…banguuuunnn… kita ditungguin Bung Karno! Stasiun udah ramai aja sama orang-orang yang antri di loket. Kereta Penataran di jadwalnya sih tertulis akan datang pukul 7.30 pagi. Perjalanan ke Blitar akan memakan waktu 3 jam. Kami nunggu kereta di peron 4 sambil ngobrol-ngobrol. Masih tentang berbagai macam permasalahan bangsa dan negara. Ya ampun Phay, gue belom sarapan ini…ntar jadi laper. Tapi emang seru banget sih obrolannya, ke sana ke mari ibarat menelusuri gumpalan benang kusut yang nggak tau di mana ujungnya, hehehe… Sejujurnya aku kangen sekali masa-masa diskusi seperti ini. Dulu aku biasa berdiskusi dengan Ami, Hani, dan Dewi, sahabat-sahabatku yang c...

Kawan Lama

21 April 2011 Sore ini aku akan menemui sahabat lamaku. Kami janjian di Malang Town Square. Malam ini aku berencana nginep di kosannya. Biar kuperkenalkan dulu kepada kalian. Namanya Ulfah Fatmala Rizky, tapi semua orang memanggilnya Uphay. Kayaknya memang lebih pas dipanggil Uphay daripada Ulfah, hahaha… Ia adik kelasku waktu di SMP dulu. Kelar SMP, kami nggak pernah ketemu lagi. Uphay sekarang kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Ilmu Administrasi. Enam tahun nggak ketemu, aku nggak melihat banyak perubahan. Dia masih tetep Uphay yang tomboy, cerdas, kritis, dan pingin tau banyak hal. Aku merasa dia sangat mirip aku waktu semester 3. Punya kebebasan dan rasa ingin tahu yang benar-benar tak bisa dicegah. Haus bacaan, semua buku dilahap. Kritis dalam diskusi-diskusi. Membebaskan pikiran, sampai kadang terlalu liar sampai bingung sendiri. Pada akhirnya, semakin banyak tahu, semakin gelisah pula memikirkan semua permasalahan dunia, mulai dari sejarah, ekonomi, politik, gende...

Cerita dari Malang

Gambar
19 April 2011 Pagi yang tenang, di Lawang, Malang. Ini hari keduaku di sini. Aku tiba dari Jakarta pukul 3 sore kemarin. Di Lawang yang sejuk ini, aku tinggal di rumah kerabatku. Rumah mungil yang sederhana, namun amat asri. Dikelilingi bukit-bukit rendah, yang jaraknya mungkin tak sampai 500 meter dari rumah. Masih pukul 6, tapi sudah terang. Meski tidak ada perbedaan waktu antara Malang dan Jakarta, di bagian Timur pulau Jawa ini tentu matahari datang lebih awal. Membawa kehangatan yang menyibak kabut, menyisakan tetes embun berkilauan. Aku menyeruput secangkir teh hangat di teras rumah. Langit timur tampak cerah dengan semburat kekuningan. Di antara bukit-bukit hijau Cemoro Lawang, tersembul sebuah puncak nan megah, Mahameru. Titik tertinggi di pulau Jawa. Selamat pagi wahai Mahameru, ada seseorang yang sangat merindukanmu. Pagi-pagi gini, enaknya jalan-jalan buat mengusir dingin. Hmm… gimana kalo kita beli menjos aja? Menjos itu sejenis tempe, ampas tempe kali ya. Kalo di Sunda mah...