Memilih Sekolah untuk Anak

Setiap orangtua pasti menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, terbaik itu seperti apa? Versi siapa? Dilihat dari aspek apa?

Menurut Charlotte Mason, ada tiga pertanyaan penting yang harus bisa dijawab oleh orangtua saat mereka ingin bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anaknya. 

  • Mengapa anak perlu belajar?
  • Apa yang perlu dipelajari?
  • Bagaimana sepatutnya mereka mempelajari itu?
Mengirim anak ke sekolah, membayari mereka les ini-itu sebenarnya lebih mudah daripada menjawab pertanyaan, "Mengapa saya mengirimkannya ke sekolah itu? Untuk apa saya menyuruhnya les ini-itu?" Jawaban sebaiknya tidak berhenti pada "ya biar bisa aja." Kalau jawabannya begitu, sudah pasti kita kepingin anak kita menjadi serba bisa, melebihi si ini-si itu, lalu kita berusaha membekali mereka sedini mungkin dengan segudang aktivitas yang merampas kebahagiaan bermain bebas.

Kita mesti jernih melihat bahwa kini, pendidikan telah menjadi suatu produk, dan orangtua tanpa pendirian adalah sasaran empuk. Ambisi sebagian besar orangtua adalah menjadikan anak-anak mereka creme de la creme, yang terhebat di antara yang terhebat. Para pemasar produk pendidikan membungkus dengan sedemikian rupa, dengan label "bertaraf internasional", sekolahnya (anak) pesohor A, yang memiliki pelajaran paling banyak, yang menggunakan dua, tiga bahasa, yang bangunannya megah, yang menjanjikan lapangan kerja. Tanpa visi jernih, kita hanya akan terombang-ambing di tengah retorika marketing dagang sapi pendidikan, sementara anak kita - sebagai sapinya - melenguh-lenguh pasrah saat nasibnya dipertaruhkan. (Ellen Kristi - Cinta yang Berpikir, hlm. 30) 

Keadaan setiap keluarga berbeda-beda. Kebutuhan setiap anak pun berbeda-beda, karena setiap anak adalah pribadi utuh. Yang paling ideal, menurutku, adalah home schooling. Bukan home schooling lembaga tertentu ya, tetapi home schooling di mana anak betul-betul belajar di rumah dengan orangtuanya yang mengajari dan menyusun kurikulum, bertahap sesuai dengan kemampuan anak lagi sejalan dengan peta jalan pendidikan keluarga. 

Beberapa tahun terakhir aku mempelajari home schooling, yang kemudian mengerucut pada filosofi dan metode Charlotte Mason. Aku bersemangat sekali mengikuti beberapa prinsipnya khususnya untuk anak usia dini. Dalam metode ini, fase akademis terstruktur baru dimulai setelah usia 6 tahun. Sebelum itu, anak hanya perlu diajak bermain bebas di alam sesering mungkin, dibekali dengan kekayaan kosakata melalui komunikasi dan dibacakan buku-buku berkualitas, serta dilatihkan kebiasaan-kebiasaan baik. Salah satu quote beliau yang terkenal adalah,

"In this time of extraordinary pressure, educational and social, perhaps a mother's first duty to her children is to secure for them a quiet growing time, a full six years of passive receptive life, the waking part of it for the most spent out in the fresh air."

Anak berhak untuk hidup bebas dari tuntutan apapun selama 6 tahun pertama hidupnya. Bukan berarti anak di-cul-no begitu aja (keluar deh tuh bahasa ajaibnya), justru 6 tahun ini adalah pondasi, yakni pengasuhan dan pendidikan rumah. Aku akan menulis lebih detail tentang 6 tahun pertama ini nanti. 

Tadinya sih, aku pengennya Ali sekolah di rumah sama aku. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-6 aku mulai menjadwalkan beberapa pelajaran: sejarah dan geografi, menulis, matematika, dan bahasa Inggris. Tapi memang yah, kita bisa menjadi orangtua yang ideal hanya jika anaknya baru satu 😂😂😂 begitu ada adeknya, ambyar semuanya. Jadinya malah rentan marah-marah. Setelah berdiskusi dan dengan berbagai pertimbangan, suamiku cenderung ingin Ali sekolah formal saja. Apalagi kami merasa telah menemukan sekolah SD yang cocok untuk Ali, dan untuk kami, dekat pula dari rumah. Akhirnya, untuk persiapan masuk SD dan memperkenalkannya dengan atmosfir sekolah, kami mendaftarkan Ali ke sekolah TK kecil dekat rumah. 

Kalau TK, idealnya adalah yang dapat dicapai anak dengan naik sepeda. Udah itu aja 😄 Karena TK mah main-main ya, dan hanya setahun, jadi buatku, tidak perlu terlalu serius. Kalau TK-nya tidak boleh main-main dan anak disuruh serius, ya malah salah. 

Di rumah, aku masih mengajarnya mengaji, membacakan buku, dan memenuhi rasa ingin tahunya yang begitu besar akan sejarah dan geografi, dua pelajaran favoritnya yang sayangnya tidak diajarkan di TK. 😆

***

Dalam bukunya Home Education, Charlotte Mason menguraikan betapa membesarkan anak sama seperti proyek lain, paling baik dikerjakan ketika kita punya ide atau visi tentang hasil akhir yang kita harapkan. Kita ingin anak kita jadi orang macam apa? Apakah kita ingin mempersiapkan dia untuk menjadi penerus bisnis keluarga, menjadi penghafal Al-Quran, atau yang lain? Dengan menetapkan satu visi besar, kita bisa merunut mundur ke setiap tahapan usianya, pencapaian apa yang kita targetkan, dan bagaimana caranya, belajar apa dengan metode apa, agar target itu bisa tercapai. 

Tanpa visi dan prinsip yang jelas, kita akan terombang-ambing berupaya mengikuti apapun yang sedang tren, apapun yang dianggap bagus, padahal apa yang bagus menurut orang lain belum tentu bagus buat kita, cocok untuk anak kita, dan sesuai dengan kantong kita. 

Perlu pembicaraan dan pertimbangan yang seksama untuk memilih SD, di mana anak akan menghabiskan masa 6 tahun, 6 hari seminggu, 6 jam sehari untuk belajar di sana. Kita tidak mau ia terperangkap di tempat yang salah. Aku akan membagikan opiniku terkait pertimbangan untuk memilih sekolah dasar untuk anak. 

Pertama, jarak. Jangan nyari rekomendasi di IG, liat sekolahnya anak seleb di Jakarta, kalau kita tinggal di kabupaten. Bertanyalah kepada tetangga sekitar, anaknya sekolah di mana, kalau tertarik kita harus sediakan waktu untuk survei dan mendatanginya satu per satu. Blusukan sambil jalan sore momotoran, karena seringkali sekolah kecil yang muridnya tidak banyak atau baru didirikan pun, bisa jadi cocok untuk anak, dan untuk kita. 

Sebagus-bagusnya suatu sekolah, kalau anak capek di jalan karena sekolahnya jauh, dan menyita waktu bebasnya untuk beristirahat dan bermain, itu sudah tidak sehat. Kebayang, selama 6 tahun ke depan, berapa besar waktu, tenaga dan ongkos yang harus dikeluarkan hanya untuk menuju sekolah. Anak yang lelah, akan kesulitan berkonsentrasi dan cenderung habis energinya, sesampainya di sekolah dan setibanya di rumah pun ia enggan ngapa-ngapain lagi. 

Kedua, rasio guru-murid. Ini merupakan faktor penting yang menentukan efektivitas proses belajar-mengajar. Semakin banyak jumlah murid dalam satu kelas, perhatian guru semakin terbagi, maka semakin sedikit pula penyampaian guru yang diserap murid. Itulah salah satu faktor mengapa home schooling sebetulnya sangat ideal, karena rasio guru-muridnya ya 1: 1 atau kalau anaknya 3 ya berarti 1:3. 

Aku pernah mengalami sekelas 40-an orang. Yang paling banyak mendengar dan mendapat perhatian guru adalah mereka yang duduk paling depan. Aku, yang bertubuh tinggi dan seringkali harus duduk paling belakang, seringkali berjuang melawan ngantuk dan akhirnya bablas ketiduran sampai akhir pelajaran. Hahaha. Jadi, sebagus apapun sekolahnya, kalau rasio guru-muridnya terbilang besar, sebaiknya pikir-pikir lagi. 

Ketiga, kurikulum. Ini terkait teknis pelajaran, ya. Tetapi ini sangat penting kita telaah, apakah sesuai dengan visi pendidikan yang kita rancang untuk anak. Kalau aku, misalnya, kurang sreg dengan mata pelajaran yang terlalu banyak untuk anak SD. Apalagi jika sejak masuk kelas 1 mereka sudah di-drill dengan 3 bahasa atau lebih, Bahasa Indonesia, Inggris, Arab, bahkan Mandarin. Pelajaran umum iya, agama dan bahasa Arab juga, bahasa Inggris dan multimedia pun. Khawatirnya, banyak-banyak gitu yang nyangkut hanya sedikit. Aku dulu di pesantren mata pelajarannya tuh hampir 50 biji, belum termasuk hafalan. Sekarang pada berceceran entah di mana dah tuh... 😭 Artinya, tidak tercipta relasi antara anak dengan pengetahuan, yang menyebabkan sebagian besar pelajaran itu menguap dan ketika anak ditanya, kamu belajar apa aja di sekolah? "Nggak tau..."

Semakin spesifik, semakin baik. Ada sekolah-sekolah yang memang mengajarkan pelajaran agama, sirah Nabi, Al Quran dan Hadits dengan porsi lebih besar daripada pelajaran umum. Ada sekolah yang menggunakan proyek tematik, sehingga anak tidak belajar suatu mata pelajaran tertentu, tetapi sambil mengerjakan proyek itu dia sambil belajar berbagai hal. Ada juga sekolah alam yang tidak belajar di kelas, sehingga kesannya lebih banyak main-main daripada belajar. Ya ndak papa, kalau memang itu sesuai dengan tujuan pendidikan kita. 

Tetapi, kalau di sekolah-sekolah yang agak beda seperti ini, orangtua juga harus menanyakan, berarti nanti anak akan dapat ijazah formal atau ijazah PKBM / informal? Apakah anak dibuat NIK-nya sejak kelas 1? Dan bagaimana keikutsertaan di UN nanti?

Keempat, metode pengajaran. Apakah sesuai dengan tahapan perkembangan anak? Apakah anak kita akan mampu mengikutinya dengan baik, bahkan menikmati setiap pelajarannya? Nah... Aku pernah, ditawari Free Trial ke salah satu lembaga les bahasa Inggris terkenal, untuk Ali yang waktu itu baru berusia 4 tahun. Aku sebenarnya nggak terlalu antusias, karena menurutku bahasa itu sesuatu yang bisa dipelajari secara natural, nggak perlu ikut les apalagi usia dini. Biayanya lumayan juga. Testimoni para orangtua, anak-anak mereka sangat senang mengikuti pelajarannya, semangat setiap masuk kelas. Tetapi orangtua merasa kurang puas, sudah bayar mahal-mahal tapi pelajarannya sebenarnya cuma main-main dan nyanyi-nyanyi saja. 

Padahal, kelas itu untuk anak-anak usia dini, yang pekerjaannya adalah bermain. Belajar pun sambil bermain. What do you expect, mereka diajarkan gramatikal lewat buku formal gitu? Kan enggak mungkin, baca aja belum bisa. Lantas kenapa mahal? Ya karena metode pengajarannya sesuai dengan tahapan perkembangan mereka. Makanya anak-anak enjoy, semangat. Mampu membuat anak-anak menyukai pelajaran, itu adalah suatu ilmu yang mahal. 

Sama halnya dengan SD. Kalaupun pelajaran dan hafalannya banyak, tetapi metode pengajarannya menyenangkan dan dapat diikuti dengan baik oleh anak, ilmu yang didapat tidak akan asal lewat. 

Kelima, buku yang digunakan. Ini patut ditanyakan, karena anak akan belajar, membaca, melihat gambar, menyalin, mengerjakan soal, dari buku-buku sekolahnya selama tahun-tahun ke depan. Kalau perlu, kita intip dulu contoh buku-bukunya. Ini menjadi hal penting buatku, sebab di rumah, kami berusaha untuk menyajikan buku-buku terbaik, dengan gambar menarik yang menggugah rasa ingin tahu. Jangan sampai anak 'down grade' ke buku-buku pelajaran yang bahasa dan gambarnya tidak menarik, karena itu pasti akan memengaruhi semangatnya untuk belajar. 

Seringkali aku ngintip buku paket dan lembar kerja siswa kok kayak dibuat asal, bahkan dengan logika bahasa yang acak-acakan. Ini sangat disayangkan, dan berlawanan dengan anjuran Charlotte Mason untuk memberikan anak buku-buku terbaik, karya sastra dan seni klasik sebagai bahan ajar. Di SD yang kami rencanakan untuk Ali, tidak ada buku paket. Mereka menggunakan buku ensiklopedia anak, seperti Nat Geo Kids dan buku-buku yang biasa kita lihat di Periplus. Anak bebas mengeksplorasi bacaan, bahkan membawa bukunya sendiri, untuk dijadikan referensi tentang hal yang sedang ia pelajari. Ketika pertama kali datang ke sekolah, Ali langsung tertarik dengan buku besar ensiklopedia SPACE. Matanya berbinar-binar membalik lembar demi lembar buku, meskipun ia belum bisa baca.


Keenam, biaya. Setelah mengetahui poin-poin di atas, barulah kita bertanya tentang biaya. Ada harga ada rupa. Apakah besaran biayanya sesuai dengan segala spesifikasi yang telah kita cari tahu tadi? Dan apakah sesuai dengan budget kita? Kita tidak mesti memaksakan sesuatu yang di luar kemampuan, walaupun itu untuk pendidikan. Anak akan bersekolah selama 6 tahun di sana, apakah selama itu kita akan mampu menyokong terus dengan biaya yang pastinya naik terus setiap tahun?

Aku udah menyiapkan alternatif, seandainya nggak punya biaya untuk menyekolahkan Ali, aku harus siap untuk mengajarinya di rumah. Itulah sebabnya aku mempelajari home schooling. Aku juga ingin anak-anak tetap dapat membaca buku-buku yang telah aku siapkan untuk mereka di rumah, sehingga aku tidak mau beban sekolah yang terlalu berat, menyita waktu dan energi mereka. Lebih baik sekolah yang biasa-biasa aja tapi masih ada waktu untuk baca buku dan diskusi sama Mama-Ayah di rumah, ketimbang sekolah yang pelajarannya full seharian, plus PR, sehingga ia tidak punya waktu untuk belajar hal lain lagi. 

Keadaan setiap keluarga beda-beda. Tujuan dan visi pendidikan harus ada, mau dibawa ke mana anak ini? Akan jadi apa ia kelak? Itu yang mesti kita rumuskan. Anak itu masih sangat kecil ketika mulai sekolah, kita tidak mungkin menyerahkan keputusan kepada dia. Dia mungkin akan menjawab, "Aku mau sekolah yang ada prosotannya," atau "Mau di situ aja yang sekolahnya warna hijau," alasan-alasan yang tidak bisa dijadikan patokan kita dalam menentukan sekolah yang baik untuknya dan untuk orangtua. 

Bagaimana pendapatmu?

Komentar

Baca juga...

Lelucon yang Tidak Lucu

Melintas Garis Wallace

Perempuan Sempurna

Pantai Penggajawa, Sebuah Ironi

Boybands & Me