Orang-orang Pilihan
Para dai pulau bukan orang sembarangan. Mereka adalah lulusan terbaik dari sejumlah pondok pesantren kenamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Medan. Proses seleksinya pun cukup ketat, ada serangkaian tes tertulis dan wawancara intensif. Tentu dibutuhkan keluasan pengetahuan dan kemantapan mental untuk menjadi seorang dai pulau. Karena mereka tidak ditempatkan di sana 1-2 tahun saja, melainkan permanen!
Subhanalloh… aku merinding membayangkan betapa istimewanya orang-orang ini. Apakah mereka hidup enak dengan fasilitas terjamin di pulau? Tidak juga. Mereka sama, menyatu dengan penduduk setempat. Rumah Ustadz Waris sama dengan rumah penduduk lain. Rumah panggung dari kayu, berukuran 4 x 5 meter, beratap daun kelapa. Di sana ia tinggal bersama istri dan ketiga anaknya. Dan yang pasti gaji mereka tidak seberapa. Mungkin gajimu lebih besar.
Tetapi siang itu Ustadz Waris menjamu kami dengan makanan super mewah. Gonggong (keong), ketam (rajungan), dan aneka ikan laut FRESH! Subhanalloh… aku nggak bisa membalas apa-apa kecuali doa, semoga Allah memberkahi hidupmu Ustadz, dan membangunkan sebuah rumah indah untuk keluargamu di jannah. Amin…
Pulau Nanga adalah sebuah pulau kecil yang dihuni oleh 48 kepala keluarga. Mayoritas adalah Suku Orang Laut, penduduk pribumi Kepulauan Riau. Mereka bukan orang Melayu, wajahnya khas, seperti si Buntut dan kawan-kawan ini. Sebagian Suku Orang Laut sudah menetap di pulau-pulau kecil, namun banyak juga yang masih tinggal di perahu, hidupnya nomaden. Baca sejarahnya di sini.
Judi masih membudaya di masyarakat sini. Juga kumpul kebo. Karena untuk menikah itu, sulit sekali mengurusnya. Harus ke sini, ke kantor itu, ah berapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk menikah sah saja (bukan untuk pestanya ya!). Tak heran, banyak anak Pulau Nanga yang tak punya akta kelahiran karena orang tuanya tidak menikah, dan ini menjadi masalah di kemudian hari ketika mereka akan sekolah.
Tingkat kesejahteraan penduduk Pulau Nanga (dan mungkin juga pulau-pulau kecil lainnya) masih sangat rendah. Mereka masih terjebak di lingkaran setan miskin-bodoh-miskin-bodoh. Bayangkan, di antara sekian banyak pulau kecil, satu-satunya SD hanya ada di Pulau Sembur. Anak-anak harus berangkat pukul 5.30 untuk menuju ke sekolah. Mereka naik pompong bersama-sama. Jumlah siswa kelas 1 di SDN Sembur hanya 30 orang dari berbagai pulau. Jumlah itu pun akan berkurang setiap tahunnya. “Mulai kelas 2-3, siswa akan berguguran satu demi satu. Karena begitu mereka sudah bisa dayung sampan sendiri, tak boleh lagi sekolah sama orang tuanya. Disuruh bantu orang tua cari ikan,” kata Ustadz Waris. Penduduk Pulau Nanga sendiri, hingga kini tak ada seorang pun yang pernah mencicipi bangku SMP. Apalagi SMA.
Bagaimana soal listrik dan air bersih? “Listrik di sini menggunakan genset pemberian pemerintah, tetapi solarnya hasil iuran warga. Yang punya televisi atau kipas angin membayar lebih. Cuma sampai pukul 10 malam, sudah itu ya gelap gulita,” kata Ustadz Waris sambil tertawa. Ia memang ramah sekali, tak sekalipun tampak mengeluhkan keadaan.
“Kalau air bersih, kami dapatkan dari seberang. Dayung sampan dulu sampai sana, lalu naik sedikit ke hutan, nanti di situ ada mata air. Alhamdulillah tidak pernah kering walaupun kemarau panjang,” Ustadz Waris sungguh punya banyak alasan untuk mengeluh, tetapi ia memilih bersyukur. Ia mengambil air setiap pagi, saat matahari masih teduh. Setiap harinya ia mengambil 6-10 ember. Tetapi kalau cuaca tidak bersahabat, hujan, angin disertai gelombang tinggi, maka mengambil air pun bisa jadi perjalanan yang mempertaruhkan nyawa.
Ustadz Waris punya sebuah pengalaman traumatik. Waktu itu ia mengajak serta anak dan istrinya ke seberang untuk mengambil air. Setelah selesai mengambil 6 ember air, barulah ketahuan kalau ternyata sampan pinjamannya itu bocor! Dalam waktu singkat, terjadi kepanikan. Ombak yang cukup besar mengombang-ambingkan kapal. Putri kecilnya hampir saja tenggelam. "Untung ada yang segera datang menolong. Kalau telat sedikit saja, saya tidak tahu bagaimana nasib Nabila," kenangnya lirih.
Dan semua itu dilakukan demi mengambil 6 ember air bersih!
Sungguh, aku tak akan boros listrik dan air lagi!
Belum lagi kalau soal kesehatan. Fasilitas kesehatan cuma ada di Pulau Sembur, itu pun sering tidak buka. Praktek dokter cuma ada di Sembulang, 2 jam naik pompong. Itu pun dokternya belum tentu ada, karena si dokter itu cuma sendirian melayani pasien di berbagai tempat. Persalinan ibu kebanyakan masih ditolong oleh dukun beranak. Para ibu di sini tidak mengenal pemeriksaan semasa kehamilan, sehingga banyak yang keguguran. Rini, istri Ustadz Waris yang baru melahirkan 3 minggu lalu memilih untuk tinggal di Batam sampai hari persalinannya.
Ustadzah Mulyasaroh, istri Ustadz Musyafa yang kini mendampingi masyarakat di Pulau Sembur juga punya cerita sendiri. “Waktu pertama datang tahun 2003, anak saya masih usia 1 tahun. Masyarakat di sana saat itu juga masih sangat terbelakang. Saat ditunjukkan rumah yang akan kami tempati di Pulau Tanjung Melagan, saya mau nangis rasanya. Ini rumah apa kandang ayam… Bagaimana saya bisa tinggal bersama anak balita saya di sini. Tetapi suami menguatkan, di sinilah kita akan mencari ridho Allah,” kenangnya. Mereka berdua berasal dari Nganjuk, tetapi kini sudah menjadi bagian dari masyarakat Pulau Sembur. Betapa hebatnya pendekatan mereka menerobos segala batasan bahasa dan budaya, sehingga kini bisa menjadi dai yang disegani.
Program pemberdayaan desa pantai yang digagas DSNI Amanah sejak 2002 telah mengirim 33 ustadz ke 33 pulau. Jumlah itu akan terus bertambah. Salah satu yang termuda adalah Ustadz Uda, yang ditempatkan di Pulau Malabar. Ia baru sebulan bermukim di sana, baru lulus sarjana dan masih bujang. Usianya 22 tahun! Weeeeewww kalo elu umur 22 tahun lagi ngapain Ken? *menggalau :((
“Sudah waktu zuhur, yuk sholat!” Ustadz Waris bergegas menuju masjid mungil di tengah pulau yang baru dipugar kemarin. Ia mengajak setiap orang yang ditemuinya.“Allahu Akbar Allahu Akbar!” lantunan suara merdunya dari speaker masjid memecah kesunyian. Allahu Akbar… Bagi kita yang tinggal di kota-kota besar, kumandang adzan bukanlah sesuatu yang asing. Seruannya bisa kita dengar dengan jelas, dari speaker masjid di mana-mana. Tak jarang kita abaikan.
Namun mendengar adzan di sebuah pulau kecil di tengah laut, nun jauh dari kota, adalah sebuah peristiwa yang bisa membuatku meneteskan air mata. Berada entah di mana, tetapi bisa mendengar suara adzan itu rasanya… Nyesss… Mulai kini aku akan bersyukur atas setiap adzan yang kudengar.
Maha Besar Engkau yang telah memberikan alam yang begitu indah, dan mengaruniakan kami orang-orang yang begitu peduli menjaga bumi-Mu. Berkahi mereka Ya Allah…
Mereka, lulusan terbaik ponpes ternama, yang bisa saja hidup nyaman di kota. Tetapi Allah telah menunjuk orang-orang pilihan ini untuk berdakwah, mendidik dan mendampingi masyarakat di pulau-pulau terpencil menuju kehidupan yang lebih baik.
Setelah solat zuhur, kami berpamitan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, dan aku harus boarding pukul 16.50. Wow, lagi panas-panasnya nih! Ya sudahlah, sampai kapanpun aku lebih memilih bermandi matahari daripada berdiam di ruangan ber-AC. Sadar, masih banyak yang harus kulihat di Indonesia.
Aku pulang dengan membawa sejuta perenungan tentang apa yang sudah kulakukan untuk bangsaku, untuk agamaku. Indonesia telah memberiku begitu banyak. Airnya, udaranya, tanahnya, eksotika alamnya, dan senyum masyarakatnya. Berapa banyak titik di negeri ini yang belum kupedulikan? Islam telah membuat hidupku jauh lebih baik. Hidayah Allah menuntunku dalam setiap keputusan. Ah, apa yang bisa kulakukan untuk menyatakan rasa syukur?
Pikiranku memang tak bisa berhenti bekerja, tetapi kekuatan fisikku ada batasnya. Aku teler di ruang tunggu, sendirian seperti anak ilang tidur berbantal ransel. Naik pesawat dengan setengah sadar, bangun untuk makan, terus tidur lagi. Ah, besok aku harus masuk kerja lagi. I have so many stories to tell! Sungguh sebuah perjalanan yang menginspirasi.
Subhanalloh… aku merinding membayangkan betapa istimewanya orang-orang ini. Apakah mereka hidup enak dengan fasilitas terjamin di pulau? Tidak juga. Mereka sama, menyatu dengan penduduk setempat. Rumah Ustadz Waris sama dengan rumah penduduk lain. Rumah panggung dari kayu, berukuran 4 x 5 meter, beratap daun kelapa. Di sana ia tinggal bersama istri dan ketiga anaknya. Dan yang pasti gaji mereka tidak seberapa. Mungkin gajimu lebih besar.
Tetapi siang itu Ustadz Waris menjamu kami dengan makanan super mewah. Gonggong (keong), ketam (rajungan), dan aneka ikan laut FRESH! Subhanalloh… aku nggak bisa membalas apa-apa kecuali doa, semoga Allah memberkahi hidupmu Ustadz, dan membangunkan sebuah rumah indah untuk keluargamu di jannah. Amin…
Ustadz Waris menjamu kami dengan fresh sea food |
Pulau Nanga adalah sebuah pulau kecil yang dihuni oleh 48 kepala keluarga. Mayoritas adalah Suku Orang Laut, penduduk pribumi Kepulauan Riau. Mereka bukan orang Melayu, wajahnya khas, seperti si Buntut dan kawan-kawan ini. Sebagian Suku Orang Laut sudah menetap di pulau-pulau kecil, namun banyak juga yang masih tinggal di perahu, hidupnya nomaden. Baca sejarahnya di sini.
Judi masih membudaya di masyarakat sini. Juga kumpul kebo. Karena untuk menikah itu, sulit sekali mengurusnya. Harus ke sini, ke kantor itu, ah berapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk menikah sah saja (bukan untuk pestanya ya!). Tak heran, banyak anak Pulau Nanga yang tak punya akta kelahiran karena orang tuanya tidak menikah, dan ini menjadi masalah di kemudian hari ketika mereka akan sekolah.
Si Buntut yang senang bergaya. Dia memanggilku Kakak Cantik, hihi... |
Abdat dan Nabila (putri Ustadz Waris) bersama anak-anak Pulau Nanga |
Bagaimana soal listrik dan air bersih? “Listrik di sini menggunakan genset pemberian pemerintah, tetapi solarnya hasil iuran warga. Yang punya televisi atau kipas angin membayar lebih. Cuma sampai pukul 10 malam, sudah itu ya gelap gulita,” kata Ustadz Waris sambil tertawa. Ia memang ramah sekali, tak sekalipun tampak mengeluhkan keadaan.
“Kalau air bersih, kami dapatkan dari seberang. Dayung sampan dulu sampai sana, lalu naik sedikit ke hutan, nanti di situ ada mata air. Alhamdulillah tidak pernah kering walaupun kemarau panjang,” Ustadz Waris sungguh punya banyak alasan untuk mengeluh, tetapi ia memilih bersyukur. Ia mengambil air setiap pagi, saat matahari masih teduh. Setiap harinya ia mengambil 6-10 ember. Tetapi kalau cuaca tidak bersahabat, hujan, angin disertai gelombang tinggi, maka mengambil air pun bisa jadi perjalanan yang mempertaruhkan nyawa.
Ustadz Waris punya sebuah pengalaman traumatik. Waktu itu ia mengajak serta anak dan istrinya ke seberang untuk mengambil air. Setelah selesai mengambil 6 ember air, barulah ketahuan kalau ternyata sampan pinjamannya itu bocor! Dalam waktu singkat, terjadi kepanikan. Ombak yang cukup besar mengombang-ambingkan kapal. Putri kecilnya hampir saja tenggelam. "Untung ada yang segera datang menolong. Kalau telat sedikit saja, saya tidak tahu bagaimana nasib Nabila," kenangnya lirih.
Dan semua itu dilakukan demi mengambil 6 ember air bersih!
Sungguh, aku tak akan boros listrik dan air lagi!
Belum lagi kalau soal kesehatan. Fasilitas kesehatan cuma ada di Pulau Sembur, itu pun sering tidak buka. Praktek dokter cuma ada di Sembulang, 2 jam naik pompong. Itu pun dokternya belum tentu ada, karena si dokter itu cuma sendirian melayani pasien di berbagai tempat. Persalinan ibu kebanyakan masih ditolong oleh dukun beranak. Para ibu di sini tidak mengenal pemeriksaan semasa kehamilan, sehingga banyak yang keguguran. Rini, istri Ustadz Waris yang baru melahirkan 3 minggu lalu memilih untuk tinggal di Batam sampai hari persalinannya.
Ustadzah Mulyasaroh, istri Ustadz Musyafa yang kini mendampingi masyarakat di Pulau Sembur juga punya cerita sendiri. “Waktu pertama datang tahun 2003, anak saya masih usia 1 tahun. Masyarakat di sana saat itu juga masih sangat terbelakang. Saat ditunjukkan rumah yang akan kami tempati di Pulau Tanjung Melagan, saya mau nangis rasanya. Ini rumah apa kandang ayam… Bagaimana saya bisa tinggal bersama anak balita saya di sini. Tetapi suami menguatkan, di sinilah kita akan mencari ridho Allah,” kenangnya. Mereka berdua berasal dari Nganjuk, tetapi kini sudah menjadi bagian dari masyarakat Pulau Sembur. Betapa hebatnya pendekatan mereka menerobos segala batasan bahasa dan budaya, sehingga kini bisa menjadi dai yang disegani.
Ustadz Musyafa dan keluarganya menuruni dermaga untuk naik pompong |
Program pemberdayaan desa pantai yang digagas DSNI Amanah sejak 2002 telah mengirim 33 ustadz ke 33 pulau. Jumlah itu akan terus bertambah. Salah satu yang termuda adalah Ustadz Uda, yang ditempatkan di Pulau Malabar. Ia baru sebulan bermukim di sana, baru lulus sarjana dan masih bujang. Usianya 22 tahun! Weeeeewww kalo elu umur 22 tahun lagi ngapain Ken? *menggalau :((
“Sudah waktu zuhur, yuk sholat!” Ustadz Waris bergegas menuju masjid mungil di tengah pulau yang baru dipugar kemarin. Ia mengajak setiap orang yang ditemuinya.“Allahu Akbar Allahu Akbar!” lantunan suara merdunya dari speaker masjid memecah kesunyian. Allahu Akbar… Bagi kita yang tinggal di kota-kota besar, kumandang adzan bukanlah sesuatu yang asing. Seruannya bisa kita dengar dengan jelas, dari speaker masjid di mana-mana. Tak jarang kita abaikan.
Namun mendengar adzan di sebuah pulau kecil di tengah laut, nun jauh dari kota, adalah sebuah peristiwa yang bisa membuatku meneteskan air mata. Berada entah di mana, tetapi bisa mendengar suara adzan itu rasanya… Nyesss… Mulai kini aku akan bersyukur atas setiap adzan yang kudengar.
Masjid yang baru dibangun di Pulau Nanga |
Mereka, lulusan terbaik ponpes ternama, yang bisa saja hidup nyaman di kota. Tetapi Allah telah menunjuk orang-orang pilihan ini untuk berdakwah, mendidik dan mendampingi masyarakat di pulau-pulau terpencil menuju kehidupan yang lebih baik.
Setelah solat zuhur, kami berpamitan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, dan aku harus boarding pukul 16.50. Wow, lagi panas-panasnya nih! Ya sudahlah, sampai kapanpun aku lebih memilih bermandi matahari daripada berdiam di ruangan ber-AC. Sadar, masih banyak yang harus kulihat di Indonesia.
Senyum Ustadz Waris, Yusuf, dan Nabila mengantar kami ke dermaga |
Aku pulang dengan membawa sejuta perenungan tentang apa yang sudah kulakukan untuk bangsaku, untuk agamaku. Indonesia telah memberiku begitu banyak. Airnya, udaranya, tanahnya, eksotika alamnya, dan senyum masyarakatnya. Berapa banyak titik di negeri ini yang belum kupedulikan? Islam telah membuat hidupku jauh lebih baik. Hidayah Allah menuntunku dalam setiap keputusan. Ah, apa yang bisa kulakukan untuk menyatakan rasa syukur?
Pikiranku memang tak bisa berhenti bekerja, tetapi kekuatan fisikku ada batasnya. Aku teler di ruang tunggu, sendirian seperti anak ilang tidur berbantal ransel. Naik pesawat dengan setengah sadar, bangun untuk makan, terus tidur lagi. Ah, besok aku harus masuk kerja lagi. I have so many stories to tell! Sungguh sebuah perjalanan yang menginspirasi.
Aku bersama Ustadzah Mulyasaroh, dengan latar belakang Pulau Teluk Nipah yang cantik |
Komentar
Posting Komentar