Biar Gemuk yang Penting Cantik!
“Bajuku duluu tak beginiii... tapi kini tak cukup lagiii....”
Dulu, kita mungkin menyanyikan lagu yang merupakan penggalan iklan vitamin anak-anak ini dengan penuh rasa bangga, bahwa kita tumbuh menjadi anak yang sehat, tinggi besar. Tapi kini, saya menyanyikan lagu itu dengan penuh kekesalan sambil meratapi timbunan lemak di pinggul, paha, lengan, perut... aaargh...!!
Dulu waktu SD saya gemar sekali mengukur tinggi badan, menimbang berat badan, sambil berkata: “Ibu, aku sudah besar!” Tapi kini, saya begitu malas menimbang berat badan, karena pasti kesal dan berteriak “Oh no, I’m gaining!” Angkanya bertambah terus! Sampai-sampai saya pernah meletakkan timbangan di depan kulkas, supaya saya berpikir puluhan kali sebelum ngemil.
Huh, saya terus menerus berpikir, apa yang salah? Rasanya pola makan saya sama saja seperti 5 tahun lalu, saat berat badan saya masih 43 kg. Ngemil pun masih sewajarnya. Kegiatan saya sekarang rasanya jauh lebih banyak menuntut tenaga dan pikiran. Bahkan sekarang saya lebih sering stress. Masa jadi lebih gendut juga? Nggak nyambung deh.
Awalnya saya cuek-cuek saja, tapi lama kelamaan kesal juga ketika coba memakai lagi baju-baju lama. Astaga, udah nggak muat lagi! Sempit! Padahal dulu baju ini kegedean! Wah, seksi banget! Mesti pake jaket! Huks...huks...
Apalagi ditambah dengan komentar orang-orang, “Wah kamu tambah gemuk ya di Bandung! Ih... pipinya gembil! Iken sebentar lagi gedenya ngalahin ibunya nih.” Zlep zlep zlep! Ibu saya yang menyadari anaknya tambah bengkak pun segera mengambil tindakan. Masaknya sayur melulu, nggak boleh makan gula banyak-banyak, nonton TV disuruh sambil treadmill-an, dan jangan makan di atas jam 7 malam. Ohya, ada satu lagi “apalagi”-nya. Yaitu: apalagi setelah saya menyadari bahwa saya 5 kilogram lebih berat daripada cowok saya. Males kan kalo dia disangkain adek saya :’(
Di kosan pun, saya coba untuk mengontrol diri. Mengurangi karbohidrat. Mengurangi ngemil. Tidak jajan gorengan. Banyakin serat. Sampai lama kelamaan saya jadi semakin malas makan. Pernah selama beberapa hari saya hanya makan nasi sekali atau dua kali. Selebihnya makan buah, atau minum jus, atau ngegadoin sayur. Hasilnya, wow! Berat badan langsung turun drastis! Tapi saya stress. Pusing. Darah rendah. Lemes. Nggak bisa ngapa-ngapain. Cowok saya nelpon, dan ngomelin saya, “Kalau mau kurus dan sehat, ya olahraga! Jangan nggak makan! Gimana sih cara berpikirnya?” huks huks... Males zha...
Lama kelamaan saya menyadari, bukan saya saja yang mengalami hal ini. Pembengkakan tiba-tiba (hehehe...). Ternyata hampir semua teman cewek saya (kecuali Rachmi Nurhanifah, God bless you) pernah berpusing-pusing mikirin masalah berat badan ini. Nggak sampai stress sih... tapi pasti pernah lah kepikiran.
Inilah yang kemudian membuat saya berpikir, mungkin timbulnya cadangan lemak ini adalah sebuah proses alami bagi kami, perempuan di usia yang tengah dipersiapkan menjadi ibu? Kemudian di sebuah buku saya menemukan sebuah fakta menarik, yang menjawab segala keheranan saya soal “pembengkakan tiba-tiba” ini. Berikut tulisannya:
Pada masa pubertas, hormon testosteron merasuk ke tubuh remaja putra dan memberikan pacuan pertumbuhan yang dramatis berupa 15% lemak tubuh dan 45% protein. Sedangkan hormon yang ada dalam tubuh gadis mengubah tubuh mereka menjadi perbandingan berikut: 30% lemak dan 20% protein. Ini membuat frustasi banyak wanita di mana-mana.
Oh nooo... lihat perbandingan jumlah lemaknya! Pantas aja saya lebih berat daripada cowok saya! Tujuan dari pembentukan lemak tambahan ini tak lain adalah untuk cadangan kekuatan saat menyusui serta menjamin ketersediaan air susu ibu walau ketika persediaan makanan menjadi sangat langka. Wah, ternyata itu untuk bayi saya kelak... Berarti saya nggak boleh menyesali hal ini dong, karena semua ini berkah. Tapi masalahnya, saya kan belum punya bayi, hehe...
Tapi yang menjadi masalah adalah, ketika banyak wanita menyiksa dirinya hanya demi melangsingkan badan. Menahan lapar, mengurangi karbohidrat, menjauhi lemak, bahkan mungkin ada yang sampai memuntahkan lagi makanannya. Dalam tahap awal, saya juga pernah seperti itu. Untuk apa? Biar terlihat lebih menarik, biar lebih CANTIK!
Ya! Saat ini agaknya para wanita terjebak dalam definisi cantik, versi iklan. Kita dapat melihat proses hegemoni tengah berlangsung melalui iklan-iklan produk kecantikan untuk wanita seperti sampo, sabun, sampai produk pelangsing tubuh. Tidak dipungkiri, iklan-iklan yang memborbardir kita setiap hari itu secara tidak langsung telah meracuni makna kecantikan di otak kita. Bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang langsing, tinggi semampai dan berkulit putih. Sehingga banyak perempuan yang berusaha mati-matian agar dapat mencapai bentuk tubuh yang ideal itu.
Jean Baudrillard merumuskan sebuah konsep yang disebut simulasi, yaitu terjadinya suatu proses yang melahirkan fenomena “seolah-olah”. Fenomena “seolah-olah” ini banyak kita lihat sekarang, dimana terdapat mekanisme penciptaan kesan melalui media informasi. Misalnya, ya itu tadi, banyak iklan produk kecantikan yang mengkampanyekan kesan seolah-olah produk mereka sebagai lambang dari kecantikan alami. Hubungan antara kecantikan alami dan produk kecantikan sebelumnya mungkin tidak ada. Namun karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu wadah iklan, lambat laun tercipta asosiasi. Akhirnya, produk kecantikan tersebut dan para modelnya benar-benar dipercaya sebagai representasi dari kecantikan alami.
Begitulah media melakukan pengulangan secara terus-menerus seolah-olah hal tersebut merupakan suatu kenyataan, seperti halnya dalam iklan produk kecantikan tadi. Hingga tanpa disadari fenomena yang ditampilkan tersebut mengendap dalam pemikiran khalayak. Terciptalah citra wanita ideal dan cantik versi iklan-iklan itu, yang kemudian berusaha diikuti oleh wanita-wanita modern.
Makna cantik memang kerap mengalami perubahan setiap zamannya. Pada masa Yunani Klasik sampai masa Renaissance, kita bisa lihat patung-patung wanita telanjang atau setengah telanjang yang dibuat pada zaman itu kebanyakan memiliki tubuh subur yang ’montok’ dengan lipatan lemak di bagian pinggang, pinggul yang lebar, dan sebagainya. Bahkan visualisasi Dewi Venus sebagai lambang kecantikan pun seperti itu. Kala itu, kecantikan seorang wanita memang dilihat dari kesuburannya. Tahun 80-an citra kesuburan itu tergantikan oleh keremajaan. Hal ini ditandai dengan munculnya ikon kecantikan di dunia modelling bernama Miss Twiggi yang kurus, berdada rata, berambut pendek dan memiliki berat hanya 47 kg. Capek yah kalau mau ngikutin selera orang.
Dominasi budaya yang ditawarkan oleh media sebagai penjajahan atas tubuh juga turut memberikan lahan-lahan ekonomi bagi beberapa pihak. Mulai muncul industri mode, spa, salon dengan fasilitas baru, hingga layanan konsultasi seks di media cetak, radio, dan televisi. Kaum kapitalis telah membidik kaum perempuan sebagai sasaran. Mereka membangun sikap konsumerisme dalam diri perempuan yang ingin selalu terlihat cantik.
Saat ini, media massa (yang kebanyakan sudah jadi antek-antek kaum kapitalis) telah merancang definisi cantik bagi wanita Indonesia modern melalui iklan produk kecantikan dan perawatan tubuh beserta para modelnya yang dijadikan rujukan bagi para wanita masa kini untuk menjadi apa yang mereka sebut sebagai ”cantik” dan ”ideal”.
Jadi, ya udah lah yaa... Bagaimanapun bentuk badan kita, yang penting sehat! Mau langsing, mau gemuk, pokoknya sehat! Soal perut yang buncit, menurut saya sih itu mesti coba dikurangi, soalnya lemak paling berbahaya itu adanya di perut (kata Dr. Mehmet Oz), dan semakin besar lingkar pinggang Anda, semakin pendek usia Anda (whooo...)
Lagipula, saya inget slogan temen-temen saya dulu, BIG is BEAUTIFUL! Right baby? Haha... Yang bisa menentukan kecantikan kita adalah rasa percaya diri kita, bukan orang lain. Meskipun kadang saya juga masih berusaha untuk tidak menentukan cantik-tidaknya saya dari mata orang lain. Ya, kadang saya sendiri pun masih terkena mantera cantik dari iklan-iklan itu, hehe...
Bagaimana pendapatmu, kawan?
Dulu, kita mungkin menyanyikan lagu yang merupakan penggalan iklan vitamin anak-anak ini dengan penuh rasa bangga, bahwa kita tumbuh menjadi anak yang sehat, tinggi besar. Tapi kini, saya menyanyikan lagu itu dengan penuh kekesalan sambil meratapi timbunan lemak di pinggul, paha, lengan, perut... aaargh...!!
Dulu waktu SD saya gemar sekali mengukur tinggi badan, menimbang berat badan, sambil berkata: “Ibu, aku sudah besar!” Tapi kini, saya begitu malas menimbang berat badan, karena pasti kesal dan berteriak “Oh no, I’m gaining!” Angkanya bertambah terus! Sampai-sampai saya pernah meletakkan timbangan di depan kulkas, supaya saya berpikir puluhan kali sebelum ngemil.
Huh, saya terus menerus berpikir, apa yang salah? Rasanya pola makan saya sama saja seperti 5 tahun lalu, saat berat badan saya masih 43 kg. Ngemil pun masih sewajarnya. Kegiatan saya sekarang rasanya jauh lebih banyak menuntut tenaga dan pikiran. Bahkan sekarang saya lebih sering stress. Masa jadi lebih gendut juga? Nggak nyambung deh.
Awalnya saya cuek-cuek saja, tapi lama kelamaan kesal juga ketika coba memakai lagi baju-baju lama. Astaga, udah nggak muat lagi! Sempit! Padahal dulu baju ini kegedean! Wah, seksi banget! Mesti pake jaket! Huks...huks...
Apalagi ditambah dengan komentar orang-orang, “Wah kamu tambah gemuk ya di Bandung! Ih... pipinya gembil! Iken sebentar lagi gedenya ngalahin ibunya nih.” Zlep zlep zlep! Ibu saya yang menyadari anaknya tambah bengkak pun segera mengambil tindakan. Masaknya sayur melulu, nggak boleh makan gula banyak-banyak, nonton TV disuruh sambil treadmill-an, dan jangan makan di atas jam 7 malam. Ohya, ada satu lagi “apalagi”-nya. Yaitu: apalagi setelah saya menyadari bahwa saya 5 kilogram lebih berat daripada cowok saya. Males kan kalo dia disangkain adek saya :’(
Di kosan pun, saya coba untuk mengontrol diri. Mengurangi karbohidrat. Mengurangi ngemil. Tidak jajan gorengan. Banyakin serat. Sampai lama kelamaan saya jadi semakin malas makan. Pernah selama beberapa hari saya hanya makan nasi sekali atau dua kali. Selebihnya makan buah, atau minum jus, atau ngegadoin sayur. Hasilnya, wow! Berat badan langsung turun drastis! Tapi saya stress. Pusing. Darah rendah. Lemes. Nggak bisa ngapa-ngapain. Cowok saya nelpon, dan ngomelin saya, “Kalau mau kurus dan sehat, ya olahraga! Jangan nggak makan! Gimana sih cara berpikirnya?” huks huks... Males zha...
Lama kelamaan saya menyadari, bukan saya saja yang mengalami hal ini. Pembengkakan tiba-tiba (hehehe...). Ternyata hampir semua teman cewek saya (kecuali Rachmi Nurhanifah, God bless you) pernah berpusing-pusing mikirin masalah berat badan ini. Nggak sampai stress sih... tapi pasti pernah lah kepikiran.
Inilah yang kemudian membuat saya berpikir, mungkin timbulnya cadangan lemak ini adalah sebuah proses alami bagi kami, perempuan di usia yang tengah dipersiapkan menjadi ibu? Kemudian di sebuah buku saya menemukan sebuah fakta menarik, yang menjawab segala keheranan saya soal “pembengkakan tiba-tiba” ini. Berikut tulisannya:
Pada masa pubertas, hormon testosteron merasuk ke tubuh remaja putra dan memberikan pacuan pertumbuhan yang dramatis berupa 15% lemak tubuh dan 45% protein. Sedangkan hormon yang ada dalam tubuh gadis mengubah tubuh mereka menjadi perbandingan berikut: 30% lemak dan 20% protein. Ini membuat frustasi banyak wanita di mana-mana.
Oh nooo... lihat perbandingan jumlah lemaknya! Pantas aja saya lebih berat daripada cowok saya! Tujuan dari pembentukan lemak tambahan ini tak lain adalah untuk cadangan kekuatan saat menyusui serta menjamin ketersediaan air susu ibu walau ketika persediaan makanan menjadi sangat langka. Wah, ternyata itu untuk bayi saya kelak... Berarti saya nggak boleh menyesali hal ini dong, karena semua ini berkah. Tapi masalahnya, saya kan belum punya bayi, hehe...
Tapi yang menjadi masalah adalah, ketika banyak wanita menyiksa dirinya hanya demi melangsingkan badan. Menahan lapar, mengurangi karbohidrat, menjauhi lemak, bahkan mungkin ada yang sampai memuntahkan lagi makanannya. Dalam tahap awal, saya juga pernah seperti itu. Untuk apa? Biar terlihat lebih menarik, biar lebih CANTIK!
Ya! Saat ini agaknya para wanita terjebak dalam definisi cantik, versi iklan. Kita dapat melihat proses hegemoni tengah berlangsung melalui iklan-iklan produk kecantikan untuk wanita seperti sampo, sabun, sampai produk pelangsing tubuh. Tidak dipungkiri, iklan-iklan yang memborbardir kita setiap hari itu secara tidak langsung telah meracuni makna kecantikan di otak kita. Bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang langsing, tinggi semampai dan berkulit putih. Sehingga banyak perempuan yang berusaha mati-matian agar dapat mencapai bentuk tubuh yang ideal itu.
Jean Baudrillard merumuskan sebuah konsep yang disebut simulasi, yaitu terjadinya suatu proses yang melahirkan fenomena “seolah-olah”. Fenomena “seolah-olah” ini banyak kita lihat sekarang, dimana terdapat mekanisme penciptaan kesan melalui media informasi. Misalnya, ya itu tadi, banyak iklan produk kecantikan yang mengkampanyekan kesan seolah-olah produk mereka sebagai lambang dari kecantikan alami. Hubungan antara kecantikan alami dan produk kecantikan sebelumnya mungkin tidak ada. Namun karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu wadah iklan, lambat laun tercipta asosiasi. Akhirnya, produk kecantikan tersebut dan para modelnya benar-benar dipercaya sebagai representasi dari kecantikan alami.
Begitulah media melakukan pengulangan secara terus-menerus seolah-olah hal tersebut merupakan suatu kenyataan, seperti halnya dalam iklan produk kecantikan tadi. Hingga tanpa disadari fenomena yang ditampilkan tersebut mengendap dalam pemikiran khalayak. Terciptalah citra wanita ideal dan cantik versi iklan-iklan itu, yang kemudian berusaha diikuti oleh wanita-wanita modern.
Makna cantik memang kerap mengalami perubahan setiap zamannya. Pada masa Yunani Klasik sampai masa Renaissance, kita bisa lihat patung-patung wanita telanjang atau setengah telanjang yang dibuat pada zaman itu kebanyakan memiliki tubuh subur yang ’montok’ dengan lipatan lemak di bagian pinggang, pinggul yang lebar, dan sebagainya. Bahkan visualisasi Dewi Venus sebagai lambang kecantikan pun seperti itu. Kala itu, kecantikan seorang wanita memang dilihat dari kesuburannya. Tahun 80-an citra kesuburan itu tergantikan oleh keremajaan. Hal ini ditandai dengan munculnya ikon kecantikan di dunia modelling bernama Miss Twiggi yang kurus, berdada rata, berambut pendek dan memiliki berat hanya 47 kg. Capek yah kalau mau ngikutin selera orang.
Dominasi budaya yang ditawarkan oleh media sebagai penjajahan atas tubuh juga turut memberikan lahan-lahan ekonomi bagi beberapa pihak. Mulai muncul industri mode, spa, salon dengan fasilitas baru, hingga layanan konsultasi seks di media cetak, radio, dan televisi. Kaum kapitalis telah membidik kaum perempuan sebagai sasaran. Mereka membangun sikap konsumerisme dalam diri perempuan yang ingin selalu terlihat cantik.
Saat ini, media massa (yang kebanyakan sudah jadi antek-antek kaum kapitalis) telah merancang definisi cantik bagi wanita Indonesia modern melalui iklan produk kecantikan dan perawatan tubuh beserta para modelnya yang dijadikan rujukan bagi para wanita masa kini untuk menjadi apa yang mereka sebut sebagai ”cantik” dan ”ideal”.
Jadi, ya udah lah yaa... Bagaimanapun bentuk badan kita, yang penting sehat! Mau langsing, mau gemuk, pokoknya sehat! Soal perut yang buncit, menurut saya sih itu mesti coba dikurangi, soalnya lemak paling berbahaya itu adanya di perut (kata Dr. Mehmet Oz), dan semakin besar lingkar pinggang Anda, semakin pendek usia Anda (whooo...)
Lagipula, saya inget slogan temen-temen saya dulu, BIG is BEAUTIFUL! Right baby? Haha... Yang bisa menentukan kecantikan kita adalah rasa percaya diri kita, bukan orang lain. Meskipun kadang saya juga masih berusaha untuk tidak menentukan cantik-tidaknya saya dari mata orang lain. Ya, kadang saya sendiri pun masih terkena mantera cantik dari iklan-iklan itu, hehe...
Bagaimana pendapatmu, kawan?
dan yang penting, cantik tanpa polesan kapitalis..!!
BalasHapusyap, betuuuuulll... hehehe
BalasHapuscantik siihh,, tapi gendut.
BalasHapus"TAPI" ?!!