The World of The Married
"Serius lo? Wah... Kaget gue dengernya. Udah diomongin baik-baik? LDR emang gak mudah bro..."
Aku menguping pembicaraan suami di telepon dengan temannya. Ah, another bad news.
Setelah memasuki fase pernikahan, aku jadi betul-betul menyadari bahwa komitmen seumur hidup ini tidaklah mudah. Merenungkan pernikahan kami sendiri, dan mendengar sekilas kabar kehidupan pernikahan teman-teman kami, yang seringkali tak seindah kelihatannya. Bukan sekali-dua kali kami menerima kabar buruk tentang pernikahan yang kandas, atau kisah perselingkuhan dan kenakalan bermula kejenuhan, yang seringkali mesti kami simpan rapat-rapat.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang yang dilakukan seorang hamba. Kalau untuk sholat yang 5 menit saja kita masih banyak diganggu setan, apalagi pernikahan yang berlangsung (seharusnya) seumur hidup? Untuk sholat, kita hanya perlu meregulasi diri sendiri, tetapi pernikahan bukan hanya tentang kita. Ada suami, anak-anak, bahkan keluarga besar yang mesti dipertimbangkan dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan.
Sedari kecil, aku tidak memiliki bayangan buruk tentang pernikahan. Kedua orangtuaku sangat rukun dan harmonis, romantis, tidak pernah sekalipun aku mendengar mereka meninggikan suara atau saling mendiamkan. Konflik pasti ada, tetapi aku yakin itu tidak sering. Entah mereka memang pasangan yang teramat ideal, atau teramat pandai menyembunyikan dari anak-anak. Aku mengira, segala cerita pahit tentang pernikahan hanyalah dramatisasi sinetron televisi. Bapak-Ibu masih menjadi teladanku hingga kini, di usia pernikahan mereka yang ke-33.
Selama tujuh tahun pernikahan, aku dan suami juga tidak pernah mengalami konflik yang berarti. Kami selalu menyelesaikan konflik berdua, dan tidak berlama-lama. Aku tidak bisa tidur dalam keadaan marah, suamiku juga tidak bisa meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Tidak ada rahasia di antara kami. Aku tau semua pin, password, dan isi ponselnya. Dia juga tahu semua masa lalu dan teman-temanku. Beberapa akun sosmed adalah satu untuk berdua. Hahaha. Bagi kami, dalam pernikahan tidak ada lagi privasi. Hal ini mungkin berbeda-beda bagi setiap orang, tetapi inilah cara kami menjaga kepercayaan satu sama lain.
Hidup bertahun-tahun bersama satu orang yang sama, melihat semua keburukannya, sudah pasti bosan dan jenuh. Nyatanya, "love 'til death do us part" itu sesuatu yang sulit untuk direalisasikan. Bagiku, cinta itu seperti iman, kadang bertambah kadang berkurang. Tetapi, apa yang membuatnya tetap di tempatnya adalah: komitmen.
Beberapa tahun terakhir kita akrab banget dengan istilah pelakor atau perebut laki orang. Sebagai feminis, aku benci banget sih sama istilah ini, karena sangat menghakimi perempuan, padahal kan si lelaki juga tidak bisa berkomitmen. Banyak banget diangkat ke dalam kisah populer, di antaranya drama Korea berjudul sama dengan tulisan ini. Aku nggak nonton sih, aku nggak ada waktu untuk nonton serial gitu tapi tahu lah, garis besar ceritanya.
Aku pernah bilang pada seseorang, "It's not about love, it's not about her, it's not about your wife. It's about a gentleman's dignity,"
Woman's too, of course.
Sebagai manusia, yang dilihat dari kita bukan hanya kesejatian fisik tetapi keluhuran budi. Kita memikul tanggung jawab dan komitmen yang sama dalam pernikahan.
Erich Fromm menulis, cinta adalah semata-mata kerelaan dan komitmen, jadi tak penting siapa kedua orang itu. Apakah pernikahan diatur pihak lain atau pilihan pribadi, begitu pernikahan diputuskan, kerelaan tadi harusnya menjamin cinta berlanjut.
Semua bentuk kedekatan, atau bahkan perasaan "jatuh cinta" yang meledak-ledak di awal hubungan, akan cenderung kian melemah dari waktu ke waktu. Kedua orang yang tadinya asing menjadi kian dekat, tak ada lagi penghalang untuk ditaklukkan, tak ada keintiman tiba-tiba untuk diraih. Tidak ada rasa menggebu-gebu seperti saat pertama bertemu. Orang yang "dicintai" pada akhirnya dikenal baik seperti mengenal diri sendiri.
Seringkali, ia menemukan sensasi itu pada orang asing baru. Sekali lagi, pengalaman jatuh cinta itu menggembirakan dan intens, selalu dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan yang sebelumnya. Padahal, setelah pernikahan; atau setelah semua tembok penghalang itu runtuh, semua cinta sama saja. Sama membosankannya.
Temanku bercerita tentang sensasi deg-degan yang seru ketika ia berkomunikasi ngumpet-ngumpet dengan ya... let's say, kekasih gelapnya. Kedua pihak sudah menikah, btw. Biasalah, saling kirim selfie ngangenin, saling bertukar kata indah. Flirting, gimana sih, kayak semua pasangan di awal pacaran. Aku muak dan gusar, sebagai teman tentu aku wajib memperingatkannya, tetapi tidak bisa lebih dari itu. Rem-nya ada di nurani masing-masing.
Kutanya, kenapa sih selingkuhan terkesan lebih indah? Karena, kalian selalu menampakkan keadaan terbaik kalian. Mau kirim foto, nyisir dulu, cari cahaya bagus, pake filter, pose manyun lucu. Mau bertemu pun pasti selalu menyiapkan tempat yang asik entah itu kafe atau hotel (yang atmosfernya jelas jauh beda dengan kamar tidur bau ompol), dandan dulu, semprot parfum, siapin duit... Semuanya terkondisikan. Seperti aktor yang bersiap naik ke atas pentas. Kamu tampil untuk menghibur dan mendapatkan pujian.
Tetapi bagaimana dengan pasanganmu yang kau temui setiap hari tanpa sempat ia mengkondisikan diri? Kamu sudah melihatnya telanjang lahir dan batin. Kalian tentu tak perlu lagi memakai topeng.
Suamiku sudah melihat setiap kondisi terburukku, semua luka, darah, dan air mata. Ia telah melihat aku dua kali melahirkan, ia ada ketika Ali dan Aidan keluar, ia yang mencuci semua kain bekas darah. Ia melihatku kepayahan, tidak sempat mandi sehari semalam menahan kontraksi. Pasca melahirkan, tampilanku tentu tidak seperti Raisa atau seleb lain yang mengabadikan proses melahirkan dengan rambut ikal dan bulu mata lentik, yang membuatnya layak di-post di Instagram. Tubuhku bau anyir bercampur bau ASI yang merembes dari baju yang basah. Ia mengantarku setiap ke kamar mandi, membantuku pipis sambil berdiri dan gigit handuk karena jahitan yang terasa luar biasa perih. Aku bahkan tidak berani bercermin dan membayangkan bentukku sendiri saat itu. Suamiku juga telah melihat masa-masa aku goncang, menangis dan berteriak, melempar, membanting pintu.
Aku tidak tahu apakah aku telah membuatnya il-feel. Dan aku sadar, di luar sana tentu suamiku telah bertemu dengan banyak perempuan yang berdandan paripurna, berpakaian rapi dan wangi, dengan polesan lipstik dan maskara. Para perempuan yang bicara tentang menyusun strategi perusahaan, hasil audit kuartal ketiga, melakukan presentasi tentang capaian timnya, lalu lanjut membicarakan kerjaan, pertemuan after-office di kafe yang nyaman.
Seringkali, sebenarnya, rasa cemburu perempuan bukan hanya kepada suaminya, tetapi juga kepada perempuan lain itu. Ia seketika membanding-bandingkan dirinya, yang berdaster, bau masakan, seringkali belum sempat mandi ketika suami pulang.
Dengan begitupun, seringkali si perempuan yang masih sering disalahkan atau mendapatkan justifikasi dari masyarakat. Kurang bisa ngerawat diri lah, gak dandan untuk suami lah. Alangkah tidak adilnya budaya patriarki yang kerap menghakimi perempuan.
Sebagai ibu rumah tangga, rasanya aku tidak ada waktu untuk hal-hal lain selain urusan rumah dan anak-anak. Ketemu orangnya 4L Lo Lagi Lo Lagi apalagi di masa pandemi. Grup WA juga isinya grup pengajian, grup RT, grup sekolah anak, grup posyandu, grup parenting. Manalah ada waktu untuk flirting dengan lelaki lain, kecuali mungkin pacar imajiner seperti Kim Seon Ho. Aku sih nggak nonton drakor, tapi wallpaper-ku di mana-mana adalah Haruto Watanabe. Tau gak? Gak tau ya. Yaudah nggak usah cari tau.
Aku tentu saja pernah cemburu pada suamiku, tetapi apa yang paling membuatku kesal adalah karena hampir tidak ada hal yang ia cemburui dariku! Sungguh suatu perasaan yang sangat kekanak-kanakan dan narsistik, tetapi aku selalu mengungkapkan semua yang aku rasakan pada suami. Waktu dia bilang, "Aku cemburu kamu bisa seharian sama anak-anak di rumah," aku cuma bisa menghela nafas. Yeah, I know.
Yang jelas, saat ini perempuan memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki di dunia kerja. Jumlah perempuan yang berkiprah di ruang publik pun semakin banyak. Ruang kerja memang bisa menjadi salah satu tempat flirting. Dan tidak selalu dari perempuan. Semasa masih single jadi wartawan dulu, kerjaanku ya bergahoul nongki-nongki di tempat asyik. Bukan sekali-dua kali aku "tertipu" oleh lelaki yang mengajak ngobrol lalu memberi tumpangan pulang, berlanjut chat, eh ternyata beliau sudah beristri. Kadang tahunya dari orang lain, atau kita cari tahu sendiri. Orang yang bersangkutan mah gak pernah nyinggung-nyinggung soal istri. Kalau sudah begitu, langsung aku cut komunikasi kami dan respekku bisa jauh berkurang. I won't cross the line. Eh tapi ada juga sih perempuan yang merasa bangga atau bahkan tertantang untuk bisa menaklukkan dan merebut pria beristri itu. Tidak selalu karena ia cinta mati, cinta buta pada lelaki itu, tetapi karena ia menyukai keseruan main kucing-kucingan dan ada suatu perasaan bangga ketika dia merasa lebih dipilih dan mampu memenangkan hati lelaki itu daripada istrinya.
Lelaki brengsek juga banyak. Nggak digoda nggak apa, emang dia yang datengin sendiri tempat-tempat hiburan untuk mencari selingan sementara istrinya ngelonin anak di rumah. Di Jakarta, tempat kayak gitu banyak kan. Udah gitu yang ngeselin apa coba? Dia tuh ngajak-ngajak temennya! Gila sih. Padahal dia punya anak kecil, dia juga tau suamiku baru punya bayi. Suamiku tidak pernah menghapus chat-chat dari ponselnya, apapun isinya. Jadi ya, sorry bro, gue baca semua. Kalau temen-temen nonton drama yang lagi hot, Layangan Putus, ada juga tuh scene serupa, ketika rekan kerja Aris ngajak dia bachelor party di klab malam. Rekan kerjanya itu ya tau si Aris punya istri yang lagi hamil tua di rumah. Tetep aja ngajakin.
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan menurutku, kita semua harus menghormati pernikahan. Karena ia merupakan perjanjian besar dengan Tuhan, dengan keluarga, apalagi kalau ada anak-anak. Ketika kamu merusak suatu pernikahan, kamu tidak hanya dapat merusak kebahagiaan seseorang tetapi juga masa depan seorang anak. Luka hati seorang anak yang pernah menyaksikan orangtuanya berselingkuh tidak akan pernah hilang.
Entah kamu sudah menikah atau belum, entah kamu percaya dengan pernikahan atau tidak, entah pernikahanmu sendiri menyebalkan atau tidak, hormatilah tiap-tiap orang yang masih berada dalam ikatan pernikahan. Bukan hanya label pelakor atau pebinor, teman sendiri yang mengajak menjerumuskan seperti tadi pun sama rendahnya sebagai pelaku perusak pernikahan.
Pernah ada yang bertanya padaku, bagaimana ya cara menjaga suami kita? Lagi-lagi, ini pun pandangan patriarkis. Kenapa kita harus menjaga suami kita supaya tidak digoda perempuan lain? Bukankah dia seharusnya tahu menjaga dirinya sendiri dan kehormatannya?
Seorang suami, cukuplah dengan dia mengetahui bahwa istrinya menjaga kehormatannya, dia juga akan menjaga dirinya. Tidak perlu dilarang-larang, dibuntuti, diinterogasi. Tetapi bagiku, batasan itu perlu disepakati. Misalnya, kalau ada perlu meeting dengan kolega perempuan, sebaiknya ya di kantor saja, bukan di kafe, atau apartemen. Kegiatan refreshing dengan rekan kerja pun sewajarnya saja seperti makan siang bersama, bukan nonton di bioskop. Kenapa? Karena itu bisa menyakiti hatiku yang jarang nongkrong cantik di kafe dan ke bioskop. Gimana ceritanya, bawa anak? Dalam pernikahan, kedua pasangan harus saling menghormati, untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti hati pasangannya atau membuatnya tidak nyaman. Kita berhak bersuara tentang hal itu, karena kalau kita nggak considerate satu sama lain, kita bisa kebal dan menjadikannya hal yang lumrah. Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum akhirnya terjadi hal-hal yang melewati batas.
***
Pernikahan tidak semudah menggeser wajah di tinder. Swipe, next.
Apakah ada kaitannya ya, kebiasaan pengguna ponsel masa kini yang serba swipe, swipe, swipe, dengan daya juang dan ketangguhan dalam mempertahankan pasangannya? Tampaknya semakin ke sini kita sering lihat banyak pasangan milennial yang gagal mempertahankan rumah tangga.
Ya, cinta perlu dipertahankan, dirawat, diperjuangkan. Pernikahan, apalagi. Seumur hidup, lho. Happily ever after itu hanya mitos, kebahagiaan bukanlah suatu perasaan yang konstan. Ia datang dan pergi, tetapi komitmen menjamin kita hadir dalam setiap baik-buruknya, jatuh-bangunnya.
Hampir semua orang menikah dalam keadaan terbaiknya. Tetapi hidup tidak terprediksi. Kalau aku sakit, kalau aku berubah jadi buruk rupa, kalau aku jadi gila, kalau aku jadi menyusahkan, apakah kau akan tetap di sini?
"Cinta adalah keyakinan. Keyakinan butuh keberanian, kesiapan menanggung sakit dan kekecewaan. Mencintai artinya menyerahkan diri tanpa jaminan, memberikan diri seutuhnya, dengan harapan bahwa cinta kita akan bisa menciptakan cinta dalam diri orang yang kita cintai." -- Erich Fromm
Nice point of view story and opinion from woman/wife side. Jadi tau apa yang mungkin sebagian besar istri rasakan , dan apa yg mereka harapkan dari suami. Nice blog, ken!
BalasHapus