Tahun Ketujuh Pernikahan: Belajar Mencintai

Tahun ini, pernikahan kami memasuki tahun ketujuh. Waktu berlalu begitu cepat, apalagi dengan adanya anak-anak. Perhatian kami sepenuhnya tertuju pada mereka, sehingga tak jarang lupa merawat cinta kami berdua. Dalam beberapa tahun terakhir, peran kami berubah dari pasangan menjadi orangtua, dari kekasih menjadi Ayah-Mama. Aku ingin kami selalu mengingat dan menemukan alasan untuk saling mencintai satu sama lain, bukan relasi yang tercipta sekadar akibat peran dan tugas bersama sebagai orang tua.  

Ada orang yang menikah karena membayangkan pasangannya itu dapat menjadi ayah atau ibu yang baik bagi anak-anaknya. Memang salah satu tujuan menikah adalah memiliki keturunan. Tetapi suamiku menikahiku bukan karena itu. Sekarang sedang ramai ya, bahasan soal keputusan untuk tidak memiliki anak. Perbincangan seperti itu juga ada di masa awal pernikahanku. Dia memutuskan menikah ya karena ingin hidup denganku, tidak usah punya anak juga tidak apa-apa. Aku butuh waktu beberapa bulan untuk meyakinkannya bahwa aku ingin punya anak, hehehe. 

Sekarang kami telah menjadi orangtua, namun masih ada satu hal kecil yang masih dilakukannya, yang selalu membuatku merasa dia masih mencintaiku sebagai kekasihnya seperti dulu, bukan sebagai ibu dari anak-anak. Yaitu, dia masih memanggilku dengan panggilan sayang, "adek". Yang kuingat, bahkan dia tidak memanggilku "Mama" di depan anak-anak. "Mamaaa... Nih Ali nih Ma..." Kayak gitu aja nggak pernah. Ada anak-anak atau tidak, sedang bertugas mengasuh anak-anak atau sedang berdua, dia tetap memanggilku adek. Mungkin Abang tidak sadar, tapi seringkali di tengah keriuhan pekerjaan rumah dan anak-anak, ketika dia memanggilku "dek" rasanya seperti dia mengingatkanku akan diriku, dan cara sederhana untuk membuatku tahu, dia akan tetap menganggapku sebagai kekasihnya. 

***

Pernikahan manapun pasti mengalami gejolak, dan seringkali kedua pasangan akan menjadikan anak sebagai tameng dan alasan untuk bertahan. Tetapi aku tidak mau seperti itu. Kami harus selalu memiliki alasan untuk saling mencintai.  

Sebagian besar pasangan memulai hubungan mereka dengan jatuh cinta (falling in love) yang sensasional, meledak-ledak, namun sekejap. Setelah sekian lama bersama, perasaan meledak-ledak itu akan lenyap. Setelah kedua orang yang sebelumnya asing menjadi dekat, semua tembok runtuh, maka tak ada lagi penghalang untuk ditaklukkan, tak ada lagi keintiman untuk diraih. Maka perasaan, selamanya tidak dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan cinta, karena perasaan datang dan pergi. 

Mencintai seseorang bukan sekadar suatu perasaan yang kuat, tapi keputusan, pertimbangan, janji. Cinta seharusnya adalah kerelaan, keputusan untuk mempercayakan hidupku pada satu orang. Jadi sebenarnya, menurut Fromm, tidak penting siapa kedua orang itu. Apakah pernikahan diatur pihak lain, apakah pilihan pribadi, apakah diawali dengan jatuh cinta atau tidak, pokoknya begitu pernikahan diputuskan, kerelaan tadi harusnya menjamin cinta berlanjut. 

Ini sangat berbeda dengan romantisme. Yaitu keyakinan bahwa di dunia ini akan ada pangeran tampan berkuda putih yang sudah ditakdirkan akan menjemputku di waktu yang indah, dan kalau sudah bertemu dia, maka hidupku akan menjadi sempurna. Ialah belahan jiwaku, kami berdua akan saling melengkapi dan kehidupan kami akan sangat indah, happily ever after.

Pada era Victoria, cinta bukanlah pengalaman pribadi spontan yang membawa pada pernikahan. Sebaliknya, pernikahan diikat oleh persetujuan -baik oleh keluarga masing-masing atau makelar pernikahan; pernikahan diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, dan cinta diharapkan tumbuh setelah menikah. Romantisisme ditandai dengan munculnya karya seni berupa dongeng dan kisah, puisi dan lagu, yang mengedepankan unsur emosi, penggambaran yang dramatis, teatrikal, dan memiliki suasana seperti dalam mimpi (dream-like).  

Munculnya kisah-kisah Cinderella, Putri Salju, yang karakternya mengalami fenomena jatuh cinta sebagai pengalaman personal yang membawa pada pernikahan, menandai romantisme. Glorifikasi cinta sekarang ini jamak kita lihat pada perayaan pernikahan anak muda kini yang diabadikan dalam serangkaian ritual pernikahan mulai dari foto pre-wedding, aneka ritual adat, riasan dan gaun, serta dekorasi pesta pengantin yang memukau, atau istilah anak zaman sekarang, instagramable. Tidak ada korelasi antara kemegahan pesta dengan keberhasilan pernikahan, sungguh aneh apabila sebelum menikah pasangan malah disibukkan dengan persiapan pesta pernikahan alih-alih membekali diri masing-masing untuk belajar mencintai dan belajar berkomitmen. Suatu kekeliruan, jika menganggap cinta bukanlah sesuatu yang mesti dipelajari. 

Kebanyakan orang meyakini bahwa cinta ditimbulkan oleh obyek, bukan oleh kemampuan. Seolah-olah yang perlu ia lakukan hanyalah menemukan obyek yang tepat, lalu segalanya akan berjalan dengan sendirinya sesudah itu. 

Sikap ini seperti orang yang ingin melukis, tapi bukannya mempelajari seni dan teknik melukis, dia malah menunggu obyek yang tepat, dan yakin akan mampu melukis dengan indah saat dia sudah menemukan obyeknya itu. Padahal, cinta adalah tindakan, cinta harus dipelajari. Tanpanya, sensasi bioogis falling in love tidak akan mampu bertahan menjadi keadaan permanen being in love atau standing in love. Cinta yang sesungguhnya baru dimulai ketika sensasi jatuh cinta berakhir. 

***

Lucu jika mengingat, bahwa kami memulai pernikahan bukan karena jatuh cinta. Pada saat itu, aku malah menghindari sensasi jatuh cinta yang kualami, karena itu membuatku tidak bisa berpikir logis. Kau tau kan, sensasi mabuk kepayang di mana tai kucing pun terasa coklat. Itu bagiku, menumpulkan logika. Ada dua hal pada masa itu yang membuat kami memutuskan menikah. Ada keyakinan yang entah dari mana (aku menyebutnya pertanda semesta, mestakung), dan ada kriteria-kriteria yang terceklis. Dari situ, dilanjutkan dengan komitmen. 

Tidak ada pesta atau ritual yang gimana-gimana, pada saat itu bahkan Abang bilang, "Abis dari KUA, minum teh sama pisang goreng sama tetangga juga nggak apa-apa," hahaha... 

Perlu usaha, kesabaran, dan tentu saja komitmen untuk mempertahankan cinta. Usaha untuk terus mempelajari diri sendiri dan pasangan. Pernikahan ada di dalam konteks ruang dan waktu. Proses saling memahami satu sama lain tidaklah berbanding lurus dengan lamanya menikah. Tidak berarti semakin lama kita menikah, berarti kita sudah semakin memahami pasangan, karena ada ruang dan waktu yang berdinamika. Mungkin kita masih ada di ruang yang sama, tetapi waktu telah bergeser. 

Sungguh banyak yang kusyukuri atas suamiku. Dia tak segan membantuku mengerjakan pekerjaan domestik dan mengasuh anak-anak, dia sabar menghadapiku yang ngambekan, dia menanam sayur-sayuran kesukaanku, menciumku setiap sebelum berangkat kerja, dan masih, sampai hari ini memanggilku "dek". Dengan begitu, ia terus mengingatkanku atas diriku sesungguhnya, sebagai kekasihnya, yang harus terus menerus merawat cinta untuk kami berdua, bukan hanya untuk anak-anak.

Thank you and I love you.  

Bahan bacaan: Erich Fromm, The Art of Love (1956)

Abang menanam sayuran kesukaanku


Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang