Mimpi Masa Kecil
Suatu hari, di perhentian lampu merah, ada anak-anak kecil mengamen, ibu menggendong bayi yang lusuh mengemis, di bawah terik matahari dan polusi. Pemandangan yang jamak di mana-mana. Tetapi Ali keheranan. Dia bertanya, kenapa mobil-mobil tidak pada kasih uang? Kenapa tidak kita kasih uang kita untuk mereka semuanya? Kita kan masih punya uang lain di ATM?
Pikiran
Ali tentu saja sangat sederhana. Tetapi bisakah kamu membantuku menjawabnya
dengan sederhana juga?
Aku
ingat, aku juga pernah punya pikiran seperti itu saat duluuuuu sekali aku
pertama kalinya naik mobil ke Jakarta melewati jembatan Tomang. Aku ingat betul
gambaran besarnya Mall Taman Anggrek di sebelah kiriku, dengan lima susun
jembatan yang bagiku saat itu, sangat megah. Di kanan kiriku berbaris mobil
yang terjebak kemacetan, tetapi anak-anak gelandangan mencoba berbagai cara
untuk mengais receh. Ada yang mengamen, mengelap jendela, atau sekadar
meminta-minta. Mereka kumal, kotor, tidak beralas kaki, beda jauh sekali dengan
pemandangan di sekitarnya. Pada saat itu, aku yang lahir dari kelas menengah,
benar-benar tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
Dan
malam itu, aku ingat saat aku menulis di buku diary:
“Aku ingin jadi orang kaya. Punya banyak uang. Akan kubagikan uangku
kepada siapapun yang membutuhkan. Jangan sampai ada anak yang tidak sekolah
apalagi tidur di jalanan.”
Teman,
coba ingat-ingat lagi mimpi luhur masa kecilmu. Aku yakin banyak dari kalian
yang pernah punya cita-cita serupa. Ingin jadi kaya. Supaya bisa berbagi uang
kepada orang miskin. Sekarang, coba tanyakan lagi kepada dirimu, kemana
cita-cita itu, dan sudah kau gunakan untuk apa saja uangmu?
Mimpi
anak kecil memang sederhana, tetapi murni dan luhur. Mereka ingin melihat
keadilan, mereka tidak mau ada orang yang kesusahan. Kebahagiaan bagi mereka
pun sederhana, bukan tentang uang. Mereka tidak melihat nilai uang. Mereka
ingin punya uang, justru supaya bisa dibagi-bagikan. Pikirnya, uang banyak
banget emang buat apa? Yang penting kan kita masih punya rumah, masih bisa
makan, masih punya keluarga dan teman-teman? Begitu kata Ali, dan tulis Ken
Andari dalam buku diary-nya 20 tahun lalu.
***
Aku
bukan orang yang kaya banget. Rumahku di komplek perumahan lama, itupun pemberian
Bapak. Selama jadi anak bapak, aku tidak pernah punya mobil yang bagus banget,
Escudo udah paling bagus. Baru 2 tahun terakhir ini aku ngerasain Ertiga yang
dibeli suamiku, mobil paling nyaman yang pernah aku naiki.
Sejak
berumah tangga dan memiliki anak, tentu saja manajemen keuangan kami berubah
dibanding dulu semasih lajang. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, ada
anak yang harus dibiayai. Kami merencanakan keuangan bersama-sama. Dan kami
sering saling mengingatkan, pendapatan naik, gaya hidup jangan ikutan naik.
Yang namanya gaya hidup alias kebutuhan tersier ini seolah tiada batasnya.
Kalau diikuti terus, bangkrutlah kita. Dan di sini perlahan aku mulai mengerti,
mengapa semakin dewasa seseorang, semakin banyak uang yang berhasil dikumpulkannya,
malah semakin jauh ia dari mimpi masa kecilnya.
Adalah
gaya hidup ini. Sosok yang absurd dan tidak jelas batasnya ini.
Hal-hal
sesepele, beli baju dan mainan buat anak. Beli cemilan dan jajanan. Kebutuhan
refreshing dan liburan. Beli perabot rumah. Upgrade barang-barang elektronik.
Belum lama ini aku menonton video seorang influencer yang baru beli kulkas seharga 50 juta, kulkas guede banget, aku ngeliatnya hampir seukuran kamar mandiku. Aku mikir itu bakalan diisi apa aja emangnya. Eh ternyata bisa juga dipenuhin. Hahaha. Beda level emang.
Kulkasku sangat jarang penuh, bahkan aku jarang nyetok makanan di rumah. Menurutku, nyetok makanan itu akan menumbuhkan kebiasaan ngemil dan jajan, serta menjadi cikal bakal kebocoran anggaran.
Konsep minimalisme ala Marie Kondo telah kuterapkan sejak dulu. Aku
sangat jarang beli baju, termasuk untuk anak-anak. Karena
buatku, itu tidak penting. Baju Ali dan Aidan kayaknya nggak habis-habis karena
ada aja yang ngasih, baik hadiah maupun lungsuran. Kakek dan Neneknya juga suka
beliin. Baju Ali dan Aidan masing-masing satu laci. Sebaris untuk baju, sebaris
untuk celana. Plus satu laci lagi khusus untuk pakaian sholat mereka. Dan semenjak mulai memfokuskan selera fashion ke
warna hitam dan tenun, aku jadi semakin sedikit berbelanja baju. Suamiku, pakenya
kaos gratisan melulu dari organisasi, kesian banget gak sih. Tapi ya emang itu
aja cukup.
CUKUP. Yah inilah kata yang
kita sama-sama tahu artinya, tapi begitu sulit mengendalikan keinginan. Kata
Gandhi, sebenarnya bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap orang,
tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan satu orang.
Jajan,
nyemil, bahkan refreshing dan liburan itu agaknya tren gaya hidup sekarang ini,
yang muncul dari kepenatan generasi milenial, sehingga mereka merasa perlu
sering-sering me-reward diri. Pengeluaran
untuk membayar internet, aplikasi, games, TV dan lagu berbayar, serta kebutuhan untuk mengisi
feed dengan yang cancik-cancik dgn tujuan mendapatkan banyak likes dan
komentar. Kebutuhan ini tidak ada pada generasi sebelumnya. Dan sekali lagi, ini merupakan gaya hidup. David Bach, menulis ini sebagai fenomena “Latte Factor” yang
mengindikasikan bahwa semakin kaya orang, semakin besar pula pengeluarannya
untuk memenuhi gaya hidup.
Kita tidak melihatnya sebagai
sesuatu yang berlebihan, karena seringkali itu tidak seberapa, tetapi
masalahnya pengeluaran itu rutin. Evaluasi kami, ya di sinilah anggaran sering
bocor. Kalau kita melihat lagi ke tiga pembagian kebutuhan, primer, sekunder,
dan tersier, jelas bahwa sebenarnya kita sudah cukup ketika kita masih bisa
makan walaupun hanya pake tempe penyet dan lalap sayur 3 kali sehari. Kebutuhan
gizi pun masih dapat terpenuhi dengan karbohidrat, protein, dan serat. Kita
juga seharusnya sudah cukup dengan punya tempat tinggal, ada kamar tidur, kamar
mandi, musholla yang sesuai kebutuhan. Pakaian pun cukup, yang pantas untuk
keseharian dan kebutuhan acara formal, cuci kering pake alias itu-itu lagi pun
tak masalah.
Apalagi di masa pandemi ini, banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak anak menjadi yatim. Kita bisa melihat gelandangan dan orang miskin lebih banyak daripada sebelumnya. Bukan hanya mereka yang di jalanan, bahkan tetangga atau kerabat dekat kita pun memerlukan bantuan. Tiga orang teman main Ali menjadi yatim akibat covid-19.
Aku sangat ingin bisa berbagi tanpa banyak perhitungan. Karena sesungguhnya,
itulah mimpi masa kecilku. Meskipun itu berarti, aku harus lebih disiplin
mengawal belanja kebutuhanku dan terus mengingatkan diri untuk berhenti di kata
“cukup”.
Komentar
Posting Komentar