Problema Tahun Kelima
Romantisisme menggambarkan pernikahan sebagai akhir dari kisah indah “…and they lived happily ever after…” seolah pergulatan dan segala nestapa berhenti di sana. Padahal, realitanya pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang tentu saja akan penuh liku.
“Hell is other people”
- Jean Paul Sartre -
Teringat masa-masa paling indah saat menjadi anak kosan, hidup di dalam satu kamar punya sendirian, mau naro baju di mana, bangun jam berapa, di kamar mandi berapa lama, seharian nonton pilem aja ga ngapa-ngapain juga terserah. Bebash.
Setelah menikah, ada orang lain yang masuk dalam kehidupanmu. Mengubah prioritasmu. Membuatmu tidak punya waktu untuk dirimu sendiri. Suami, anak satu, anak dua. Mereka semua hadir dan memaksamu bertumbuh, mau tidak mau, siap tidak siap. Is it a good thing? YES! But it is never easy.
Alih-alih romantisisme “…happily ever after… just the two of us…” yang lebih relevan adalah kata-katanya Patkai: “Begitulah Cinta… deritanya tiada akhir…”
***
Aku sama sekali bukan orang yang percaya romantisisme. Sejak sebelum menikah, aku selalu berusaha melogikakan cinta. Aku pernah pada posisi jatuh cinta sangat, sehingga aku tidak bisa berpikir logis. Dan aku segera meninggalkan hubungan itu, sebelum aku berkomitmen lebih jauh. Suamiku, Abang Rahmat, bukanlah orang yang membuatku jatuh cinta dimabuk kepayang. Dia adalah orang yang memenuhi kriteria, sebagian besar check list-ku tentang pendamping hidup, ada pada dirinya. Menikahinya adalah keputusan amat logis. Setelah menikah, kami membangun cinta.
Konon, tahun kelima pernikahan adalah titik ujian pertama. Macem-macem sebabnya. Aku bahkan sampai googling dan menemukan bahwa telah banyak studi tentang itu, tahun kelima. Bahkan di film "Gone Girl" (2014) aja latarnya tahun kelima pernikahan kan. ((amit amit - ketok2 meja)) Sebetulnya jaman dulu ku beberapa kali wawancara psikolog tentang hubungan pernikahan, dan aku tak asing dengan fenomena “tahun kelima” ini. Namun saat menghadapinya, tetap saja aku rapuh. Pada kasusku, tidak ada masalah orang ketiga, kekerasan, finansial, atau apapun, hanya kejenuhan yang merasuk.
***
Aidan hadir dalam kehidupan kami, membuka banyak pintu rezeki. Ia sungguh membahagiakan. Namun punya bayi ((dan kakaknya)) tidaklah mudah. Menyusui, berarti kamu terikat dengan dia. Kalau baumu hilang, kamu baru beranjak sebentar saja, dia akan segera menjerit bangun lagi. Payudara yang bengkak, lecet, tubuh yang encok hanya karena tidur terlalu lelap dan tidak terbangun untuk ganti posisi. Menggendong terus, sebab yang ia inginkan hanya kamu, bukan yang lain. Aku membesarkan Aidan sendiri, karena orangtuaku tidak tinggal bersamaku lagi. Jadi Aidan hanya mau sama aku. Tau rasanya pegelnya pundak, bahkan aku sampai bervarises! Belum lagi kakaknya yang mengalami segenap perubahan perilaku akibat sibling rivalry. Ajaib, pokoknya, dahsyat.
Aku mengonsumsi pil KB 8 bulan setelah melahirkan, ketika aku sudah mulai haid lagi. Tentu saja, aku tidak berencana punya anak lagi dalam waktu dekat. Pil KB paling aman buatku saat itu, karena waktu mau pasang spiral/IUD, aku lebay banget perdarahannya. Yang hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan, adalah perempuan. Eh bagian kontrasepsi, masih perempuan juga. Baek-baek sama perempuan makanya.
Hampir tak ada keluhan fisik setelah minum pil KB itu. Tapiiiii ternyataaaa… mood swing-ku parah. Aku mudah baper, uring-uringan, kayak PMS tapi setiap hari gitu gimana coba. Malam-malam ku sering terbangun nangis sendirian. Bengong. Nangis lagi. Mimpi buruk. Membayangkan ketakutan-ketakutan imajiner. Kecemasan akan hal yang belum terjadi. Bangun pagi gak fresh. Pernah sampai 2 kali suamiku gak jadi berangkat kerja. Bukan karena aku atau anakku sakit, tapi karena aku terus menangis nggak stabil, tidak mungkin dia meninggalkan aku sama anak-anak dengan kondisi seperti itu. Di satu sisi mungkin aku memang sedang mengalami gejolak emosional pasca melahirkan, kemudian pil KB itu memengaruhi hormonku. Jadilah roller coaster. Pikiran dan omongan ngelantur kemana-mana. Aku sulit tidur. Banyak ketakutan-ketakutan imajiner yang menghantui, sering menjadi mimpi buruk. Pada masa-masa seperti inilah, aku sering diingatkan, seandainya suamiku bukan Abang Rahmat, mungkin ini akan terasa lebih berat, mungkin aku udah ditinggal, mungkin akan ada kekerasan fisik atau verbal. Sedangkan dia itu sabarnya masya Allah… Aku jarang mau minta maaf, tapi aku selalu mendoakan dia. Ya Allah, di antara banyak kekurangannya sebagai manusia, aku bersaksi bahwa dia adalah suami yang baik 😭😭😭 Begitu anehnya kelakuanku sampai akhirnya pil KB itu dibuang sama Abang.
Pada masa-masa kelam itu, banyak perilaku minus-ku yang direkam Ali. Beberapa pekan kemudian aku menuainya 😭😭😭 Aku tidak pernah mengalami terrible two, three, four, Ali selalu bersikap baik dan manis. Kalaupun ngambek nggak pernah sampai ajaib banget. Tibalah aku di masa perilaku ajaib itu. Banting-banting pintu, gedor-gedor, sampai aku nangis-nangis ngungsi ke rumah adikku untuk menjauh darinya. Paginya saling minta maaf, lalu malamnya terulang lagi. Begitu terus selama beberapa minggu. Sangat melelahkan.
Kemudian datanglah pandemi covid-19. Suamiku full kerja dari rumah. Anak-anak juga dikekep di dalam rumah. Tak disangka-sangka, semakin intens ketemu ternyata semakin rentan gesekan. Kerja dari rumah pun, tidak membuat pekerjaannya semakin sedikit. Di tengah pandemi, pekerjaannya malah bertambah karena harus mengadaptasi the new normal. Setiap hari, ia bisa rapat 2-4 kali, dan aku bersama anak-anak di kamar atas sampe sore demi menjaga situasi tetap kondusif untuknya. Pekerjaan domestik pun kukerjakan sendiri, karena ART ku liburkan. Selalu berusaha masak karena berhemat dan takut beli di luar. Kegiatanku muter-muter di situ aja. Kamar atas bersama anak2, di dapur bersama cucian. Aku jenuh, empet. Tapi ga bisa liburan atau jalan-jalan. Ada beberapa kelas seminar/workshop yang batal karena pandemi. Staycation juga ga bisa. Padahal biasanya itu menjadi cara jitu me-recharge diri.
Aku tipe orang yang bahasa kasihnya adalah sentuhan. Beneran, aku butuh banget hal itu. Suamiku lempeng banget sebenernya, tapi sejak awal nikah, aku menerapkan beberapa kebiasaan untuk saling transfer energi lewat sentuhan. Misalnya, peluk dan cium sebelum berangkat dan ketika pulang kerja, salim dan cium setelah solat berjamaah, dan tidur berpegangan tangan. Namun selama pandemi, ia full di rumah, dan ternyata hilanglah rutinitas itu. Anak-anak pun punya kamar baru, dua kasur terpisah; bunk bed; jadi masing-masing kami menemani di kasur yang berbeda. Kami tidak tidur seranjang lagi. Kami mencium dan memeluk anak-anak, namun kami tidak mencium dan memeluk satu sama lain. Anak-anak belum bisa ditinggal, jadi kami tidur bersama mereka. Mirip pindah kamar aja sebenarnya, tapi pisah ranjang. Buatku, ini suatu masalah besar.
Terjebak dalam rutinitas, lama kelamaan aku merasa menjadi ibunya anak-anak aja, bukan lagi seorang istri, kekasih, pacar. Tangki yang tidak penuh membuatku tidak bisa memberikan cinta yang penuh juga untuk anak-anak. Itulah sebabnya, meski aku terus mengalami gejolak, aku belum juga menemui psikolog. Karena sebetulnya, cuma suami yang bisa meredam aku, dalam artian, masalah-masalahku itu solusinya ya dengan cara diomongin sama dia, bukan orang lain. Tapi stress pekerjaan, Aidan yang nempel, perilaku Ali yang sedang sulit, membuat kami kehilangan momen berduaan. Sepertinya dia juga takut ngehamilin aku lagi, terbukti dua kali punya bayi, dua kali stress.
Aku merasa ia tidak mengerti aku. Tapi waktu untuk ngobrol yang enak juga sulit. nggak mungkin aku mengungkapkan suasana hatiku di saat anak-anak masih bangun. Aku bakal berderai-derai air mata. Namun ketika anak-anak tidur, kami juga sudah terlalu lelah. huft. Padahal kalau diingat-ingat, suamiku sangat baik. Ia tak segan melakukan segala pekerjaan domestik. Ia tak menegurku kalau aku nggak masak atau nggak nyuci piring seharian. Ia memberikanku waktu untuk ngambek dan mengambil alih anak-anak. Ia mau gendong boboin Aidan. Aku minta apa aja dibelikan, minta uang berapa aja dikasih. Aku nyerocos panjang-panjang didengerin, yaaa walau sering ditinggal tidur juga sih.
Ada tiga aspek manusia yang senantiasa harus dijaga. Kalau salah satunya kosong, bisa menimbulkan ketidakseimbangan pada diri. Tiga aspek itu adalah fisik, jiwa, dan akal. Bagiku, jebakan rutinitas dan pola komunikasi yang terganggu dengan suami membuat kebutuhan akal/intelektualku tidak terpenuhi. Kebutuhan untuk berdiskusi, untuk dianggap sebagai manusia yang punya visi dan intelegensi, bukan manusia yang cuma bisa ngomel, nyapu, ngepel. Kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi, didengarkan pendapatnya.
Pernikahan ada di dalam konteks ruang dan waktu. Proses saling memahami satu sama lain tidaklah berbanding lurus dengan lamanya menikah. Tidak berarti semakin lama kita menikah, berarti kita sudah semakin memahami pasangan. Karena ada ruang dan waktu yang berdinamika. Mungkin kita masih ada di ruang yang sama, tapi waktu telah bergeser. Waktu mengubahku menjadi seorang ibu yang mengurus rumah, suami menjadi seorang ayah yang berfokus mencari nafkah. Kami lupa merawat cinta.
Khususnya aku, sebagai perempuan, telah mengalami serangkaian proses yang datang silih berganti. Mengubah diriku, prioritasku, pola pikirku, visi hidupku, bentuk tubuhku, mengaduk-aduk hormonku. Dari single masih berkarier sebagai wartawan, kemudian menjadi istri, kemudian hamil, mengalami proses kelahiran yang (sakitnya) tak terlupakan, mengurus bayi, lalu banting setir jadi IRT dan mengalami krisis identitas. Selama dua setengah tahun aku menyusui Ali dengan berbagai rintangan yang tak mulus, sebelum akhirnya berhasil menyapih. Lalu aku hamil lagi, melahirkan yang lebih sakit dari sebelumnya, menyusui lagi. Dst. Oh betapa sederhana ku menuliskannya dalam sebaris paragraf. Padahal…
Waktu berjalan cepat, fase demi fase kehidupan terus berlalu sebelum aku bisa menyadarinya.
***
Komentar
Posting Komentar