Ibu, Jangan Diam Saja! (Menyikapi Bullying terhadap Anak)

*Kisah Dialog antara Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari*

Saat itu para sahabat berkumpul dalam satu majelis, sementara Rasulullah tidak bersama mereka. Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf Bilal, dan Abu Dzar duduk di dalam majelis.

Orang-orang berbicara mengenai satu topik pembicaraan. Lalu Abu Dzar berbicara dan menyampaikan sebuah usulan, "Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan demikian dan demikian."

Tiba-tiba Bilal menimpali, "Tidak, itu adalah usulan yang salah."

Lantas Abu Dzar berkata, "Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam?" La Ilaha illallah. Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?"

Seketika itu Bilal berdiri dengan terkejut dan marah sambil berkata, "Demi Allah aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah", lalu Bilal pun pergi kepada Rasulullah.

Kemudian..

Ketika Bilal sampai kepada Rasulullah dia berkata, "Wahai, Rasulullah maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abu Dzar kepadaku?"

Rasululah menjawab, "Apakah yang telah dikatakannya?"

Bilal berkata, "Dia telah berkata begini dan begitu."

Seketika itu rona muka Rasulullah berubah.

Lalu Abu Dzar bergegas datang dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata, "Wahai, Rasulullah. Assalamu'alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh."

Nabi bersabda, "Wahai, Abu Dzar Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyyah." (HR. Bukhari).

Kalimat tersebut terdengar bagaikan petir di telinga Abu Dzar. Lantas dia menangis, dan menghampiri Rasulullah, lalu berkata, "Wahai, Rasulullah Beristighfarlah untukku. Mintakanlah ampunan dari Allah untukku." Kemudian dia keluar dari masjid sambil menangis.

Abu Dzar pergi dan meletakkan kepalanya di atas tanah yang dilalui Bilal. Lalu Bilal menghampirinya.

Abu Dzar menghempaskan pipinya ke atas tanah, dan berkata, "Demi Allah, wahai Bilal. Aku tidak akan mengangkat pipiku, kecuali engkau menginjaknya dengan kakimu. Engkaulah orang yang mulia dan akulah yang hina."

Lantas Bilal pun menangis melihat pemandangan tersebut.

Bilal menangis dan mendekat kemudian memegang pipi Abu Dzar Al-Ghifari. Pipi itu lebih mulia di sisi Allah daripada diinjak dengan kaki.

Kemudian keduanya berdiri dan berpelukan sambil menangis.

*****

Rasa hati memang inginnya kekep anak di rumah ya, biar dia steril dari segala dampak buruk pergaulan. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Manusia adalah makhluk sosial, anak kita pun harus punya keterampilan bersosialisasi. Yang harus kita lakukan bukanlah menjaganya tetap steril, melainkan bagaimana memfilter hal-hal buruk agar ia dapat mengambil hikmah dan justru menjadi bijak.

Bullying dapat terjadi ketika kita melepas anak bergaul di lingkungan sosialnya. Entah itu main depan rumah, ngaji di TPA, main sama saudara kandung/sepupu, ataupun sekolah. Ia akan bertemu macam2 kawan yang berbeda latar belakangnya, sifatnya. Anak kita sangat mungkin menjadi pembully atau korban bully. Di situlah pendampingan kita tidak boleh lepas.

Ali belum sekolah, tapi di rumah, teman mainnya beragam. Yang besar-besar sudah SD, biasalah, merasa superior ketika melihat anak yang lebih kecil. Mereka suka jailin, ledekin, curangi saat main. Ali gak marah karea dia belum mengerti. Tapi saya selalu ambil sikap.

Pertama, saya akan liatin bener2 anak pembully, saya ikutin tatapan matanya yg berusaha kabur. Kedua, kalau masih begitu juga, saya bener-bener akan jalan nyamperin dia dengan langkah dan tatapan tegas sampe dia ciut kira saya mau nyubit. Apakah saya ngomel nyapnyap? No, akan hilang wibawa saya di depan anak-anak kalau saya ngomel. Saya tatap matanya lekat, pegang pundaknya, dan bilang dengan tegas, "Main yang baik. Itu namanya meledek dan itu gak baik. Kamu anak baik kan? Main yg baik, oke?! Gak ledek2an, Mama Ali akan dengar semuanya." Ini bukan ngomel tapi tegas. Ummm... mengintimidasi lebih tepatnya, haha.

Agak tricky ya karena kita jangan sampai keliatan ngomelin anak orang ntar malah diomelin balik sama emaknya 🤣

Bbrp kali seperti itu alhmdulillah sekarang anaknya selalu kabur kalo lihat aku, wkwkwk... tapi yg selalu aku perhatikan, pembully itu adl korban bully juga. Dia melampiaskan apa yg dia pernah rasakan kepada org lain, utamanya anak yg lebih kecil atau lebih pendiam/tidak membalas.

Jadi ketika anak kita menjadi korban, kita ambil sikap tegas bahwa kita membela dia, meledek itu tidak baik, bahwa dirinya berharga, dan tidak boleh ada yg merendahkan dia.

Reaksi Ali begini setelah aku samperin si anak tadi:
"Mama marah sama kakak itu?"
"Iya, karena dia meledek Ali. Ali sedih ga kalo diledek?"
"Sedih. Ali ga suka main ledek2an"
"Ya, Ali bisa bilang sama kk itu lain kali, jangan ledek2 Ali, kalo main ledek2an Ali pulang aja gak main lagi."

Sikap kita yg tegas kepada pembully ketika anak kita jd korban bully, akan ditangkap anak kita bahwa hal itu tidak baik sehingga lain waktu dia tidak akan melakukan hal itu kepada org lain.

Bullying itu sesimpel ngetawain teman yg jatuh. Ali juga pernah begitu karena dia pernah digituin. Kita tanya, Ali gimana perasaannya kalau Ali jatuh trus Mama ketawain? / Sedih.../ Kalau jatuh, Ali inginnya diapain sama Mama? / Ditolongin. / Betul. Kalau ada temannya jatuh jangan diketawain ya. Nanti dia sedih kayak Ali. Samperin, dan tanya, kamu gak papa? Mau minum dulu gak? Bantuin bangun.

Maka kecerdasan emosi dan bersikap empati itu sangat berkaitan erat, dan itu kita yang tanamkan di 7 tahun pertama, sebelum kita melemparkannya ke lingkungan yang lebih luas, yakni sekolah dan seterusnya.

Kasihan sih sbnrnya anak-anak yg pernah membully Ali itu. Kuperhatikan mereka cenderung mendapat perlakuan bullying dari kakak2nya atau orgtuanya di rumah (yaaasss orgtua juga bisa membully lohh), juga peer group nya. Mereka merasa inferior di sana. Maka ketika ketemu anak lebih kecil, mereka melihat sasaran empuk untuk melampiaskan apa yang mereka rasakan selama ini dengan kemungkinan kecil untuk dibalas.

Kalau lingkaran itu tidak diputus (korban bully jadi pembully dst), lalu berlanjut sampai dia remaja, beranjak dewasa, akan ada ospek saat di SMA/perguruan tinggi/akademi nanti... Nah itu banyak kasus senior ngospek junior smp celaka akarnya dari mana? Dari sini, dari usia dini ini. Tidak ditumbuhkannya empati, rasa, dan kepedulian, tidak ditumbuhkannya harga diri -menghargai diri sendiri dan orang lain-- kemanusiaan, keberanian untuk mengatakan kebenaran.

Itu pasti banyak kan temannya sesama senior apa tidak ada yg tergugah hatinya melihat kemungkaran? Mungkin tergugah, tapi dia memilih diam atau membiarkan.

Berkaca dari sikap yang saya tunjukkan di depan anak-anak terhadap bullying tadi, bolehlah saya simpulkan bahwa betapa sikap kita sebagai ibu, akan direkam anak dan dapat membentuk bagaimana ia memandang dunia, selamanya. Maka, jangan asal melepas ia bergaul begitu saja. Hadirlah, perhatikan, dan berikan arahan untuknya. Jangan sampai ia menjadi pelaku atau korban bullying, hanya karena kita tidak tegas menunjukkan bagaimana seharusnya ia bersikap.

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang