Tutup Usia
Sampai hari ini aku masih sulit percaya Mbah sudah wafat. Beliau memang sangat sehat, sehingga kami sering lupa bahwa sebenarnya beliau sudah sangat renta.
Usianya sudah 92 tahun, dengan 10 anak dan jumlah cucu yang aku nggak bisa ngitung saking banyaknya. Cicitnya ada 42, canggah (anaknya cicit) ada 1, mau 2. Wow!
Rabu pagi (1/3) Mbah jatuh saat sedang di rumah sendirian. Beruntung, ada tetangga yang melihat dan menolongnya. Katanya, bagian tubuh sebelah kanannya tiba-tiba lemas dan dingin. Ibuku segera menyusul dan membawanya ke rumah kami.
Malamnya, Bapak dan ibu mengajak aku dan Ali mengantar Mbah periksa ke dokter. Dokter ini mungkin hampir 20 tahun menangani Mbah, hampir seperti dokter pribadi. Beliau sebenarnya sudah pensiun, tapi tetap datang kalau Mbah mau ketemu, hehe. Mbah nggak pernah mau ke rumah sakit dan nggak pernah ke dokter lain.
Berdasarkan pemeriksaan dokter malam itu, semua bagus, hanya sedikit kembung. Kami pun pulang dengan lega. Mbah mungkin hanya kelelahan, sebab hari Senin beliau baru datang dari Surabaya, menjenguk anak sulungnya yang sedang sakit di sana.
Kamis pagi, Mbah sudah beraktivitas seperti biasa. Makannya banyak, lalu jalan-jalan pagi di depan rumah, ngobrol dan nonton TV sama aku, nonton Bake with Anna Olson, inget banget. Lalu main sama Ali dan kelinci. Makan siang pake sayur asem, Mbah makannya banyak. Kami senang Mbah sudah terlihat lebih segar.
Setelah makan, beliau solat zuhur. Ali menghampiri beliau solat di musholla. Biasanya Ali ikutan solat, tapi ini Ali berdiri bengong di tempatnya dengan ekspresi bingung. Bapak dan ibu segera menghampiri, ternyata Mbah sudah tersungkur dalam posisi kaki sedang duduk tahiyat akhir. Mbah tidak sadarkan diri, berkeringat.
Kami menggotong Mbah ke kasur, membuka mukenanya, namun Mbah tidak jua membuka mata. Beliau mengerang-erang. Kami membimbingnya mengucap lailaha illalllah. Terus menerus.
Ibu menelepon anak-anak Mbah yang lain agar segera datang. Sebelumnya, Mbah tidak pernah jatuh tak sadarkan diri seperti ini.
Sampai sore, kondisi Mbah tidak membaik. Masih tidak membuka mata, hanya merespon dengan tangan kiri dan menitikkan air mata jika mendengar anaknya datang. Kami berdiskusi untuk membawa Mbah ke rumah sakit, namun tiba-tiba Mbah menangis dan mendekap erat anaknya yang berada di dekatnya. Rupanya Mbah mendengar.
Mbah memang sering berpesan, kalau aku sakit, biar bagaimana jangan dibawa ke rumah sakit. Di rumah aja, ditemenin sama anak-anak sampai di mana juga.
Kami urung membawanya ke rumah sakit. Namun Mbah semakin lemas. Beliau tidak bisa makan atau minum. Bisa minum, setetes-dua tetes. Kami mencoba memberikannya makan biskuit, namun Mbah tersedak. Wajahnya memerah.
Tidak ada yang kami mengerti dari kondisi Mbah saat itu. Apakah Mbah terkena serangan stroke, atau lemas karena apa, tak ada yang bisa kami lakukan. Sementara Mbah semakin lemah karena tidak ada asupan. Semua dokter yang kami hubungi menyarankan agar membawa Mbah ke rumah sakit.
Akhirnya tengah malam, aku dan bapak naik motor ke rumah sakit. Saat ini, paling tidak kami harus tahu apa yang terjadi pada Mbah. Memeriksa tanda-tanda vitalnya. Dan yang paling penting, Mbah harus mendapatkan asupan agar tidak dehidrasi.
Kamar di rumah sakit terdekat rupanya penuh. Kami pun menuju RS Hermina. Aku berbicara panjang lebar kepada perawat dan dokter jaga di ICU tentang riwayat kesehatan dan kondisi terakhir Mbah, termasuk tentang keinginannya agar tidak dibawa ke rumah sakit. Aku juga menyelesaikan urusan administrasi. Dokter meminta Mbah agar segera dibawa ke RS untuk dilihat kondisinya, dan apakah harus masuk ICU. Aku berpesan, agar setiap rencana tindakan dikonfirmasi dulu ke kami, dan ICU itu pilihan terakhir saja. Setelah memastikan ada kamar rawat inap, kami pun menelepon om-tante di rumah untuk membawa Mbah ke RS.
Tiba di IGD, kesadaran Mbah sudah menurun. Beliau sudah sangat lemas, mengingat sudah 10 jam tidak ada asupan apapun. Tapi aku masih berpikir, sungguh Mbah sangat kuat. Hasil pemeriksaan menunjukkan, tekanan darah Mbah cukup tinggi, 179/90 dan ada penyumbatan yang melebar di otak kiri. Mbah terkena stroke.
Pagi itu, dokter memutuskan Mbah harus masuk ICU untuk mendapatkan perawatan intensif. Kami tidak bisa menjenguknya kecuali pada saat jam besuk, itu pun harus masuk satu per satu. Mbah menangis, tidak mau melepas tangan anak-anaknya yang menjenguk.
Kami sadar, Mbah tidak butuh semua peralatan ini. Mbah butuh bersama anak-cucunya. Kami pun sepakat memindahkan Mbah dari ICU ke kamar perawatan biasa. Kami menandatangani surat pernyataan bahwa keluar dari ICU adalah permintaan pasien dan keluarga pasien sehingga pihak RS tidak bertanggung jawab apabila ada kegawatan. Sungguh suatu keputusan yang berat karena kami sadar betul konsekuensinya.
Jumat pukul 8 malam, Mbah dipindahkan ke ruang VIP. Semua alat bantu dilepas, tinggal infus, selang makan, dan oksigen saja. Kami semua berkumpul di sisinya. Mbah tidak mau melepaskan genggaman sehingga kami bergantian menggenggam kedua tangannya.
Anak, cucu, cicit, berkumpul dan menjaganya bergantian. Kami menemani Mbah berdzikir dan mengaji. Tekanan darah Mbah masih tidak stabil dan Mbah masih belum membuka mata, namun Mbah masih bisa menggenggam erat tangan kami.
Minggu pagi, saat adzan subuh, Mbah membuka mata sebentar, lalu merem lagi. Seorang sahabatku yang bekerja di RS Hermina membantuku memantau keadaan Mbah. Ia bilang, sebenarnya keadaan Mbah menunjukkan kemajuan. Leukositnya normal, nadinya pun normal. Hanya tekanan darah yang belum stabil, dan dokter masih berharap Mbah bisa membuka mata.
Senin pagi, aku menggantikan Bapak-Ibu yang sudah begadang menjaga Mbah. Berdua saja di ruangan, aku membacakan Ar-Rahman, Al-Mulk, Al-Fajr, dan beberapa surat lain untuknya. Aku menyenandungkan lagu "Ilir-ilir" sambil mengusap rambutnya, seperti yang kulakukan saat menidurkan Ali. Mbah menangis.
"Mbah sabar ya, Mbah jangan kesel sakit kayak gini. Nggak ngerepotin siapapun kok Mbah, semuanya senang bisa nemenin Mbah di sini. Mbah banyak istighfar aja, Iken temenin di sini. Insya Allah sakitnya Mbah penggugur dosa." Mbahku menghela nafas panjang.
Kemudian beliau bersin. Banyak dahak yang keluar. Sejak kemarin memang banyak dahak yang mengganggu jalan nafas Mbah, tapi kalau disedot pakai alat sama suster, Mbah nggak mau. Selangnya digigit.
Tapi kalau dibersihkan pakai tisu sama cucunya, Mbah mau. Aku pun segera membersihkan dahak Mbah dengan tisu, sambil terus berbicara, "Ini Iken Mbah, Iken bersihin ya supaya Mbah nafasnya enak. Buka mulutnya ya Mbah." Alhamdulillah bisa dibersihkan dan Mbah bisa bernafas lebih lega.
Aku pulang menjelang zuhur, digantikan oleh budeku. Seharian itu aku tidak ke RS lagi. Aku mendoakan Mbah tiada henti dari rumah.
Malamnya, aku mimpi Mbah mau solat di musholla, minta tolong ambilin mukena. Aku mengambilkan mukena untuknya, tapi Mbah malah naik ke atas (tangga). Kubilang, Mbah mau ke mana? Mbah solat di atas aja, katanya.
Aku terbangun, sudah pukul 4 pagi. Aku membacakan Al Fatihah untuk Mbah, mengganti popok Ali, lalu tidur lagi, karena aku sedang tidak solat.
Pukul 6, ibu membangunkanku dan bilang, Mbah sudah wafat subuh tadi. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiun. Hatiku mencelos. Walau kami sudah pasrah dan sudah paham kemungkinan yang bisa terjadi sejak memutuskan membawa Mbah keluar dari ICU, tetap saja, kabar duka itu terasa menyesakkan.
Cerita tante, dari pukul 2 hingga menjelang subuh, Mbah demam sampai 40 derajat celcius. Bapakku mungkin emosional, beliau segera turun ke musholla untuk sholat.
Saat itu ada om dan tante yang memegang tangan Mbah, dan terus membimbing Mbah mengucap Laa ilaha illallah, sebelum akhirnya Mbah seperti cegukan dan mengembuskan nafas panjang satu kali. Lalu genggaman tangannya melemah.
Om ku berlari ke perawat dan dokter, yang segera mengecek keadaan Mbah. Mbah pun dinyatakan wafat oleh dokter, Selasa (7/3) pukul 5.21 pagi.
Jenazah Mbah dibawa pulang ke rumahku, banyak sekali yang datang. Semua tetangga kaget, menangis, sepertinya baru kemarin lihat Mbah jalan kaki. Baru kemarin ngobrol. Baru kemarin beli jamu.
Memang sebelumnya Mbah sangat sehat, hanya 5 hari terakhir beliau drop, sebelum akhirnya wafat. Aku memandangi wajah Mbah yang cantik, cerah, seperti habis mandi lalu tidur. Tapi dingin. Padahal aku masih ingat sekali hangat genggamannya beberapa hari lalu.
Mbah dimakamkan di pemakaman dekat rumah ba'da zuhur. Cuaca hari itu sejuk, mendung, seperti menemani duka kami. Allahummarhamha wa 'afiha wa'fu 'anha. Insya Allah Mbahku husnul khotimah.
Komentar
Posting Komentar