Majalah Ummi: Bekerja Sambil Menyusui

“Kamu kerja terus bayimu sama siapa?” Demikian orang bertanya.
“Diurus utinya ya di Tangerang?” Enggak euy, sayang ASI-nya. Kalau pisah sama aku kan mau nggak mau Ali minum susu formula.
“Diurus pengasuh?” Enggak juga, masih kecil banget, belum tega ngasih ke orang.
“Lalu gimana?” Ya aku bawa bayiku ke kantor. Ikut kerja.

Hah?! Emang boleh?

Begitu selalu reaksi orang-orang kalau tau aku ngantor bawa bayi. Gak percaya, kemudian takjub. Memang, kantorku hebat betul, aku sangat bersyukur. Di sini aku mau sharing bagaimana kantor dan rekan-rekan kerjaku bersikap sangat suportif demi keberhasilanku memberikan ASI untuk Ali. FYI, aku bekerja sebagai reporter di Majalah UMMyang seruangan isinya ibu-ibu semua. Kami getol bicara soal pentingnya ASI, kesehatan anak, dan parenting, pentingnya kelekatan ibu dan bayi, masa iya nggak mendukung rekan kami sendiri yang berjuang menyusui? Alhamdulillah, kantorku memang sangat baby-friendly, lebih mirip rumah kedua buatku. Dan Ali bukan yang pertama dibawa ngantor.
Dulu ada Kakak Shofie (7), si anak pintar yang nanyaaa melulu. Kami memutar otak menjawab pertanyaannya. “Kenapa sih gajah tidak ada yang warna pink? Kenapa sih lumba-lumba itu menyusui? Kenapa sih kok Shofie harus sholat tapi dedek Nuha engga?” Sekarang kakak Shofie sudah tinggal di Virginia, US. Ibunya, Mbak Aini, tetap menulis untuk kami.
Lalu ada Abang Rana (6), putra Mbak Mala, pemimpin redaksi Majalah Ummi. Ini si anak manis yang kalo bobo siang selalu minta dikelonin Bundanya di bawah meja. Hihi. Sekarang sudah kelas 1 SD, Abang Rana masih suka mampir ke kantor sepulang sekolah dijemput Bundanya.
Ipun (3), yang dari bayi 3 bulan udah digeletakin ibunya di kantor, dan “absensi”-nya masih penuh sampe sekarang, hihi. Kami menyaksikan bagaimana ia tumbuh dari bayi gendut yang supercool hingga jadi anak kiting cantik yang super-endel. FYI, Ipun baru disapih usia 30 bulan. Dia udah punya “rumah” sendiri, satu kabinet kosong di bawah printer yang dia isi dengan Barbie, kasur, guling, dan semua rakyat kebun binatangnya. Rumah itu muat juga buat dia masuk, dia seneng banget main petak umpet trus dia cengar-cengir keluar dari situ. Hih! Ibunya sekretaris redaksi, jadi sekarang suara telepon berdering dan suara printer seolah menjadi panggilan jiwanya. Tiap printer bunyi, dia segera berlari, nungguin kertas keluar, dan bersiap nganter kertas itu ke siapa yang ngeprint. Sebaliknya, dia juga memberikan jobdesk baru buat kami, bikinin lego, bacain buku, warnain, gambarin gajah. Kata Mbak Mala, “Nanti kita akan carikan jobdesk buat Ali!”

ipun waktu kecil
ipun sekarang
Kantorku memang tidak punya ruang ASI khusus, freezer, atau ruang bermain anak tersendiri, tapi kami bisa membawa anak dan menyusui di ruangan, mengasuh mereka langsung di sela-sela waktu kerja. Kami bersama anak-anak setiap waktu, dan itu adalah kesempatan yang sangat berharga. Di redaksi Majalah Ummi, satu ruangan isinya perempuan semua jadi privacy saat menyusui, mompa ASI, maupun ngelonin anak sangat terjaga. Ruangan juga bersih, karena kami lepas sepatu di luar. Kami menggunakan ruangan itu untuk sholat berjamaah juga, sehingga dipastikan lantai selalu bebas najis dan kotoran.


sholat berjamaah
Ruangan kami mungkin lebih mirip daycare ketimbang ruang kerja. Catnya warna-warni, temboknya dipenuhi wallsticker lucu. Kami hobinya emang nempel wallsticker. Ada kasur dan bouncer-nya Ali di pojok, sementara lego dan rakyat kebun binatangnya Ipun bertebaran. Tersedia juga buku-buku anak (kiriman dari penerbit yang udah diresensi), juga krayon. So much fun.
Teman-temanku emang baik banget, dengan tangan terbuka menerima aku dan Ali di kantor. Anak kecil itu bisa buat refreshing. Lagi mumet-mumet sama tulisan terus disuruh bikinin lego, kan intermezzo. Lagi serius rapat, tiba-tiba Ali ikutan ngoceh heboh dengan lucunya. Jadi hiburan tersendiri.  Sempat beberapa hari aku nggak masuk karena sakit, eh malah pada kangen sama Ali.
Setiap hari, Ali bangun jam 6, dimandiin pukul 7. Selesai mandi, kususui sampai dia kenyang dan tidur pulas. Baru deh berangkat ngantor. Sambil mengetik maupun nelepon narasumber, aku nggak melepasnya dari  gendongan. Aku posisikan diri senyaman mungkin, kakiku nangkring di atas CPU di bawah meja, lalu kutaro bantal di bawah siku kanan supaya nggak pegel menopang Ali. Kalau sudah pewe, kututup wajahnya dengan jilbab supaya nggak kena AC, baru deh aku ngetik. Kalau mau wawancara, telepon di-loudspeaker, taro recorder, sambil gue berdiri mengayun-ayun Ali biar tetap pules. That’s the way it is.

ngetik
Kalo dikata bau tangan, anak gue bukan bau tangan lagi, udah bau ketek. Ngetek terus sama emaknya. Terserah dah yang komen begitu, yang jelas dia anteng banget digendong, bisa pules banget tidur sampai jam 11, yang kumanfaatkan betul untuk bekerja. Karena setelah zuhur, kerjaku nggak efektif lagi. Dia melek, minta main keliling-keliling ruangan lain, lalu eek dan ganti popok, menjelang ashar baru dia tidur lagi. Setelah ashar, aku menyelesaikan pekerjaan yang terputus tadi pagi, lalu siap-siap mentransfer semuanya ke flashdisk untuk dibawa pulang. Jam 5, aku pulang dan mandiin Ali sambil nunggu ayahnya pulang. Jam 10, setelah Ali pules dan rumah rapi, aku buka laptop lagi dan menyelesaikan pekerjaan sampai tengah malam.
Capek, iya pasti. Tapi ini pilihanku sendiri. Aku yang belum tega ngasih Ali untuk diasuh orang. Aku yang risih kalau ada orang lain (baca: PRT) di dalam rumahku, karena dari dulu ibuku nggak pernah punya PRT di rumah. Aku juga yang belum siap resign dan masih amat mencintai pekerjaanku. Jadi ya, hadapi saja konsekuensinya. Mau nggak mau, dopingku memang harus banyak. Minum madu, susu, air kelapa, suplemen zat besi dan kalsium, dan tentu aja makan yang banyak. Aku juga melepas beberapa tugas rumah tangga. Cucian kutaro laundry. Cucian Ali ditangani Abang. Belanja dan masak juga Abang. Kalau nggak gitu, remuk redam ini badan.
However, aku merasakan banyak efek positif dari mengajak Ali ke kantor. Pertama, tentu saja aku jadi bisa menyusui dia kapanpun. Kedua, dia berada di tengah lingkungan yang positif, di tengah rekan-rekan kerjaku para perempuan pintar, terdidik, dan sholihah. Jadi bisa dipastikan dia nggak mendengar perkataan kasar atau melihat perilaku buruk. Ketiga, ia belajar keteraturan. Contoh kecil, Ali nggak pernah nangis kalau ditinggal sholat, dia seolah paham setiap dengar adzan Mamanya akan wudhu dan sholat. Dia main aja sendiri. Shofie, Abang Rana dan Ipun juga selalu ikut kami sholat berjamaah. Keempat, sosialisasinya bagus sekali. Karena terbiasa berinteraksi dengan banyak orang, Ali jadi bayi yang ramah, ceria, tersenyum dan menyapa semuanya. Lalu katanya sih, anak yang terbiasa diajak ibunya bekerja akan tumbuh menjadi anak yang pengertian, bisa diajak komunikasi kalau Mamanya sedang perlu fokus bekerja. Mudah-mudahan.
Sebagai ibu, aku juga merasakan banyak keuntungan. Dari rekan-rekanku ibu-ibu pintar berpengalaman, aku banyak belajar. Mereka banyak kasih tips posisi menyusui yang enak, cara ganti popok yang praktis, ajarin aku pijat bayi, dll. Aku juga banyak dibantu, misalnya dalam hal guntingin kukunya, nengkurepin, dan bantu pegang Ali saat aku nggak ada. Mbak Aida, reporter Ummi, ibu dua anak yang mompa ASI, juga mendapatkan full support. Kami semangatin dia buat mompa, kami pijat2 kalau dia setres atau capek, kami temenin makan kalo dia lagi gak napsu. Pokoknya full support! Hadirnya Ali sekaligus menjadi pembelajaran buat reporter muda di ruanganku, seperti dulu aku belajar banyak saat Mbak Imut bawa Ipun sejak bayi.
Kalau nanti Ali lulus ASI eksklusif 6 bulan, yang hebat bukan Ali-nya, apalagi Mamanya. Yang patut diacungi jempol adalah rekan-rekan kerjaku di Majalah Ummi, yang bersikap sangat suportif demi keberhasilanku menyusui Ali. Rela digumohin Ali, diganggu dengan ngak-ngeknya, berkenan pegang Ali sementara Mamanya lagi pergi ke kamar mandi atau lagi telepon, memaklumi bila ibu reporter rempong ini gak bisa liputan keluar, atau bila telat ngirim naskah karena Ali lagi rewel. Ah, sungguh. Kesempatan ini, bisa bekerja sambil tetap mengasuh dan menyusui bayiku di kantor ini sangat berharga. Nggak ternilai dengan uang. Semoga pemangku kebijakan kantorku dan juga rekan-rekan kerjaku yang baik hati ini dibalas dengan kebaikan berlipat ganda sama Allah, amiin...

Ali ngrecokin Mbak Mala, Pemred Ummi
Tentu saja, doaku juga untuk para perempuan di luar sana yang mungkin tidak seberuntung aku. Mereka yang mengalami dilema ketika harus kembali bekerja dan meninggalkan bayi di rumah bersama orang lain. Yang harus berjuang memompa ASI. Atau bahkan merelakan anaknya minum susu formula. Being a working Mom is not easy. Bukan salah sang ibu jika dia memilih bekerja. Yang harus dilakukan adalah berikan dukungan penuh kepada para ibu, jadikan kantor baby-friendly, tersedia tempat yang layak untuk menyusui maupun memompa ASI. Semoga semakin banyak kantor yang menyadari pentingnya hal ini.

Salam hangat dari kru Ummi untuk semua ibu menyusui! Semangat!


Komentar

  1. Envy sekaliiii...
    Kalo di kantor pas pumping selalu slideshow foto2 Aisyah..
    Tega g tega yang mengundang sisi melankolis..
    Hahahaha.. :'D

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang