Pelajaran Setelah Menikah (3) Tentang Berbagi Peran
Sejak sebelum menikah,
aku sudah punya kriteria lelaki yang bakal jadi suamiku. Nomor satu,
TIDAK PATRIARKIS. Ini sangat penting buatku, tipikal perempuan yang
punya self-esteem tinggi. Dulu, kalau jalan sama cowok aku sering
bayar makananku sendiri, aku buka pintuku sendiri, dan aku nggak
masalah kalau nggak dianter pulang. I can do it all by myself.
Makanya aku enggak banget sama cowok yang pikirannya sempit, yang
buat dia kerjaan istri tuh sebatas dapur-sumur-kasur; aku pergi pagi
pulang malam, buatkan aku kopi pagi-pagi dan pijitin aku di malam
hari. Terus yang nuntut aku harus hamil dan punya anak. Kalo nggak
bisa ngasih anak, minta poligami. Beuh. Minta digampol.
Alhamdulillah Abangku
nggak gitu. Itulah kenapa aku memilihnya jadi suamiku
Saat ini aku masih
bekerja jadi wartawan, sesuatu yang sangat aku sukai. Abang tau aku
enjoy sama kerjaanku, jadi dia nggak pernah menyinggung aku untuk
berhenti kerja dan jadi full time wife yang ngurus rumah. Dia bahkan
rela jauh-jauh ke kantornya, karena kami memilih tempat tinggal yang
lebih dekat ke kantorku. Kadang dia antar aku wawancara sampai malam.
Aku sangat bersyukur.
Sampai seminggu
menikah, dia masih pegang kendali di dapur. Aku belanja, dia yang
masak. Berapa banyak sih istri yang bawa bekal hasil masakan suaminya
ke kantor? Well that's me :D Lalu lama-lama aku belajar juga. Abang
pun nggak segan nyuci piring, buang sampah, beres-beres. Biasa aja.
Kalo aku males nyuci, ya tinggal taro aja di laundry. Kalo aku males
belanja, ya nanti masak mi atau sarden atau telor. Santey lah pokona.
Lagipula, dengan bantuin pekerjaan rumah tangga Abang jadi tau problem-problem yang ada di dapur. Misal, karena dia bantuin aku buang sampah dia jadi tau betapa banyak sisa makanan yang terbuang dan bikin tempat sampah jadi bau. "Duh kita berdua aja sampahnya banyak banget ya Dek," besok-besok dia jadi aware saat masak (masak secukupnya), dan saat makan (dihabiskan). Dan jadi inisiatif bikin keranjang takakura buat sampah organik. Itulah, jadi pemimpin rumah tangga pun kamu harus turun tangan dan memahami sendiri problem yang ada di grassroot (baca: dapur) hahahaha :D
Lagipula, dengan bantuin pekerjaan rumah tangga Abang jadi tau problem-problem yang ada di dapur. Misal, karena dia bantuin aku buang sampah dia jadi tau betapa banyak sisa makanan yang terbuang dan bikin tempat sampah jadi bau. "Duh kita berdua aja sampahnya banyak banget ya Dek," besok-besok dia jadi aware saat masak (masak secukupnya), dan saat makan (dihabiskan). Dan jadi inisiatif bikin keranjang takakura buat sampah organik. Itulah, jadi pemimpin rumah tangga pun kamu harus turun tangan dan memahami sendiri problem yang ada di grassroot (baca: dapur) hahahaha :D
Tapi kita terlanjur
hidup di lingkungan patriarkis jadi beberapa orang mungkin agak kaget
gitu ketika mengetahui suamiku turun tangan di dapur atau saat tahu
bahwa aku nggak segitunya ngurusin rumah. Kadang ada juga yang bilang
“Kamu bukannya harus pulang lebih dulu, beres-beres sebelum suamimu
datang?” atau “Emang nggak papa sama suami lo kalo lo pergi?” -___- Anyway, aku pun pernah kesel banget saat ibu nyuruh aku nemenin Abang
makan di meja makan, ngambilin minum (sampai sini aku gak masalah)
dan ngambil air di mangkuk kecil untuk dia cuci tangan (!!!) Why
would I do that?? Wastafel juga nggak jauh-jauh amat. Aku bete banget
tuh. Aku nggak suka ketika ada orang lain yang menuntutku melakukan
itu. Seolah-olah aku harus pulang lebih cepat dan beres2 rumah
padahal aku juga lagi deadline, seolah-olah aneh banget ketika
suamiku masak atau pegang mixer. He loves cooking so what...??
Tuntutan-tuntutan
seperti itulah yang sering bikin aku sebel sendiri. Bukan dari Abang,
tapi dari lingkungan. Walau suami sebenernya santai, tapi pandangan
demikian dari lingkungan kerap membuatku sebagai perempuan jadi
merasa bersalah ketika nggak melakukan hal-hal itu. And I hate that
feeling.
Sampai suatu hari aku
bilang sama Abang: “Abang, aku benci kenapa aku merasa bersalah
kalau aku bangun siang dan males belanja, nggak masak. Aku juga
benci, kenapa aku harus merasa bersalah kalau lagi banyak kerjaan dan
aku nggak sempat nyetrika bajumu. Aku benci kenapa aku merasa
bersalah kalau aku pulang malam dan kamu di rumah sendirian. Kenapa
aku harus merasa bersalah, Abang?”
#drama
Huft. Usia kami terpaut
7 tahun, dengan karakter dan latar belakang yang sangat berbeda. Aku
nih anak manja yang hidupnya serba sempurna dan selalu dikelilingi
orang-orang tersayang. Sedangkan Abang orang rantau yang biasa
sendiri dan udah mengalami berbagai fase perjuangan hidup. Jadi
terhadap kelakuanku, dia santai aja. Paling juga dipeluk, terus
dijelasin pelan-pelan. Kebayang kan seandainya suamiku lelaki
patriarkis dan nggak paham tentang isu gender yang sensitif buatku?
Atau yang sama-sama berwatak keras nggak mau ngalah? Bisa berantakan
rumah :D
See? I learned a lot
from my marriage. Pendewasaan. Menerima dan beradaptasi. Terus saling
mengingatkan untuk memperbaiki diri. Yuk yang belum menikah,
menikahlah! Terutama buat perempuan, I’m telling you, pacaran lebih
banyak berpotensi merugikan kalian secara materiil maupun immateriil
hahaha.. So just cut it out. Good luck!
Yes, he loves cooking! |
Komentar
Posting Komentar