Menyusuri Sungai Musi


Pukul 11 siang, pasukan sudah siap. Ada aku, Ade, Yani, dan Mizan. Inilah senangnya ngebolang, kita menyambung silaturahmi dengan kawan lama dan bertemu kawan baru. Sebelum menyeberang sungai menuju Pulau Kemaro, kita makan dulu di pasar kuliner bawah jembatan Ampera. Lagi-lagi, aku pilih pindang, tapi kali ini pindang gabus, nyam... :9

makan lagi lah!

Belum ke Palembang kalau belum menyusuri Sungai Musi,” kata Ade.

Ah ya, benar juga. Sejak dulu sungai terpanjang di Sumatera ini memang menjadi urat nadi sekaligus identitas Kota Palembang. Tau nggak, sebenarnya cita rasa makanan Palembang yang asli itu berasal dari salah satu ikan endemik Sungai Musi, ikan belido namanya. Kata Pak Bondan Winarno, ikan belido ini lezat sekali rasanya. Tetapi karena populasinya terus menerus berkurang, akhirnya sekarang bahan dasar kemplang, pempek, tekwan, dan pindang pun berganti jadi menggunakan ikan gabus, tengiri, dan ikan lainnya. 

Kali ini kita akan ke Pulau Kemaro, sebuah delta kecil di tengah Sungai Musi, jaraknya 6 km dari Jembatan Ampera. Disebut Pulau Kemaro, karena selalu kering dan tidak pernah terendam air meskipun Sungai Musi sedang meluap. Untuk menuju ke sana, kita akan menaiki ketek, perahu kecil yang tarifnya Rp100.000 pp. Well, bisa nawar sih. Dan semakin banyak rombongan, udunannya juga pasti makin sedikit kan.

barisan kapal di bawah jembatan

Sebelumnya kami kira bus air Trans Musi sudah beroperasi, eh ternyata belum. Padahal udah lama direncanainnya. Jadi inget tuh ide bus air di Jakarta. Ya kali orang mau nahan nafas sambil hoekk hoekk menyusuri Kali Ciliwung yang bau. Trus nabrak kasur sama kulkas (kebayang sampahnya orang Jakarta). Walaupun airnya tidak jernih, tapi naik bus air di Sungai Musi kayaknya masih enak deh dibandingkan naik bus air di kali Ciliwung -__-“  kalau ada bus air pasti makin banyak tempat-tempat yang bisa terjamah wisatawan. Akses dari daerah hilir ke hulu pun tidak lagi hanya mengandalkan jembatan Ampera yang sekarang sudah makin macet. Tolong dibantu ya pak gub, pak walkot, jangan nampang doang. Segera realisasikan bus air Sungai Musi supaya Palembang benar-benar bisa seromantis Venice.

Wuahhh... naik ketek sensasinya luar biasa! Apalagi ketek ini cuma perahu kecil, jadi siap-siap aja deh bergoyang-goyang kalau dilewatin kapal besar atau perahu motor. Itu lebih memacu adrenalin daripada naik kora-kora. Because this is real, man! Kalo kecemplung ya harus berenang beneran. Kurang lebih 30 menit kami menyusuri sungai. Melewati rumah penduduk, pabrik pupuk, melihat kapal-kapal besar pengangkut pupuk dan batubara yang parkir di pinggir sungai. Anggap aja di Venice, lah. Hihi. 

Great view!

Sampailah kami di Pulau Kemaro. Di tempat ini terdapat sejumlah patung Buddha, Klenteng Hok Tjing Rio dan pagoda Soei Goeat Kiong (Dewi Kuan Im) setinggi 9 lantai. Saat Imlek atau Cap Go Meh, pulau ini pasti ramai sekali. Ada pertunjukan barongsai dan sebagainya.

Pulau Kemaro punya legenda. Konon, dulu Putri Palembang bernama Siti Fatimah dilamar Pangeran Tan Bun Ann dari Tiongkok. Fatimah meminta 9 guci berisi emas sebagai tanda cinta. Takut terhadap bajak laut, orangtua Tan Bun Ann menutupi guci berisi emas dengan sawi. Tan Bun Ann malu dan kecewa ketika melihat guci itu hanya dipenuhi sawi. Ia membuang semua guci ke sungai, tetapi guci terakhir jatuh dan pecah, emas pun berserakan bersama sawi. Menyadari hal itu, Tan Bun Ann panik dan segera menyelam ke sungai untuk mencari guci-guci emas yang ia buang tadi. Fatimah ikut menyelam, dan jasad mereka kemudian ditemukan di Pulau Kemaro. 



 



Di sini juga ada pohon besar yang dinamai "Pohon Cinta". Katanya ini perlambang cinta Fatimah dan Tan Bun Ann yang berasal dari dua budaya berbeda. Tapi sekarang pohon ini dipagari, karena terlalu banyak aksi vandalisme akibat mitos, kalau kamu mengukir namamu dan pasangan di sini, kalian akan bersama selamanya. Owyeah. Nggak usah diikuti ya mitos yang merusak lingkungan seperti itu.

Setelah puas foto-foto, kami pun kembali ke ketek dan bersiap menyusuri sungai lagi, yeaaay! Lebih seruan naik keteknya sih, hahaha...

Next destination is... Jaka Baring Sport Center! Untuk menuju ke sana kita akan menyeberangi jembatan Ampera. Kita harus bangga loh punya kompleks olahraga berkelas internasional. Tapi lagi-lagi, mukanya Alex Noerdin merusak pemandangan. Di mana-mana! Bahkan bukan cuma umbul-umbul, spanduk dan baliho, tapi juga BALON! Oh meeenn... udah kayak supermarket baru buka aja promosinya. Berapa duit dah dia ngabisin. 

balonnya si A.N
Gelora Sriwijaya

Meskipun sore itu cukup ramai, tetapi kita bisa melihat bahwa selepas SEA GAMES 2011 lalu, kompleks olahraga ini mulai terabaikan. Gedung-gedung dibiarkan kosong dan berdebu, beberapa bahkan tampak mengelupas catnya. Sayang sekali, ramainya saat Sriwijaya FC bertanding saja. Padahal semestinya semangat olahraga bisa terus dihidupkan, misalnya menjadi pusat pembinaan atlet muda. Pokoknya ramein lah, sayang banget ini dananya miliaran euy... dikorupsi pula... ckckck. Sayang kalo pada akhirnya cuma diramein sama umbul-umbul, baliho, dan balon mukanya Alex Noerdin.

 **
Matahari sudah hampir tenggelam saat kami lewat di atas jembatan Ampera. Kami menyempatkan untuk foto-foto sebentar di sini, sambil dag-dig-dug takut dimarahin karena sebenarnya nggak boleh berhenti sembarangan. Bok, jembatan Ampera kan jalan raya yang bisa macet juga.



macet di AmpeAmpera, seandainya jembatan masih dinaik-turunkan untuk membiarkan kapal-kapal besar lewat. Pasti macet puanjang dari hulu ke hilir. 

Bagian tengah jembatan yang dibangun pada tahun 1962 ini dulunya bisa diangkat ke atas agar kapal-kapal besar bisa lewat. Ada dua bandul seberat masing-masing 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Setelah jembatan diangkat, kapal selebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi maksimum kapal yang lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai

Selepas sholat ashar, kami cemal-cemil. Badhokan ae ancene, hihi. Makan es alus di depan masjid, yaitu semacam es puter tapi pakai santan dan kacang merah. Indonesia banget rasanya, hehe. Terus menuju martabak HAR yang terkenal itu, dan ternyata nggak cocok sama lidahku. Karena bener-bener telor doang isinya, nggak ada sayur atau daun bawang gitu. Terus disiram kuah kari kambing dan kecap asin, dimakan sama kentang. Buatku aneh.

Petualangan kami hari ini diakhiri dengan nongkrong di boulevard depan Benteng Kuto Besak, menunggu lampu-lampu cantik Ampera dinyalakan. Lagi-lagi, sambil ngemil (?) mie tektek. Betul kata orang, Ampera cantik sekali di malam hari.



Begitulah cerita petualanganku 2 hari di Palembang. Sangat berkesan. Keesokan paginya pukul 5.30 aku sudah boarding. Terbang di tengah cuaca buruk, mendung kelabu merata dari Palembang sampai Jakarta. Jakarta-Palembang cuma 1 jam, tapi Cengkareng-Rawamangun hampir 2 jam -___-“

Welcome back to the city, Ken.

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang