Setelah Sondang Pergi

Sondang, oh Sondang.

Dua minggu terakhir ini nama itu begitu sering kita dengar. Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Bung Karno yang juga seorang aktivis HAM, Ketua HAMURABI (Himpunan Advokasi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia), nekat bakar diri di depan Istana Negara, pada Rabu (7/12). Ia mengalami luka bakar 97%, dan akhirnya meninggal dunia setelah 3 hari mendapatkan perawatan intensif dari RSCM.

Aksi Sondang membuat kita semua terhentak kaget. Meski tidak ada pesan tersurat yang ia tinggalkan, namun ketika seorang aktivis mahasiswa, bakar diri, di depan Istana Negara, maka apalagi pesan yang ingin ia sampaikan jika bukan kritik keras terhadap kinerja pemerintah? Mungkin ia sudah kehabisan kata-kata untuk kelakuan para petinggi negara yang sudah tuli akan suara-suara rakyat.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti sebuah nyawa, aku sendiri sebenarnya masih tidak mengerti mengapa dan bagaimana Sondang bisa nekat melakukan tindakan seekstrim itu. Justru aku sangat menyayangkan, mengapa orang muda secemerlang dia harus mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara demikian.

Sondang dikenal sebagai seorang aktivis HAM, yang memiliki jabatan sebagai ketua HAMURABI. Ia juga seorang mahasiswa tingkat akhir, yang tengah mengerjakan skripsi. Dari perspektifku sebagai seorang mahasiswa, juga sebagai seorang anak, rasanya aku tidak berani melakukan hal-hal nekat, sebelum aku resmi lulus kuliah. Iya, aku kan jadi mahasiswa juga karena bapak-ibuku yang membiayai aku, mereka menaruh banyak harapan kepadaku. I still owe them my graduation, at least. Sejujurnya aku mikir, duh Sondang, coba paling tidak kamu biarkan orang tuamu melihat kamu wisuda dulu, gitu…

Dan dari perspektifku sebagai orang muda, sebagai bagian dari rakyat Indonesia, kalaupun aku marah dan frustasi terhadap kondisi negeri ini, rasanya aku tidak mau menyebarkan energi negatif itu kepada seluruh rakyat Indonesia yang memang sedang menghadapi begitu banyak masalah.

Tahun 1940-an, sebanyak 95% rakyat Indonesia pada saat itu buta huruf. Soekarno-Hatta, sebagai bagian dari yang 5%, punya banyak alasan untuk pesimis, frustasi atas kondisi itu. Mereka punya banyak alasan untuk mundur dan berhenti berjuang. Para orang hebat itu bisa saja hidup enak di luar negeri dan meninggalkan 95% rakyat tak berpendidikan, yang juga tidak mereka kenal itu. Tapi mereka maju, terus berjuang, and here we are now.

Merasa marah dan frustasi itu wajar, sangat manusiawi. Ketika seorang presiden merasa marah dan kesal, sebagai seorang manusia, wajar kan? Namun yang bisa menjadi masalah adalah saat dia curhat dan mengeluh. Ia menyebarkan energi negatif, dan tentu kita tidak mengharapkan itu dari seorang pemimpin. Tak beda pula dengan kita, sebagai orang muda.

Saat ini, kita juga punya banyak alasan untuk frustasi, pesimis, marah atas semua permasalahan bangsa, tingkah polah “menggemaskan” para petinggi negara, korupsi dan konflik di sana-sini. Namun sebagai orang muda, yang di pundak kita ditumpukan banyak harapan, haruskah kita menunjukkan, bahkan menyebarkan pesimisme dan rasa frustasi kita?

Indonesia, negeriku tercinta ini, tidak seburuk itu kok. Ini negeri begitu indah dan kaya raya, ia hanya seringkali jatuh ke tangan yang salah. Ibarat putri cantik yang dibelenggu dalam penjara naga. Yang harus kita lakukan adalah menolongnya, bukan berputus asa atau melakukan hal yang bisa membuat sang putri semakin sedih.

Permasalahan yang ada di Indonesia sekarang ini udah kayak benang kusut, udah nggak tau lagi di mana ujungnya. Kita harus mengurai benang kusut itu dengan hati-hati, perlahan tapi pasti. Tiap-tiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mengurai keruwetan ini. Ada yang menyampaikan aspirasi lewat tulisan, musik, sastra. Ada pula yang menyampaikan kritik lewat aksi unjuk rasa. Ada yang langsung turun ke lapangan untuk mengadvokasi masyarakat yang terlibat konflik. Ada yang memulainya dengan membantu anak-anak di kampung pemulung untuk belajar. Ada yang masuk jauh-jauh ke dalam hutan untuk menyelamatkan satwa dan melakukan penghijauan.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menolong negeri ini. Besar atau kecilkah dampaknya, itu urusan nanti. Sedikit kepedulian saja sudah berarti banyak. Tak perlulah ada anggapan, bahwa yang menulis di blog tidak lebih baik daripada yang main teater. Yang memilih berunjuk rasa di jalan juga tak usahlah merasa lebih keren daripada mereka yang memilih untuk mengajar anak-anak di kampung. Tiap-tiap kita bisa memegang satu ujung benang yang ruwet tadi, dan dengan cara sendiri-sendiri, kita akan berusaha mengurai keruwetan ini. Semua punya peranan masing-masing, yang tujuannya satu, membuat Indonesia jadi lebih baik.

Apa yang telah dilakukan Sondang semestinya menjadi pelecut semangat, sekaligus bahan renungan buat kita semua. Sudah cukup dia saja yang mengorbankan nyawanya demi menyentak kepekaan kita. Jangan ada lagi. Sudah cukup, jangan sebarkan energi negatif seperti rasa marah, frustasi, apalagi pesimisme kepada rakyat Indonesia yang terlanjur jenuh dengan semua ini. Kita, pemuda Indonesia, harus bangkit dan mewujudkan harapan seluruh rakyat yang ditumpukan di pundak kita. Dengan cara yang positif, tentu saja.

Aku tidak mau Indonesia mencontek revolusi yang berlandaskan amarah, seperti negara-negara di Timur Tengah. Kalau mau mengubah keadaan suatu negara, kita harus memulainya dengan taktis dan hati-hati, bukan atas amarah semata.

Sudah cukup, jangan tangisi lagi Sondang. Jangan biarkan pengorbanannya hanya ditanggapi dengan seremoni aksi solidaritas semata. Kita harus bergerak dalam aksi nyata. Banyak hal yang mesti kita perbaiki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Satu kutipan di buku terakhir Harry Potter and The Deathly Hallows mungkin bisa kita renungkan. “Do not pity the dead, Harry. Pity the living, and, above all those who live without love.”

Cukup Sondang yang meninggalkan kita. Aku dan kamu, masih di sini. Yang akan terus berjuang untuk hidup. Kita akan buat Indonesia jadi lebih baik.


***

Tadinya aku tidak akan menulis tentang hal ini, namun aksi solidaritas sekelompok mahasiswa di depan kampus ITB pada Rabu lalu yang membuatku gregetan untuk menuliskan opiniku. Mereka, para mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung itu memaksa anak-anak ITB yang lagi UAS buat ikut aksi mereka, bahkan memaksa menurunkan bendera merah putih di halaman kampus ITB. Saat mahasiswa ITB menolak ikut aksi (karena ricuh juga aksinya), presiden mahasiswanya dikirimin celana dalam wanita dan pembalut oleh para pendemo –-yang justru merupakan satu bentuk pelecehan terhadap perempuan, menurutku. Mereka pikir dengan berdemonstrasi, maka mereka lebih baik daripada anak-anak ITB yang lagi belajar buat UAS. Pola pikir seperti ini yang tidak kusuka. Kita semua bergerak dengan cara kita masing-masing, tak perlu menganggap diri lebih paham, lebih peduli, lebih baik dari yang lain.

Ini opiniku, bagaimana menurutmu?

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11983377

Komentar

  1. Hmmm... opini serupa, bahkan mungkin aku tidak pernah terlalu respek dengan yang namanya demo. Menurutku malah mahasiswa jaman sekarang hanya mencontoh sesuatu yang dilakukan kakak-kakak mereka dulu tahun 90-an demi menegakkan reformasi... nah sekarang? semakin menjamur demo, maka semakin tebal juga kuping yang akan didemo, hehehe.. sudah mereka anggap hal lumrah soalnya jadi tidak perlu terlalu diperdulikan, bahkan jika ada yang bakar diri sekalipun..

    nice post.. kapan2 maen ke blog ku juga yaaa...

    BalasHapus
  2. Ya, kita bergerak dengan cara kita masing2, namun tujuan tentu tetap sama.
    banyak cara berjuang, gak harus turun ke jalan..
    mending Sondang2 yg lain cari pola lain yg lebih 'ngaruh', seengaknya buat diri mereka sndiri ato bahkan orang lain; ngajar TPA kek, wirausaha kek, bantu2 ortu kek..

    postingan mantap, Ken.

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang